Digital Clock with Islamic Ornament

Kamis, 30 September 2010

Cermin Diri

Oleh: KH. Rahmat Abdullah

Orang-orang bijak pernah berpesan "Ma halaka ‘amru-un arafa Qadra nafsihi" (Tak akan celaka orang yang kenal harkat dirinya). Telah banyak orang binasa karena terlalu tinggi memasang harga diatas realita dirinya. Banyak yang lenyap dari peredaran karena terlalu murah menghargai dirinya – dengan waham ‘tawadhu’ atau perasaan tidak mampu dan tidak punya apa-apa. Selebihnya adalah jenis orang yang berjalan dalam tidur atau tidur sambil berjalan. Tepatnya pengigau berat. Ia tak pernah bisa menyadari dimana posisinya, apa yang terjadi di sekitarnya dan apa bahaya yang mengancam ummatnya.

Dalam kaitan sistem, baik ormas, partai atau pemerintahan kerap terjebak dalam wa-ham-waham kekuasaan ; berbahasa dan bertindak dengan pendekatan kekuasaan. Mereka yang ‘berkuasa’ merasa percaya diri, hanya karena secara de jure punya otoritas atas wilayah territorial, wilayah problematika dan wilayah sumber daya manusia. Bahwa wilayah ruhaniyah dan wilayah fikriyah tak dapat ditundukkan begitu saja oleh senjata, uang dan kedudukan, kerap luput dari renungan. Entah karena inikah ketika ALLAH mengaitkan keselamatan dunia dengan keberadaan Ulu Baqiyah (orang-orang yang potensial dipertahankan keberadaannya) dan mengemban misi ‘mencegah kerusakan di muka bumi’, justeru pada saat yang sama mereka yang (berbakat) zalim terus saja mengikuti kecenderungan hedonik mereka dan karenanya mereka menjadi durhaka (Qs. 10;116).

Ghurur Hal terberat yang kau hadapi bukan keraguan, kebencian dan permusuhan orang yang tak mengenalmu. Sekeras apapun hati mereka, kekuatan Hidayah dapat menundukkan mereka kepada kebenaran da’wahmu, dengan idzin-Nya. Bila itu pun tidak, engkau tak akan dipersalahkan, karena tataranmu dakwah dan tataran-Nya hidayah. Cobaan berat, justru pada percaya diri yang tidak proporsional. Engkau nikmati benar sanjungan orang terhadap dirimu atau jamaahmu, padahal engkau sendiri jauh dari kepatutan itu. Malang nasibmu wahai orang yang percaya kepada kejahilan orang yang menyanjungmu, sedangkan engkau sangat terang melihat kekurangan dirimu. Mentalitas Qarun tersimpul dalam satu kalimat "Hadza Li" (Semua ini karyaku, karena aku, milikku).

Ketika arogansi mendominasi hubungan ‘yang adi daya’ dengan ‘yang tak berdaya’, maka yang pertama harus membayar ongkos yang sangat mahal ; dari antipati sampai kutukan mereka yang tak berdaya. Berat menyadarkan orang yang otaknya berjelaga, egois dan hanya melihat apa yang mereka anggap hak, tanpa kesadaran seimbang akan kewajiban. Kepada mereka Imam Syafii menegaskan :

Bila engkau mendekatiku, mendekat pula cintaku Jika engkau menjauh, aku kan lebih jauh darimu Dalam hidup masing-masing kita Tak bergantung dengan saudara Dan kita lebih tidak bergantung lagi bila tamat usia

Orang yang mentah fikiran selalu mengandalkan sanjungan kosong, tak berbasis pada prestasi, atau mungkin mereka berprestasi, namun menganggap itu sebagai hal besar yang memungkinkan mereka memonopoli kebajikan. "Mereka membangkit-bangkit keislaman mereka (sebagai jasa) kepadamu. Katakan : ‘Janganlah kalian bangkit-bangkitkan kepadaku keislamanmu, akan tetapi ALLAH lah yang telah memberi karunia besar dengan membimbing kalian kepada Iman…" (Qs. 49:17)

Sebelum bubarnya Uni Sovyet, ada dua spesies yang sangat dibenci rakyat ; 1. Partai Komunis, 2. etnik Rus. Yang pertama dibenci karena selalu ingin campur dalam segala urusan orang. Dari urusan menteri, tentara, pegawai negeri, isteri pegawai, anak pegawai sampai mimpi-mimpi rakyat. Yang kedua tak tahu diri sebagai mayoritas, bagaikan truk besar yang berlari kencang, anginnya mementalkan kendaraan-kendaraan kecil di tepi jalan.

Cermati bagaimana karakter kekuasaan itu tumbuh. Banyak orang yang berkuasa mengabaikan pengenalan wilayah-wilayah kekuasaan dengan segala karakternya. Pemerintah yang mempunyai otoritas memulainya dengan 3 wilayah : 1. Wilayah ardliyah (teritorial), 2. Wilayah insaniyah (kemanusiaan, SDM, rakyat), 3. Wilayah masailiyah (problematika). Dengan ketiga otoritas ini mereka dapat menggusur tanah rakyat, membagi HPH, menaikkan pajak, tarif, UMR, memainkan money politik, mencetak uang untuk kepentingan partai, membunuh karakter lawan politik dan memenjarakan mereka. Berapa lama mereka dapat berkuasa dengan tiga pilar ini ? Entahlah, yang jelas telah bertumbangan begitu banyak rezim dengan begitu banyak dana, senjata dan tentara. Mereka melupakan 2 wilayah yang sebenarnya pagi-pagi harus sudah dikuasai, bahkan sebelum mereka menguasai wilayah-wilayah lainnya. Jauh sebelum Rasulullah SAW hijrah ke Madinah, rumah-rumah disana sudah menaungi begitu banyak muslim.

Pada penghujung era Makkiyah, baiah Aqabah II telah menyuratkan pesan yang begitu kuat. "Kami siap melindungi Rasulu’Llah SAW, sebagaimana kami melindungi anak-anak dan isteri-isteri kami". Madinah telah dikukuhkan menjadi bumi Islam sebelum para Muhajir berangkat kesana. Rasulullah sudah ditunggu dengan segala kerinduan, sebelum mereka melihat wajahnya. Da’wah Qur-an telah mengakar dalam wilayah ruhaniyah dan wilayah fikriyah mereka, dua wilayah yang pada saatnya melahirkan energi besar, mengalahkan semua penguasa yang hanya berpuas diri dengan tiga wilayah yang serba refleks, fenomenal dan efektif untuk waktu singkat.

Wahan Tak kalah beratnya beban mental orang yang sama sekali tak mampu memberikan kontribusi. Ia sendiri tak mampu membantu dirinya sendiri, bahkan dengan sekedar percaya dan menyadari bahwa dirinya dapat berperan. Paradigma "La syai-a indi" (Saya tak punya apa-apa), telah banyak merugikan ummat. Dari sini orang berbuat, dari kontra produktif sampai amoral. Ia tak merasa ada kaitan sepak-terjangnya dengan lingkungannya. Ia mampu melumuri citranya – sama seperti mereka yang over pede – tanpa cemas hal itu akan berdampak luas, bagi diri, keluarga dan lingkungannya. Mereka banyak memubadzirkan umur dan hidup tanpa program. Rendah diri dan karenanya tak jarang merawat hasad, dengki dan khianat.

Mereka dapat tampil dalam figur seorang alim, publik figur dan apa saja yang ‘mulia’, namun mengabaikan berkah amal jama’i, karena merasa ‘tak sebodoh’ komunitasnya atau lupa bahwa dirinya (dapat menjadi) besar di tengah mereka. Terkadang batas antara orang yang berlebihan percaya diri dengan yang sangat tak percaya diri, begitu sulit dibedakan. Kritik pedas bisa datang dari mereka yang gagal melaksanakan apa yang dikritiknya. Atau yang tak cukup punya keberanian berargumentasi karena kurang pedenya.

Marilah berjabat tangan, ayunkah langkah dengan yakin dan lengkapi kekurangan diri dengan kelebihan saudara atau sebaliknya menopang kelemahan mereka dengan kekuatan diri yang ALLAH amanahkan. Banyak orang bingung mencari lahan kerja dan lahan kerja Da’wah tak pernah tutup.

Dimana posisimu ? Mungkin beberapa kalangan akan keberatan bila kukatakan engkau telah menyulam halaman da’wah di negeri ini dengan benang emas dan menyemaikan benih-benih berkah di lahan tandus, sehingga berubah menjadi ladang-ladang subur masa depan. Pohon keadilan, buah kemakmuran, bunga kesetaraan, ranah kesetiaan dan rumah kasih sayang. Bukan tujuanmu menciptakan iri. Ada yang begitu geram ketika hamba-hamba ALLAH perempuan keluar dari setiap gang dan kampus dengan jilbab mereka yang anggun dan IP mereka yang cemerleng. 20 tahun yang lalu harus keluar dari sekolah negeri yang dibangun dengan uang pajak mereka sendiri. Ya, kebangkitan memang bukan hanya sisi ini, namun banyak kebaikan tersimpulkan pada aspek ini. Intinya ; Perubahan.

Dan hari ini puncak gunung es itu telah memperlihatkan dinamika besar kebangkitan, shahwah yang penuh berkah. Tauhid adalah sistem konstruksi terpadu yang meletakkan segalanya tepat pada tempat, peran dan kepatutannya. Intelektual adalah sistem pengapianmu yang tak pernah padam. Kader-kader yang selalu ikhlas berkorban adalah roda yang siap menjelajah medan-medan berat. Keulamaan adalah sistem kendali-mu yang tahu kapan harus berbelok, menanjak, menurun dan menerobos hutan belantara, padang tandus serta bebatuan. Yang tak bergaransi ialah kondisi jalan, bahkan sekali pun dengan rute yang jelas dan lurus, kendaraan yang teruji, kru yang jujur, pakar dan sabar.

Dari semua setting ini, tentukanlah dimana posisimu ; penonton yang mencari hiburan, penunggu yang tak punya empati, atau pengharap kegagalan karena ada yang tak sejalan dengan persepsi mereka. Atau penuntun dan pengikut dengan pengenalan sistem navigasi yang akurat dan keyakinan yang mantap, bahwa laut tetap bergelom-bang dan di seberang ada pantai harapan

Kedunguan Kasta vs Komitmen Perjuangan

Oleh: KH. Rahmat Abdullah

Pada suatu hari lewatlah seseorang di depan Rasulullah SAW. Beliau bertanya kepada seseorang disampingnya: "Bagaimana pendapatmu tentang orang ini?" Orang itu menjawab: "Ia lelaki golongan terhormat. Demi ALLAH, seandainya meminang pastilah diterima dan bila memberi pembelaan pasti dikabulkan". Lalu Rasulullah SAW berdiam. Kemudian melintaslah seseorang. Rasulullah bertanya kepada orang yang disampingnya tadi: "Bagaimana pandanganmu tentang orang ini?" Ia menjawab: "Ia muslim yang faqir. Bila meminang pantas ditolak, bila memberi pembelaan takkan didengar pembelaannya dan bila berbicara takkan didengar ucapannya". Rasulullah SAW bersabda : "Sepenuh bumi ia lebih baik daripada orang tadi (yang pertama)" (HSR Muslim).

Ketika Da’wah ini muncul dan eksis dalam waktu yang sangat singkat, ia telah menyata-kan jatidirinya dengan jelas. Ia adalah kemenangan bagi siapa saja yang mau berjuang, tidak peduli anak siapa dan berapa kekayaan bapaknya. Ia tidak peduli penolakan Bani Israil paska nabi Musa AS ketika nabi mereka menyatakan bahwa Thalut yang miskin telah dipilih ALLAH untuk menjadi pemimpin mereka (Qs.2:247). Ia tidak juga meman-jakan ‘kesombongan intelektualisme’ kaum nabi Nuh AS yang mencap Nuh hanya diikuti oleh ‘orang-orang rendah, yang dangkal fikiran’ (aradziluna. badia’r ra’yi, tidak kritis, Qs. 11:27). Bahkan ia pun tak sungkan-sungkan menegur keras nabinya karena ‘logika prioritas’ yang dibangunnya menyebabkan Abdullah bin Ummi Maktum ‘nyaris tertinggal’. Alqur-an menyebutkan "Ia telah bermasam muka dan berpaling, ketika datang kepadanya hamba yang buta……" (Qs. 80:1-2).

Siapa yang tak kenal keutamaan keempat khalifah dan beberapa tokoh legendaris di ka-langan para sahabat? Namun, carilah dimana nama mereka terpampang dan bukan hanya sifat, selain Zaid, RA (Qs.33:37) ? ‘Kelas’ inilah yang diakui sebagai kekuatan yang dengan mereka "kalian diberi rezki dan dimenangkan". (HSR Bukhari)

Pungguk Mengaku Duduki Bulan Demi kepentingan mereka, bahkan Dzulqarnain mengoreksi salah kaprah yang merugikan mereka sendiri. "… mereka berkata: "Wahai Dzulqarnain, maukah Engkau kami beri upeti, agar mau membangunkan tembok (benteng) yang dapat melindungi kami dari (serangan) mereka?" Ia menjawab; "Kedudukan yang ALLAH telah berikan kepadaku itu lebih baik. Cukuplah kalian membantuku dengan kekuatan, aku bangunkan benteng yang kuat, memisahkan antara kamu dan mereka" (Qs.18:94-95).

Tanpa pembinaan dan penataan yang benar kelas ini akan menjadi kekuatan destruktif yang dikendalikan tangan-tangan berdarah. Dendam kemiskinan kerap membuat orang melahap fatamorgana. Mereka melahap tuduhan bahwa masyarakat tak peduli kepada derita mereka, lalu menyambut lambaian para penipu yang akan menunggangi mereka. Kalau para kader hanya mencemooh dari jauh kelicikan para tengkulak yang memperdagangkan kemiskinan dan melahap begitu banyak hak masyarakat miskin, tetaplah roda kemenangan berpihak kepada angkara murka.

Banyak orang kaya baru (OKB) berlomba-lomba memamerkan kekayaan mereka dan po-litisi dari partai-partai baru yang mencaci-maki partai tiran dan korup sebelumnya. Tetapi ajaib, mereka menjadi begitu norak, kemaruk dan lebih ‘ndeso’ dari para pendahulu.. Orang kaya merambat tak perlu waktu adaptasi. Orang kaya mendadak benar-benar perlu belajar membawa diri. Tetapi orang kaya turunan dan orang kaya mendadak sama-sama perlu memahami dan mengingat kembali kemiskinan, betapa pun pahit.

Kader yang menyikapi jabatan yang diterimanya lebih sebagai amanah dari pada kehormatan, akan dengan cepat belajar menyesuaikan diri dan memahahami karakteristik tugas dan tantangannya. Bawahan yang lebih pandai, diakuinya dan didorongnya untuk cepat menggapai posisi yang lebih sesuai. Mereka berendah hati, karena memang tak takut jatuh dengan merendah. Sebaliknya mereka yang bagaikan senior perpeloncoan yang kerap bermasalah dalam IP mereka, sering menampakkan gejala ketakutan ‘disaingi’.

Perasaan berkasta tinggi. Melecehkan orang yang mereka anggap berkasta lebih rendah. Menelikung siapa saja yang di luar koneksi. Mengkoptasi semua demi keharuman citra diri. Memecahkan masalah dengan menyalahkan orang lain. Melapor segalanya beres tanpa ada yang dibereskan.

Hal paling berat bagi kader yang berorientasi kekuasaan atau dunia ialah usaha untuk mendengarkan dan memahami. Mereka lebih suka didengar, difahami dan dimaklumi. Tak ada kemajuan dalam prestasi kecuali seni membuat-buat alasan. Karena otak tak bekerja kerap, mereka lebih suka menggunakan lutut. Muncullah kader-kader ‘gagah’ dengan mengimitasi tampilan serdadu, bukan meningkatkan etos, disiplin dan kehormatan jundi sejati. "Army Look" adalah kebanggaan mereka yang ingin diterima tanpa harus mengajukan dalil, yang penting orang takut dan nurut.

Kader Sejati Pepatah lama menyadarkan kita betapa pentingnya mendengar. "Ta’allam husna’l Istima’ kama tata’allam husna’l Hadits" (Belajarlah cakap mendengar sebagaimana engkau be-lajar untuk pandai bercakap).

Para ‘penjaja’ Fasad telah begitu lihai menggeser cita-rasa masyarakat. Mereka membentuk identitas ABG dengan segala asesori termasuk bahasa. Mereka bentuk mental attitude-nya sendiri dan bahasa gaulnya sendiri. Seluruh sasaran bahasa adalah penjungkirbalikan kemapanan. Dan agama adalah bagian yang dianggap kemapanan.

Bahasa fasad lebih fasih dari pada bahasa Islah. Ada bahasa gaul untuk remaja, ada bahasa gaul untuk tua-bangka dan ada bahasa gaul untuk preman, morfinis dan kriminal lainnya.

"’Ala Man Taqra’ Zabura ?!" (Kepada siapa Anda Bacakan Zabur?), adalah sindiran tajam bagi da’i yang asyik menyusun kata dan menikmatinya sendiri, tanpa peduli apakah komunikannya dapat mengerti. Dalam pertarungan memperebutkan pendukung, ada kekuatan berhasil meyakinkan calon pendukungnya dengan idiom-idiom tipuan yang memukau rakyat. Ada yang dengan jujur meneriakkan visi dan misi mereka, tetapi tidak cukup sampai ke telinga batin mereka.

Banyak kondisi menipu (Zhuruf Muzayyafah), yang kerap membuahkan kekecewaan. Sesudah iman, ikhlas dan pengenalan konsep serta medan, kemampuan transformasi fikrah dan menangkap gejolak arus bawah mutlak perlu dipertajam. Pesan-pesan penyampaian dengan berbagai pendekatan, patut dibiasakan; 1. Khathibu’n Nas ala Qadri uqulihim (Serulah masyarakat sesuai dengan kadar akal mereka), 2. Khathibu’n Nas bilughati qaumihim (Serulah masyarakat dengan bahasa kaum mereka), 3. Anzilu’n Nas manazilahum (Dudukkan masyarakat menurut kedudukan mereka).

Karena da’wah bukanlah obral candu, perlu diuji ulang, cukup tajamkah telinga ini men-dengar krucuk perut yang hanya berisi angin. Cukup sensitifkah mata memandang seorang akh yang membisu dalam kelaparannya yang sangat dan isterinya yang gemetar menanti rizki yang datang dengan sabar. Masihkah ada waktu muhasabah sebelum tidur, menyusuri wajah demi wajah, adakah yang belum tersantuni. Atau menelisik kader yang hanya diberi sanksi, tanpa seorang pun tahu, tiga hari ini ia tak punya tenaga karena sama sekali tak dapat makanan.

Ini mozaik kehidupan kita yang harus ditata menjadi serasi dan harmoni. Malang nasib dia yang mati rasa, nyinyir menyindir kesengsaraan saudara sebagai buah kemalasan, seraya menghabiskan bertalam-talam makanan yang tak dapat lagi memenuhi rongga perutnya. Bagaimana ia dapat memahami gelombang besar rakyat jelata yang bagai singa terluka, menanti kapan saatnya menerkam dengan penuh murka

Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural

Oleh: Prof. (Alm)Parsudi Suparlan, Guru Besar Antropologi FISIP UI

tulisan ini pernah di presentasikan dalam Simposium Internasional Bali ke-3, Jurnal Antropologi Indonesia, Denpasar Bali, 16-21 Juli 2002


Pendahuluan

Dalam tulisan saya (Suparlan 2001a, 2001b) telah saya bahas dan tunjukkan bahwa cita-cita reformasi untuk membangun
Indonesia Baru harus dilakukan dengan cara membangun dari hasil perombakan terhadap keseluruhan tatanan
kehidupan yang dibangun oleh Orde Baru. Inti dari cita-cita tersebut adalah sebuah masyarakat sipil demokratis, adanya
dan ditegakkannya hukum untuk supremasi keadilan, pemerintahan yang bersih dari KKN, terwujudnya keteraturan sosial
dan rasa aman dalam masyarakat yang menjamin kelancaran produktivitas warga masyarakat, dan kehidupan ekonomi
yang mensejahterakan rakyat Indonesia. Bangunan Indonesia Baru dari hasil reformasi atau perombakan tatanan
kehidupan Orde Baru adalah sebuah "masyarakat multikultural Indonesia" dari puing-puing tatanan kehidupan Orde Baru
yang bercorak "masyarakat majemuk" (plural society). Sehingga, corak masyarakat Indonesia yang bhinneka tunggal ika
bukan lagi keanekaragaman sukubangsaa dan kebudayaannya tetapi keanekaragaman kebudayaan yang ada dalam
masyarakat Indonesia.

Acuan utama bagi terwujudnya masyarakat Indonesia yang multikultural adalah multikulturalisme, yaitu sebuah ideologi
yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan
(Fay 1996, Jary dan Jary 1991, Watson 2000). Dalam model multikulturalisme ini, sebuah masyarakat (termasuk juga
masyarakat bangsa seperti Indonesia) dilihat sebagai mempunyai sebuah kebudayaan yang berlaku umum dalam
masyarakat tersebut yang coraknya seperti sebuah mosaik. Di dalam mosaik tercakup semua kebudayaan dari
masyarakat-masyarakat yang lebih kecil yang membentuk terwujudnya masyarakat yang lebih besar, yang mempunyai
kebudayaan yang seperti sebuah mosaik tersebut (Reed, ed. 1997). Model multikulturalisme ini sebenarnya telah
digunakan sebagai acuan oleh para pendiri bangsa Indonesia dalam mendesain apa yang dinamakan sebagai
kebudayaan bangsa, sebagaimana yang terungkap dalam penjelasan Pasal 32 UUD 1945, yang berbunyi: "kebudayaan
bangsa (Indonesia) adalah puncak-puncak kebudayaan di daerah".

Tulisan ini ingin menunjukkan bahwa upaya membangun Indonesia yang multikultural hanya mungkin dapat terwujud bila:
(1) Konsep multikulturalisme menyebar luas dan dipahami pentingnya bagi bangsa Indonesia, serta adanya keinginan
bangsa Indonesia pada tingkat nasional maupun lokal untuk mengadopsi dan menjadi pedoman hidupnya; (2) Kesamaan
pemahaman diantara para ahli mengenai makna multikulturalisme dan bagunan konsep-konsep yang mendukungnya,
dan (3) Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk dapat mewujudkan cita-cita ini.


Konsep Multikulturalisme dan Persebarannya

Walaupun multikulturalisme itu telah digunakan oleh pendiri bangsa Indonesia untuk mendesain kebudayaan bangsa
Indonesia tetapi bagi pada umumnya orang Indonesia masa kini multikulturalisme adalah adalah sebuah konsep asing.
Saya kira perlu adanya tulisan-tulisan yang lebih banyak oleh para ahli yang kompeten mengenai multikulturalisme di
media massa daripada yang sudah ada selama ini. Konsep multikulturalisme tidaklah dapat disamakan dengan konsep
keanekaragaman secara sukubangsa atau kebudayaan sukubangsa yang menjadi ciri masyarakat majemuk, karena
multikulturalisme menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan. Ulasan mengenai multikulturalisme
akan harus mau tidak mau akan juga mengulas berbagai permasalahan yang mendukung ideologi ini, yaitu politik dan
demokrasi, keadilan dan penegakkan hukum, kesempatan kerja dan berusaha, HAM, hak budaya komuniti dan golongan
minoritas, prinsip-prinsip etika dan moral, dan tingkat serta mutu produktivitas.

Kalau kita melihat apa yang terjadi di Amerika Serikat dan di negara-negara Eropah Barat maka sampai dengan Perang
Dunia ke-2 masyarakat-masyarakat tersebut hanya mengenal adanya satu kebudayaan, yaitu kebudayaan Kulit Putih yang
Kristen. Golongan-golongan lainnya yang ada dalam masyarakat-masyarakat tersebut digolongkan sebagai minoritas
dengan segala hak-hak mereka yang dibatasi atau dikebiri. Di Amerika Serikat berbagai gejolak untuk persamaan hak
bagi golongan minoritas dan kulit hitam serta kulit berwarna mulai muncul di akhir tahun 1950an. Puncaknya adalah pada
tahun 1960an dengan dilarangnya perlakuan diskriminasi oleh orang Kulit Putih terhadap orang Kulit Hitam dan Berwarna
di tempat-tempat umum, perjuangan Hak-Hak Sipil, dan dilanjutkannya perjuangan Hak-Hak Sipil ini secara lebih efektif
melalui berbagai kegiatan affirmative action yang membantu mereka yang tergolong sebagai yang terpuruk dan minoritas
untuk dapat mengejar ketinggalan mereka dari golongan Kulit Putih yang dominan di berbagai posisi dan jabatan dalam
berbagai bidang pekerjaan dan usaha (lihat Suparlan 1999).

Di tahun 1970an upaya-upaya untuk mencapai kesederajatan dalam perbedaan mengalami berbagai hambatan, karena
corak kebudayaan Kulit Putih yang Protestan dan dominan itu berbeda dari corak kebudayaan orang Kulit Hitam, orang
Indian atau Pribumi Amerika, dan dari berbagai kebudayaan bangsa dan sukubangsa yang tergolong minoritas
sebagaimana yang dikemukakan oleh Nieto (1992) dan tulisan-tulisan yang di-edit oleh Reed (1997). Yang dilakukan oleh
para cendekiawan dan pejabat pemerintah yang pro demokrasi dan HAM, dan yang anti rasisme dan diskriminasi adalah
dengan cara menyebarluaskan konsep multikulturalisme dalam bentuk pengajaran dan pendidikan di sekolah-sekolah di
tahun 1970an. Bahkan anak-anak Cina, Meksiko, dan berbagai golongan sukubangsa lainnya dewasa ini dapat belajar
dengan menggunakan bahasa ibunya di sekolah sampai dengan tahap-tahap tertentu (Nieto 1992). Jadi kalau Glazer
(1997) mengatakan bahwa 'we are all multiculturalists now' dia menyatakan apa yang sebenarnya terjadi pada masa
sekarang ini di Amerika Serikat, dan gejala tersebut adalah produk dari serangkaian proses-proses pendidikan
multikulturalisme yang dilakukan sejak tahun 1970an.

Multikulturalisme bukan hanya sebuah wacana tetapi sebuah ideologi yang harus diperjuangkan, karena dibutuhkan
sebagai landasan bagi tegaknya demokrasi, HAM, dan kesejahteraan hidup masyarakatnya. Multikulturalisme bukan
sebuah ideologi yang berdiri sendiri terpisah dari ideologi-ideologi lannya, dan multikulturalisme membutuhkan
seperangkat konsep-konsep yang merupakan bangunan konsep-konsep untuk dijadikan acuan bagi memahaminya dan
mengembang-luaskannya dalam kehidupan bermasyarakat. Untuk dapat memahami multikulturalisme diperlukan
landasan pengetahuan yang berupa bangunan konsep-konsep yang relevan dengan dan mendukung keberadaan serta
berfungsinya multikulturalisme dalam kehidupan manusia. Bangunan konsep-konsep ini harus dikomunikasikan diantara
para ahli yang mempunyai perhatian ilmiah yang sama tentang multikultutralisme sehinga terdapat kesamaan
pemahaman dan saling mendukung dalam memperjuangkan ideologi ini. Berbagai konsep yang relevan dengan
multikulturalisme antara lain adalah, demokrasi, keadilan dan hukum, nilai-nilai budaya dan etos, kebersamaan dalam
perbedaan yang sederajat, sukubangsa, kesukubangsaan, kebudayaan sukubangsa, keyakinan keagamaan,
ungkapan-ungkapan budaya, domain privat dan publik, HAM, hak budaya komuniti, dan konsep-konsep lainnya yang
relevan (Fay 1996, Rex 1985, Suparlan 2002)..


Pemahaman Tentang Multikulturalisme

Akar kata dari multikulturalisme adalah kebudayaan. Pengertian kebudayaan diantara para ahli harus dipersamakan atau
setidak-tidaknya tidak dipertentangkan antara satu konsep yang dipunyai oleh seorang ahli dengan konsep yang dipunyai
oleh ahli atau ahli-ahli lainnya. Karena multikulturalsime itu adalah sebuah ideologi dan sebuah alat atau wahana untuk
meningkatkan derajat manusia dan kemanusiannya, maka konsep kebudayaan harus dilihat dalam perspektif fungsinya
bagi kehidupan manusia. Saya melihat kebudayaan dalam perspektif tersebut dan karena itu melihat kebudayaan
sebagai pedoman bagi kehidupan manusia. Yang juga harus kita perhatikan bersama untuk kesamaan pendapat dan
pemahaman adalah bagaimana kebudayaan itu operasional melalui pranata-pranata sosial.

Sebagai sebuah ide atau ideologi multikulturalisme terserap dalam berbagai interaksi yang ada dalam berbagai struktur
kegiatan kehidupan manusia yang tercakup dalam kehidupan sosial, kehidupan ekonomi dan bisnis, dan kehidupan
politik, dan berbagai kegiatan lainnya di dalam masyarakat yang bersangkutan Kajian-kajian mengenai corak kegiatan,
yaitu hubungan antar-manusia dalam berbagai manajemen pengelolaan sumber-sumber daya akan merupakan
sumbangan yang penting dalam upaya mengembangkan dan memantapkan multikulturalisme dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara bagi Indonesia.

Salah satu isyu yang saya kira cukup penting untuk diperhatikan di dalam kajian-kajian mengenai manajemen
pengelolaan sumber-sumber daya adalah corak dari kebudayaan manajemen yang ada setempat, atau pada corak
kebudayaan korporasi bila perhatian kajian terletak pada kegiatan pengelolaan manajemen sumber daya dalam sebuah
korporasi. Perhatian pada pengelolaan manajemen ini akan dapat menyingkap dan mengungkapkan seperti apa corak
nilai-nilai budaya dan operasionalisasi nilai-nilai budaya tersebut atau etos, dalam pengelolaaan manajemen yang dikaji.
Kajian seperti ini juga akan dapat menyingkap dan mengungkap seperti apa corak etika (ethics) yang ada dalam
struktur-struktur kegiatan sesuatu pengelolaan manajemen yang memproses masukan (in-put) menjadi
keluaran.(out-put). Apakah memang ada pedoman etika dalam setiap struktur manajemen, ataukah tidak ada pedoman
etikanya, ataukah pedoman etika itu ada yang ideal (yang dicita-citakan dan yang dipamerkan) dan yang aktual (yang
betul-betul digunakan dalam proses-proses manajemen dan biasanya disembunyikan dari pengamatan umum)?

Permasalahan etika ini menjadi sangat penting dalam pengelolaan manajemen sumber daya yang dilakukan oleh
berbagai organisasi, lembaga, atau pranata yang ada dalam masyarakat. Negeri kita kaya raya akan sumber-sumber
daya alam dan kaya akan sumber-sumber daya manusia yang berkualitas. tetapi pada masa sekarang ini kita, bangsa
Indonesia, tergolong sebagai bangsa yang paling miskin di dunia dan tergolong ke dalam bangsa-bangsa yang
negaranya paling korup. Salah satu sebab utamanya adalah karena kita tidak mempunyai pedoman etika dalam
mengelola sumber-sumber daya yang kita punyai. Pedoman etika yang menjamin proses-proses manajemen tersebut
akan menjamin mutu yang dihasilkannya. Kajian-kajian seperti ini bukan hanya menyingkap dan mengungkapkan ada
tidaknya atau bercorak seperti apa nilai-nilai budaya yang berlaku dan etika yang digunakan sebagai pedoman dalam
pengelolaan manajemen sesuatu kegiatan, organisasi, lembaga, atau pranata; tetapi juga akan mampu memberikan
pemecahan yang terbaik mengenai pedoman etika yang seharusnya digunakan menurut dan sesuai dengan
konteks-konteks macam kegiatan dan organisasi.

Secara garis besarnya etika (ethics) dapat dilihat sebagai 'Pedoman yang berisikan aturan-aturan baku yang mengatur
tindakan-tindakan pelaku dalam sebuah profesi, yang di dalam pedoman tersebut terserap prinsip-prinsip moral dan
nilai-nilai yang mendukung dan menjamin dilakukannya kegiatan profesi si pelaku sebagaimana seharusnya, sesuai
dengan hak dan kewajibannya. Sehingga peranannya dalam sesuatu struktur kegiatan adalah fungsional dalam
memproses masukan menjadi keluaran yang bermutu (Bertens 2001, Magnis-Suseno 1987). Dalam ruang lingkup luas,
dalam masyarakat-masyarakat maju, kita kenal adanya etika politik, etika akademik, etika bisnis, etika administrasi dan
birokrasi, dan sebagainya. Dalam ruang lingkup yang lebih kecil kita bisa melihat berbagai pedoman etika yang ada atau
tidak ada dalam berbagai struktur kehidupan atau pengelolaan sumber-sumberdaya yang lebih khusus, misalnya
pembahasan mengenai "Akbar Tanjung dan Etika Politik" sebagaimana yang telah dikemukakanoleh Alfian M (2002)

Masalah yang kita hadapi berkenaan dengan upaya menuju masyarakat Indonesia yang multikultural adalah sangat
kompleks. Apakah kita para ahli antropologi sudah siap untuk itu? Apakah Jurusan-jurusan Antropologi yang ada di
Indonesia ini juga sudah siap untuk itu? Dalam kesempatan ini saya ingin menghimbau bahwa mungkin ada baiknya
bila kita semua memeriksa diri kita masing-masing mengenai kesiapan tersebut. Pertama, apakah secara konseptual
dan teoretikal kita cukup mampu untuk melakukan penelitian dan analisis atas gejala-gejala yang menjadi ciri-ciri dari
masyarakat majemuk yang telah selama lebih dari 32 tahun kita jalani, dan apakah kita juga akan mampu untuk membuat
semacam blueprint untuk merubahnya menjadi bercorak multikultural? Kalau kita belum mampu, sebaiknya kita
persiapkanlah diri kits melalui berbagai kegiatan diskusi, seminar, atau lokakarya untuk menambah khazanah ilmu
pengetahuan kita dan mempertajam konsep-konsep dan metodologi yang relevan dalam kajian mengenai
ungkapan-ungkapan masyarakat majemuk dan multikultural. Kalau merasa diperlukan, sebaiknya pimpinan dan
dosen-dosen dari berbagai Jurusan Antropologi dapat duduk bersama untuk membicarakan isyu-isyu penting berkenaan
dengan peranan antropologi dalam membangun Indonesia sesuai cita-cita reformasi. Pembicaraan para pimpinan
jurusan ini sebaiknya terfokus pada upaya untuk mengembangkan kurikulum dan konsep-konsep serta metodologi yang
sesuai dengan itu.

Kedua, apakah secara metodologi kita sudah siap untuk itu? Kajian-kajian etnografi yang teradisional, yang bercorak
butterfly collecting sebagaimana yang selama ini mendominasi kegiatan-kegiatan penelitian mahasiswa untuk skripsi dan
dosen, sebaiknya ditinjau kembali untuk dirubah sesuai dengan perkembangan antropologi dewasa ini dan sesuai
dengan upaya pembangunan masyarakat Indonesia menuju masyarakat yang multikultural. Penelitian etnografi yang
bercorak penulisan jurnalisme juga sebaiknya dihindari dan diganti dengan penelitian etnografi yang terfokus dan
mendalam, yang akan mampu mengungkap apa yang tersembunyi dibalik gejala-gejala yang dapat diamati dan
didengarkan, dan yang akan mampu menghasilkan sebuah kesimpulan atau tesis yang sahih. Begitu juga
kegiatan-kegiatan penelitian yang menggunakan kuesioner untuk mendapat respons dari respeonden atas sejumlah
pertanyaan sebaiknya ditinggalkan dalam kajian untuk dan mengenai multikulturalisme ini. Karena, kajian seperti ini
hanya akan mampu menghasilkan informasi mengenai kecenderungan gejala-gejala yang diteliti, bersifat superfisial, dan
menyembunyikan bayak kebenaran yang seharusnya dapat diungkapan melalui dan dalam kegiatan sesuatu penelitian.
Pendekatan kualitatif dan etnografi, yang biasanya dianggap tidak ilmiah karena tidak ada angka-angka statistiknya,
sebaiknya digunakan dengan menggunakan metode-metode yang baku sebagaimana yang ada dalam buku yang di-edit
oleh Denzin dan Lincoln (2000), karena justru pendekatan kualitatif inilah yang ilmiah dan obyektif dalam konteks-konteks
masyarakat atau gejala-gejala dan masalah yang ditelitinya. Untuk itu perlu juga diperiksa tulisan Guba dan
tulisan-tulisan dari sejumlah penulis yang di-editnya (1990) yang menunjukkan kelemahan dari filsafat positivisme yang
menjadi landasan utama dari metodologi kualitatif.

Ketiga, ada baiknya jika berbagai upaya untuk melakukan kajian multikulturalisme dan masyarakat mulitikultural yang telah
dilakukan oleh ahli-ahli antropologi juga dapat menstimuli dan melibatkan ahli-ahli sosiologi, ilmu politik, ilmu ekonomi
dan bisnis, ilmu pendidikan, ilmu hukum, ilmu kepolisian, dan ahli-ahli dari berbagai bidang ilmu pengetahuan lainnya
untuk secara bersama-sama melihat, mengembangkan dan memantapkan serta menciptakan model-model penerapan
multikutlralisme dalam masyarakat Indonesia, menurut perspektif dan keahlian akademik masing-masing. Sehingga
secara bersama-sama tetapi melalui dan dengan menggunakan pendekatan masing-masing, upaya-upaya untuk menuju
masyarakat Indonesia yang multikultural itu dapat dengan secara cepat dan efektif berhasil dilaksanakan.

Upaya-upaya tersebut diatas dapat dilakukan oleh Jurusan Antropologi, atau gabungan Jurusan Antropologi dan satu atau
sejumlah jurusan lainnya yang ada dalam sebuah universitas atau sejumlah universitas dalam sebuah kota untuk
mengorganisasi kegiatan-kegiatan diskusi, seminar kecil, atau lokakarya. Kegiatan-kegiatan ini akan dapat dijadikan
landasan bagi dilakukannya kegiatan seminar atau lokakarya yang lebih luas ruang lingkupnya. Dengan cara ini maka
konsep-konsep dan teori-teori serta metodologi berkenaan dengan kajian mengenai multikulturalisme, masyarakat
multikultural, dan perubahan serta proses-prosesnya dan berbagai konsep serta teori yang berkaitan dengan itu semua
akan dapat dikembangkan dan dipertajam sehingga operasional di lapangan.

Disamping bekerja sama dengan para ahli dari berbagai bidang ilmu pengetahuan yang mempunyai perhatian terhadap
masalah multikulturalisme, ahli-ahli antropologi dan terutama pimpinan jurusan antropologi sebaiknya mulai memikirkan
untuk memberikan informasi mengenai multikulturalisme kepada berbagai lembaga, badan, dan organisasi
pemerintahan yang dalam kebijaksanaan mereka langsung atau tidak langsung berkaitan dengan masalah
multikulturalisme. Hal yang sama juga sebaiknya dilakukan terhadap sejumlah LSM dan tokoh-tokoh masyarakat atau
partai politik. Selanjutnya, berbagai badan atau organisasi pemerintahan serta LSM diajak dalam berbagai kegiatan
diskusi, seminar, dan lokakarya sebagai peserta aktif. Mereka ini adalah kekuatan sosial yang akan mendukung dan
bahkan dapat memelopori terwujudnya cita-cita reformasi bila mereka memahami makna multikulturalisme dan
bangunan konsep-konsep yang berkaitan dengan itu, atau mereka itu dapat juga menentang multikulturalisme dan ide
tentang masyarakat multikultural Indonesia bila mereka tidak memahaminya atau mereka merasa tidak berkepentingan
untuk turut melakukan reformasi.

Upaya-Upaya Yang Dapat Dilakukan

Cita-cita reformasi yang sekarang ini nampaknya mengalami kemacetan dalam pelaksanaannya ada baiknya digulirkan
kembali. Alat penggulir bagi proses-proses reformasi sebaiknya secara model dapat dioperasionalkan dan dimonitor,
yaitu mengaktifkan model multikulturalisme untuk meninggalkan masyarakat majemuk dan secara bertahap memasuki
masyarakat multikultural Indoneaia. Sebagai model maka masyarakat multikultural Indonesia adalah sebuah masyarakat
yang berdasarkan pada ideologi multikulturalisme atau bhinneka tunggal ika yang multikultural, yang melandasi corak
struktur masyarakat Indonesia pada tingkat nasional dan lokal.

Bila pengguliran proses-proses reformasi yang terpusat pada terbentuknya masyarakat multikultural Indonesia itu berhasil
maka tahap berikutnya adalah mengisi struktur-struktur atau pranata-pranata dan organisasi-organisasi sosial yang
tercakup dalam masyarakat Indonesia. Isi dari struktur-struktur atau pranata-pranata sosial tersebut mencakup reformasi
dan pembenahan dalam kebudayaan-kebudayaan yang ada, dalam nilai-nilai budaya dan etos, etika, serta pembenahan
dalam hukum dan penegakkan hukum bagi keadilan. Dalam upaya ini harus dipikirkan adanya ruang-ruang fisik dan
budaya bagi keanekaragaman kebudayaan yang ada setempat atau pada tingkat lokal maupun pada tingkat nasional dan
berbagai corak dinamikanya.

Upaya ini dapat dimulai dengan pembuatan pedoman etika dan pembakuannya sebagai acuan bertindak sesuai dengan
adab dan moral dalam berbagai interaksi yang terserap dalam hak dan kewajiban dari pelakunya dalam berbagai struktur
kegiatan dan manajemen. Pedoman etika ini akan membantu upaya-upaya pemberantasan KKN secara hukum.

Upaya-upaya tersebut diatas tidak akan mungkin dapat dilaksanakan bila pemerintah nasional maupun
pemerintah-pemerintah daerah dalam berbagai tingkatnya tidak menginginkannya atau tidak menyetujuinya. Ketidak
inginan merubah tatanan yang ada biasanya berkaitan dengan berbagai fasilitas dan keistimewaan yang diperoleh dan
dipunyai oleh para pejabat dalam hal akses dan penguasaan atas sumber-sumber daya yang ada dan
pendistribusiannya. Mungkin peraturan yang ada berkenaan dengan itu harus direvisi, termasuk revisi untuk
meningkatkan gaji dan pendapatan para pejabat, sehingga peluang untuk melakukan KKN dapat dibatasi atau ditiadakan.

Bersamaan dengan upaya-upaya tersebut diatas, sebaiknya Depdiknas R.I. mengadopsi pendidikan multikulturalisme
untuk diberlakukan dalam pendidikan sekolah, dari tingkat SD sampai dengan tingkat SLTA. Multikulturalisme sebaiknya
termasuk dalam kurikulum sekolah, dan pelaksanaannya dapat dilakukan sebagai pelajaran ekstra-kurikuler atau menjadi
bagian dari krurikulum sekolah (khususnya untuk daerah-daerah bekas konflik berdarah antar sukubangsa, seperti di
Poso, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan berbagai tempat lainnya). Dalam sebuah diskusi dengan tokoh-tokoh
Madura, Dayak, dan Melayu di Singkawang baru-baru ini, mereka itu semuanya menyetujui dan mendukung ide tentang
diselenggarakannya pelajaran multikulturalisme di seklah-sekolah dalam upaya mencegah terulangnya kembali di masa
yang akan datang konflik berdarah antar sukubangsa yang pernah mereka alami baru-baru ini (lihat Suparlan 2002)

Sebagai penutup mungkin dapat kita pikirkan bersama apakah multikulturalisme sebagai ideologi yang mendukung
cita-cita demokrasin akan hanya kita jadikan sebagai wacana ataukah akan kita jadikan sebagai sebuah tema utama
dalam antropologi Indonesia yang akan merupakan sumbangan antropologi Indonesia bagi pembangunan masyarakat
Indonesia. Semuanya terpulang pada keputusan kita bersama.

Daftar Kepustakaan
Alfian M., M. Alfian, 2002, "Akbar Tanjung dan Etika Politik". Harian Media Indonesia, 19 Maret 2002.
Bertens, K., 2991, Etika. Jakarta: Gramedia.
Denzin, Norman K. dan Yvonna S. Lincolns (eds), 2000, Handbook of Qualitative Research. Second Edition. London: Sage.
Fay, Brian, 1996, Contemporary Philosophy of Social Science: A Multicultural Approach. Oxford: Blackwell
Glazer, Nathan, 1997, We Are All Multiculturalists Now. Cambridge, Mass.:Harvard University Press.
Guba, Egon G.(ed.), The Paradigm Dialog. London: Sage.
Jary, David dan Julia Jary, 1991, "Multiculturalism". Hal.319. Dictionary of Sociology. New York: Harper.
Magnis-Suseno, 1987, Etika Dasar. Yogyakarta: Kanisius.
Nieto, Sonia, 1992, Affirming Diversity: The Sociopolitical Context of Multicultural Education. New York: Longman.
Reed, Ishmed (ed.), Multi America: Essays on Culture Wars and Peace. Pinguin.
Rex, John, 1985, "The Concept of Multicultural Society". Occassional Paper in Ethnic Relations, No. 3. Centre for Research in Ethnic
Relations (CRER).
Suparlan, Parsudi, 1999, "Kemajemukan Amerika: Dari Monokulturalisme ke Multikulturalisme". Jurnal Studi Amerika, vol.5 Agustus, hal.
35-42.
_________ , 2001a, "Bhinneka Tunggal Ika: Keanekaragaman Sukubangsa atau Kebudayaan? makalah disampaikan dalam Seminar
"Menuju Indonesia Baru". Perhimpunan Indonesia Baru - Asosiasi Antropologi Indonesia. Yogyakarta, 16 Agustus 2001.
_________ , 2001b, "Indonesia Baru Dalam Perspektif Multikulturalisme". Harian Media Indonesia, 10 Desember 2001.
_________ , 2002a, "Kesetaraan Warga dan Hak Budaya Komuniti dalam Masyarakat Majemuk Indonesia". Jurnal Antropologi
Indonesia, no. 6,
hal. 1-12.
_________ , 2002b, Konflik Antar-Sukubangsa dan Upaya Mengatasinya. Temu Tokoh. "Dengan Keberagaman Etnis Kita Perkokoh
Persatuan dan
Kesatuan Bangsa dalam Rangka Menuju Integrasi Bangsa". Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata Deputi Bidang
Pelestarian
dan Pengembangan Budaya - Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional (BKNST) Pontianak. Singkawang, 12-14 Juni 2002.
Watson, C.W., 2000, Multiculturalism. Buckingham-Philadelphia: Open University Press.


Sumber: http://www.scripps.ohiou.edu/news/cmdd/artikel_ps.htm

Tentang Sang Indonesia..

Oleh: Iwan Meulia Pirous, MA (sebuah catatan)

Maka pada suatu sore tanggal 18 Maret berkumpullah sesuai abjad: Amalia Pulungan, Arief Hendarto, Budiman Sudjatmiko, Elok Dyah Messwati, Ikhsan Sube, Ima, Iwan Meulia Pirous, Johan Nurbarok, Matheos Messakh, Mira Pakan, Mira Siregar-Meulia untuk minum kopi dan ngobrol. Berikut ini catatan yang tidak kronologis tapi setidaknya mempertahankan esensi pembicaraan. Terimakasih untuk Mira Siregar-Meulia untuk catatan tambahan sana-sini […].

Ngomongin Hal Berkabut Soal Indonesia
Berkabut karena Indonesia sendiri terlalu banyak menyimpan persoalan sekaligus pandai menyimpan rahasia. Berkabut karena negara ini begitu kita cintai sekaligus kita benci, berkabut karena negara ini tidak jelas maunya apa. Mendekati Indonesia secara objektif bagi saya juga sulit banget, dan saya sebagai tukang catat menikmati menulis secara subyektif dan izinkan untuk menyeleweng . Semoga notulensi ini bertindak seperti sisir yang merapikan persoalan-persoalan yang muncul untuk disimpan dan dipelajari dengan rasa nikmat, kerennya: refleksi diri. Kalau suka, bilang-bilang, kalau marah jangan dipendam. Tulis aja, tulis….!!

Dari mana kita mulai? Ok, dunia politik kita kah yang membuat Indonesia seperti sekarang ini? Politik seharusnya kekuasaan yang bersifat sangat publik dengan legitemasi yang diperoleh dari argumentasi, bukan bedil dan darah. Apa yang menjadi kata kunci adalah argumentasi. Berargumen sebagai politisi bukan sesederhana salah dan benar, tapi membangun logika dan menempatkannya pada konteks publik. Di sinilah letak tawar-menawar yang jauh sama-sekali dari hitam-putih. Budiman punya metafor bahwa politik itu “petang”, maksudnya petang adalah keadaan yang dinamis, dia itu siang, tapi sebentar lagi menjadi malam. Dia itu malam, tapi masih ada unsur siangnya. Begitulah kira-kira. Lebih tepat lagi, mungkin maksudnya: politics is ambivalence in nature, that’s why argumentation is important. Semenjak delapan tahun belakangan, tidak banyak perubahan di Indonesia.

Politik masih jauh dari argumentasi yang cerdas. Kecerdasan belum dianggap penting, padahal orang cerdas bisa melihat banyak warna, bukan sekedar lensa hitam-putih. Berikut elemen hitam-putih itu: agama, uang, dan undang-undang yang usang. Partai yang besar karena membawa simbol agama tentunya jauh dari kecerdasan (sekalipun programnya populis, no offense PKS) sebab dia adalah partai yang tidak mengizinkan ruang tawar-menawar (Tuhan kok ditawar?). Suatu partai yang membeli loyalitas dengan elemen uang juga jauh dari kecerdasan argumentatif, sebab hubungan uang selalu impersonal dan jangka pendek seperti jual beli. Undang-undang juga bukan mantera. Kalau suatu kebijakan berlawanan dengan undang-undang, maka sudahkah kita berpikir dari dua arah? Apakah peraturannya yang ngaco, atau undang-undangnya yang ngaco? Argument, argument and argument! Termasuk argumen terhadap wujud NKRI sendiri. Dan akuilah kita masih terlalu takut untuk berani berpikir bahwa fakta geopolitics bisa disusun ulang, sebab Indonesia adalah ciptaan Belanda atas kumpulan kerajaan-kerajaan dan puak-puak etnis yang tidak terlalu sakral. Kita adalah bagian dari Asia Tenggara dengan ratusan kluster etnik yang sudah menjadi kue-kue tart yang dibagi oleh bule-bule the conquerors di masa lalu.

Lalu ada pertanyaan: sedih tidak kalau Indonesia bubar?
Yah gimana yaa.. Pertanyaan ini sulit sebab terlalu pendek. Bubar sebagai bangsa? Bubar sebagai negara? Bubar sebagai pemerintahan? Ini perlu diskusi lagi di lain hari dengan bentuk pertanyaan yang lebih tajam. Cukup dulu dengan menyadari bahwa misteri nasionalisme itu lebih banyak melahirkan pertanyaan daripada jawaban. Kata Mattheos yang berasal dari Kupang, Indonesia sentralistis banget. Orang Kupang banyak yang tahu Jalan Hayam Wuruk Jakarta persisnya di mana, tapi belum tentu orang Jakarta tahu di mana persisnya Kupang. Bisa jadi ini merupakan hal biasa saja… bisa juga tidak. Lokasi, tempat, ruang, jarak, proksimitas bisa jadi tidak netral tapi terkonstruksi secara sosial, terlembaga, dan diwariskan lewat kurikulum. Koentjaraningrat, guru besar antropologi UI menulis buku Masyarakat Terasing yang isinya adalah etnografi tentang kelompok-kelompok etnis terasing, alias jauh banget dari Jawa dan terisolasi secara geografis. Tapi apakah jauh dari Jawa membuatnya terasing? Terasing dari apa? Atau kita semua –termasuk Prof Koen - sebagai bagian dari publik Indonesia yang dibesarkan dalam imajinasi Jakarta adalah pusat peradaban? Dalam sebuah in-flight magazine tentang Visit Indonesia pernah ditulis: “kerajinan manik-manik yang indah ini dibuat oleh orang Dayak nun jauh di Kalimantan sono..”(sic!). Atau ungkapan populer: “Awas kalau ke Kalimantan, entar pulang diguna-guna!” Dayak Iban Kalbar yang konon tukang guna-guna itu rata-rata memiliki riwayat nomadic yang luar biasa: pengembara, melintas batas negara, bertempur bersama TNI melawan British Gurkha troops tahun 1966, kerja dalam proyek infrastruktur kota di Brunei Darussalam, menonton RCTI melalui satellite TV (they shared local knowledge of how to hack decoder as Indon TVs scrambled Piala Dunia).


Nasionalisme yang mana?

Indonesia adalah sesuatu yang dibayangkan. Masalahnya apa yang dibayangkan tidak sesuai dengan kenyataan yang diinginkan tentang Indonesia itu sendiri. Whose Imagination? and Which Indonesia? Apakah Indonesia yang romantik-patriotik? Apakah Indonesia yang berwajah ‘masyarakat sipil’? Apakah Indonesia yang berwajah ‘negara kesejahteraan’? Apakah Indonesia yang modern fasis dan disiplin mempersiapkan tinggal landas?

Apakah Indonesia yang mencari esensi lewat leburan banyak golongan etnis?
Ataukah Indonesia yang mempertahankan hak-hak golongan etnis secara demokratis? Bagaimana dengan Indonesia yang sekuler? Indonesia yang religius? Indonesia yang hypertech? Atau mau gabung saja semua?
[++ Mira Siregar, bisik-bisik ke Budiman: gue mendukung sekularisme dalam bernegara, gue melihat kebhinekaan bangsa kita bisa ditunjang dengan mempertahankan sekularisme, gue melihat issue ini cukup penting saat ini untuk mencegah perpecahan yang di depan mata…sisanya: sensor dulu deh]

Ikhsan Sube bilang: nasionalisme itu berhubungan sekali dengan patriotism dan terutama adalah rasa terima kasih kepada tanah kelahiran, tanah yang sudah memberi kita banyak hal: kehidupan. Kita harus patriotik. Ada juga yang bilang (kau kah Mattheos?): sense of belonging sudah tidak ada di Indonesia ini. Saya berusaha mencatat semua tapi akustik ruangan emang jelek. [++Wan…gimana soal Republikans-Patriotism-nya Budiman?]

[++ Mira Pakan terlibat diskusi serius dengan Budiman soal tua-muda dalam berkebangsaan, bernasionalism, menurut Mira Pakan: jangan usia menjadi patokan seseorang dalam konteks ini…….to be continued]

OK, mari kita lihat ke inti mesin nasionalisme itu sendiri. Kalau nasionalisme adalah sebuah operating system, mari kita lihat kernel-nya yaitu konstitusi. UUD 1945 sendiri banyak mengandung kontradiksi dalam memetakan mesin dasarnya (wajar sih yang nyusun banyak orang, terus buru-buru lagi). Bisa jadi nasionalisme Indonesia merupakan tarik-menarik antara

Civic vs Ethnic based nationalism.
Di satu sisi undang-undang kita menekankan asas civic nationalism yang kuat (adanya perasaan kebangsaan yang satu sebagai warga dengan hak dan kewajiban) tapi di sisi lain, kebudayaan nasional dianggap ekstrak akhir dari “budaya-budaya” etnis yang dianggap ideal, tanpa penjelasan antropologis yang matang. Nasib nasionalisme jadi berwajah dua (Janus faced): dia sangat re public, kesepakatan publik, kontrak sosial, hak-kewajiban, pembagian kekuasaan, demokrasi, musyawarah, mufakat, voting. Di sisi lain dia sangat primordial: Kebudayaan nasional adalah puncak-puncak kebudayaan daerah. Secara antropologis tesis ini sangat tidak bertanggung jawab dan meyesatkan. Civic nationalism bisa dikelola secara terbuka dengan standar-standar kompetitif yang adil, sementara ethnic-based dalam sebuah Indonesia yang kemajemukan etnisnya ga ketolongan, hanya bisa dikelola dari logika siapa mayoritas dan siapa minoritas. Perpaduan antara ethnic dan relgion-based kemudian lebih parah lagi.
Dalam multi-phobic NKRI. Siapapun yang menolak “fasisme pikiran” menjelma jadi minoritas yang hidup bagai warganegara kelas dua yang sentimen kebangsaannya diragukan. Inilah kumpulan para subjek yang tidak cocok masuk ke dalam kotak-kotak mayoritas karena berbagai hal misalnya: secara seks dianggap ngaco (gay, lesbian, transvestite), berlokasi tinggal jauh dari “pusat” yaitu di pinggir kedaulatan Negara dengan segala kegiatan ekonomi lintas batas. Mereka yang kebanyakan bertanya dan lebih punya pikiran membangkang (baca buku-buku dilarang Negara), golongan Tionghoa (dianggap rentan komunisme, tidak boleh jadi pegawai negeri dan tentara). Bahkan, orang bisa dijebloskan jadi minoritas karena berbagai hal sepele, tapi dibesar-besarkan oleh komunitas yang dominan, misalnya: menolak berjilbab, tidak mau pengajian. Norma agama kemudian dimasukkan dalam Perda. Berbahagialah kalian yang berhasil diatur, menjadi subjek-subjek yang sukarela diatur dan kemudian membela negaramu tanpa bertanya. Nun jauh di sana tetap ada otak yang suka diatur. Bagi mereka Ini dia negara yang mematikan pikiran, melebur kreativitas dengan ancaman-ancaman dosa, demikanlah ketika negara mensenyawakan diri dengan kekuatan Tuhan. Lalu bisa-bisanya RUU-APP. Hanya karena arus birahi itu begitu mengasyikan dan liar, dia harus diatur seketat-ketatnya. Wilayah erotika sebagai ekspresi kebebasan kultural kemudian menjadi sampah, sehingga karunia Tuhan itu dianggap sebagai kutukan. Tubuh adalah materi personal, sejak kapan negara memiliki hak untuk memiliki tubuh-tubuh rakyatnya? Tidak cukupkah kami membayar pajakmu? Bersabar dengan fasilitasmu yang buruk? Engkau tak setia, mengapa saya harus? Kebangsaan harus dipisah dari kenegaraan. Maka itu orang dihadapkan pada pilihan-pilihan kombinatif antara negara dan bangsa. Mencintai bangsa tidak sama dengan mencintai negara dan selalu ada dialektika. Dalam kondisi utopis keduanya harus sama besar. Becandaan gue nih: yang paling kasihan adalah tentara karena mereka harus terima dua-duanya tanpa boleh protes (tapi kan mereka berjiwa baja), dan yang paling untung adalah mereka yang tidak pernah mikirin (what you dont know dont hurt you — kata Matheos). Nah uring-uringan si warganegara “kelas dua” itu hehe.

Jadi apa pemersatu kebangsaan itu? Mari fokuskan ke wajah nasionalisme “modern yang berwajah republik” dalam sebuah konteks historis Indonesia yang 80 persen Muslim ini. Sebuah republik muslim? Saya sendiri tidak suka dan tidak percaya bahwa agama dapat berintegrasi dengan politik dan melahirkan hal-hal yang baik meski ditulis dalam Qur’an sekalipun. Menurut saya, pemerintah yang baik secara sadar membiarkan publik mengurus ekspresi budaya dan ekspresi agama dalam lingkup domestik masing-masing, dan memfasilitasi dengan sarana publik. Kegiatan pemerintahan harus bersih dari nilai-nilai dan modus operandi keagamaan sebab agama (Islam Indonesia?) tidak bersifat inclusive terhadap perbedaan keyakinan yang membuat relasi Self-Other menjadi demikian kuat. Sebab agama menyisakan sekelompok keyakinan lain yang bukan internal group-nya sebagai residu.

Nyatanya, Budiman mengatakan lain. Agama gagal menjadi alat politik karena agamanya itu sendiri tidak dijadikan alat transformasi yang membebaskan. Menurutnya agama justru bisa menjadi social capital mungkin juga cultural capital yang penting dan tetap sejalan dengan prinsip demokratisasi misalnya seperti yang terjadi di Amerika Latin (teologi pembebasan maksudnya?). Agama itu harus progresif, yang artinya dia tetap menanamkan kesalehan dan kecintaan kepada Tuhan, tanpa sedikitpun membuat pemeluknya merasa asing dengan persoalan-persoalan manusia (wordly affairs). Wah terus-terang ini sangat menarik dan penting untuk didengar (ayo ini bisa jadi bahan diskusi berikutnya).

Mattheos punya pendapat menarik karena dia kuatir terhadap radikalisasi agama. Katanya peredam dari fundamentalisme agama harus datang dari kelompok agama yang sama tapi dengan aliran yang berbeda maka dengan demikian terjadi suatu dialog. Menurut Matheos, gerakan fundamentalis Kristen hanya bisa diredam oleh wadah mainstream Kristen itu sendiri seperti PGI misalnya. Lalu secara alamiah pembicaraan mengalir kepada gimana kalau terjadi pada agama Islam? Ya mungkin juga kalau terjadi di Islam pun jika terjadi letupan resah para fundamentalisnya akan diredam oleh wadah mainstreamnya sepeti NU dan Muhammadiyah]

Belajar koreksi diri dari Amerika Latin.
Ini persoalan yang mengemuka juga dan secara samar-samar saya catat demikian: hanya Indonesia saja yang terlihat sangat kurang watak seriusnya untuk melakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing sehubugan dengan kontrak HGU. Amerika Latin adalah contoh yang baik. Apa yang bisa saya rangkum (ditambah interpretasi pribadi sana-sini) kira-kira demikian: Amerika Latin telah belajar sangat banyak dari hubungan-hubungan ekonomi timpang dengan negara-negara Barat.

Dimulai tahun 1950-an para neo-Liberal (yang kritis) seperti Leo Prebisch mengkritik pola hubungan ekspor-impor yang tidak adil. Katanya mari kita perkuat industri nasional supaya tidak selalu tergantung Eropa-Amerika. Dilanjutkan dengan lebih radikal oleh Andre Gunder Frank: putuskan saja hubungan ekonomi dengan pasar dunia! Tapi tokh, menjadi sangat keras dan kaku pun belum tentu membawa keselamatan , sementara tidak seluruhnya tabiat kapitalisme itu buruk. Maka wajah kiri pun perlahan menjadi semakin kooperatif semenjak Cardoso, yang semakin mengarah pada tata dunia yang lebih trendi yaitu kapitalisme global.

Tapi akhir-akhir ini ada gelombang cukup aneh. Di kala Sovyet hancur, tembok Berlin runtuh, justru Amerika Latin kembali melahirkan tokoh-tokoh pemimpin revolusioner yang bersikap galak pada kapitalisme global. Sebut saja Hugo Chávez presiden Venezuela yang sangat anti kebijakan ekonomi luar-negeri Amerika, popular di kalangan orang miskin, mengajarkan rakyat untuk mengerti politik sebagai persoalan publik dengan membagi “stensilan” gratis. Konstitusi harus dipahami rakyat, oleh karena itu harus dibaca dan dibagikan gratis dalam ukuran buku saku. Sebaliknya rakyat harus dapat bicara pada presidennya setiap saat, maka Chavez siaran setiap pagi di TV nasional dengan hotline telepon: Alo Presidente! Atau Daniel Ortega, Presiden Nicaragua, pemimpin Frente Sandinista de Liberación Nacional yang berhasil come-back tahun 2006 dengan agenda kerakyatan (land-reform, nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing, perbaikan nasib orang miskin).

Pemimpin sungguhan tidak hanya memahami sejarah bangsa sebagai subjek kolonialisme, tapi juga memahami eksistensi dirinya dalam arus sejarah bangsanya secara sangat personal. Kemudian dia hadir sebagai agent of change, penggerak sosial di masyarakat. Sayangya, arah menuju kepemimpinan yang populis, menomorsatukan kepentingan rakyat dan menomorduakan tekanan-tekanan politik-ekonomi luar negeri secara elegan semakin jauh dari kenyataan di Indonesia.

Ironisnya, semangat anti-Kapitalisme Barat dan anti-kolonialisme yang masih bertahan di di Amerika Latin, dan Timur Tengah (contohnya Qaddaffi – gimana sih nulisnya?) justru mengambil Dasa Sila Bandung sebagai motor penggeraknya. Artinya mereka adalah generasi cucu-cucu para pemimpin dunia yang dulunya datang bergabung dalam Konferensi Asia Afrika tahun 1955 dan mendengarkan bagaimana Sukarno begitu geram terhadap kapitalisme Barat yang secara telanjang menciptakan penjajahan sepanjang hayat. Diakui bahwa globalisasi ekonomi berhasil memajukan Indonesia selama masa Orde Baru walau keberhasilannya hanyalah di permukaan yang harus dibayar mahal hari ini dan entah berapa dekade tahun ke depan. Masuknya kapitalisme tahun 1966 dibayar dengan kerusakan lingkungan yang parah, perubahan pola konsumsi nasional: berasnisasi, makanan siap saji tanpa gizi; pengerukan sumberdaya tambang, pembunuhan satu juta orang tanpa pengadilan, serta hutang-hutang luar negeri untuk membangun gedung-gedung tinggi.

Beginilah wajah pola pembangunan ekonomi kita, peras habis bahan mentah, jual-jual-jual! Dan begitu bangganya Indonsia pasca 1966 menutup keran imigrasi bagi ratusan anak-anak bangsa yang pernah dikirim atas nama negara untuk belajar ilmu pengetahuan modern ke Sovyet , Hongaria, Czechoslovakia, dan Rumania. Padahal justru mereka semula direncanakan pulang sebagai tenaga ahli nasional untuk memanfaatkan sumberdaya yang masih perawan dan sangat berlimpah itu. Pelajaran sejarah kurikulum nasional disusun oleh tentara. Mereka memang jagonya terror mental, bikin fitnah, dan sistematis sekali setiap cara-caranya dalam bikin mata pelajaran.

Bagaimana bisa, coba: Chavez pidato 45 menit tanpa teks dan menyebut Dasa Sila Bandung/soal Konferensi Asia Afrika berkali-kali sementara dalam kesempatan yang sama SBY cuma pidato 10 menitan tanpa berisikan hal-hal yang membanggakan diri sebagai bangsa Indonesia…. Waduh, bangsa lain aja bangga, kok kita malah enggak ya? Coba kita baca-baca lagi buku sejarah kita… Dasa Sila Bandung yang tercipta di Indonesia sebagai “Dunia Ketiga” yang memberontak, malah menjadi kebanggaan yang diusung bangsa lain, sementara kita sekarang? Kalau ditanya: apaan sih tuuuh dasasila? Pancasila kaleee?

Tunggu, buku-buku sejarah kita isinya cerita kronologis dengan sistem suara mono, pula! Penjelasan sejarah harusnya datang dari berbagai speaker: kiri-kanan, depan-belakang dengan berbagai nada: low sonic, middle-range, high freq. Barulah kita bisa mendengarkan keutuhan sejarah secara komprehensif dan solid.
Dasa sila Bandung ada tuh prasastinya di bandung, kena debu trotoir… (kalo ga salah deket preanger dan savoy homann). Entering 1970 onwards: a new generation started.
In a state of oblivion, indulges by post-cold war mountainous hutang luar negeri, we proudly say: We like you Capitalism!

Kegamangan Multikulturalisme di Indonesia

Oleh: Prof. Dr. Achmad Fedyani Saifuddin, Guru Besar Antropologi FISIP UI

Semenjak reformasi dicanangkan pada tahun 1998 di Indonesia—jika kita menggunakan angka tahun itu sebagai titik
tolak—isu-isu politik kebudayaan mengemuka dan berkembang cepat. Salah satunya adalah isu multikulturalisme yang
dipandang (diduga) dapat menjadi perekat baru integrasi bangsa.

Integrasi nasional yang selama ini dibangun berdasarkan politik kebudayaan seragam dianggap tidak lagi relevan dengan
kondisi dan semangat demokrasi global yang juga meningkat sejalan dengan reformasi tersebut. Desentralisasi
kekuasaan dalam bentuk otonomi daerah semenjak 1999 adalah jawaban bagi tuntutan demokrasi tersebut. Namun,
desentralisasi sebagai keputusan politik nasional ternyata kemudian disadari tidak begitu produktif apabila dilihat dari
kacamata integrasi nasional suatu bangsa besar yang isinya luar biasa beraneka ragam suku bangsa, agama, kondisi
geografi, kemampuan ekonomi, dan bahkan ras.

Di masa lalu, kekuatan pengikat keanekaragaman itu adalah politik sentralisasi yang berpusat pada kekuasaan
pemerintah yang otoritarian. Pada masa kini apabila konsepsi multikulturalisme itu digarap lebih jauh, selain dari
keanekaragaman di atas, juga persoalan mayoritas-minoritas, dominan-tidak dominan yang juga mengandung
kompleksitas persoalan.

Masalah model

Mengikuti Bikhu Parekh (2001) Rethinking Multiculturalism, Harvard University Press, bahwa istilah multikulturalisme
mengandung tiga komponen, yakni terkait dengan kebudayaan, konsep ini merujuk kepada pluralitas kebudayaan, dan
cara tertentu untuk merespons pluralitas itu. Oleh karena itu, multikulturalisme bukanlah doktrin politik pragmatik
melainkan sebagai cara pandang kehidupan manusia. Karena hampir semua negara di dunia tersusun dari anekaragam
kebudayaan—artinya perbedaan menjadi asasnya—dan gerakan manusia dari satu tempat ke tempat lain di muka bumi
semakin intensif, maka multikulturalisme itu harus diterjemahkan ke dalam kebijakan multikultural sebagai politik
pengelolaan perbedaan kebudayaan warga negara. Namun, yang masih menjadi pertanyaan besar, model kebijakan
multikultural seperti apa yang dapat dikembangkan oleh suatu negara seperti Indonesia?

Kita mengenal paling tidak tiga model kebijakan multikultural negara untuk menghadapi persoalan di atas: Pertama,
model yang mengedepankan nasionalitas. Nasionalitas adalah sosok baru yang dibangun bersama tanpa
memperhatikan aneka ragam suku bangsa, agama, dan bahasa, dan nasionalitas bekerja sebagai perekat integrasi.
Dalam kebijakan ini setiap orang—bukan kolektif—berhak untuk dilindungi negara sebagai warga negara. Model ini
dipandang sebagai penghancur akar kebudayaan etnik yang menjadi dasar pembentukan negara dan menjadikannya
sebagai masa lampau saja. Model kebijakan multikultural ini dikhawatirkan terjerumus ke dalam kekuasaan otoritarian
karena kekuasaan untuk menentukan unsur-unsur integrasi nasional berada di tangan suatu kelompok elite tertentu.

Kedua, model nasionalitas-etnik yang berdasarkan kesadaran kolektif etnik yang kuat yang landasannya adalah hubungan
darah dan kekerabatan dengan para pendiri nasional (founders). Selain itu, kesatuan bahasa juga merupakan ciri
nasional-etnik ini. Model ini dianggap sebagai model tertutup karena orang luar yang tidak memiliki sangkut paut
hubungan darah dengan etnis pendiri nasional akan tersingkir dan diperlakukan sebagai orang asing.

Ketiga, model multikultural- etnik yang mengakui eksistensi dan hak-hak warga etnik secara kolektif. Dalam model ini,
keanekaragaman menjadi realitas yang harus diakui dan diakomodasi negara, dan identitas dan asal-usul warga negara
diperhatikan. Isu-isu yang muncul karena penerapan kebijakan ini tidak hanya keanekaragaman kolektif dan etnik, tetapi
juga isu mayoritas-minoritas, dominan-tidak dominan. Persoalannya menjadi lebih kompleks lagi karena ternyata
mayoritas tidak selalu berarti dominan, karena berbagai kasus menunjukkan bahwa minoritas justru dominan dalam
ekonomi. Jika kekuasaan negara lemah karena prioritas kekuasaan dilimpahkan ke aneka ragam kolektif sebagai
konsekuensi pengakuan negara, negara mungkin diramaikan konflik- konflik internal berkepanjangan yang pada
gilirannya akan melemahkan negara itu sendiri.

Multikulturalisme

Buku yang disunting Hikmat Budiman ini perlu diapresiasi tinggi karena lima hal. Pertama, khususnya pada Bab Editorial,
Hikmat Budiman mengungkapkan secara jernih kondisi dilematis multikulturalisme di Indonesia. Saya sepakat dengan
penulis bahwa tidak satu pun dari tiga model dan kebijakan multikulturalisme di atas yang pas untuk kondisi Indonesia.
Muncul kegamangan saat berhadapan dengan pertanyaan ”model apa yang sesuai untuk Indonesia?” Kegamangan yang
sama ketika Kamanto Sunarto, Russell Hiang-Khng Heng, dan saya menyunting buku ”Multicultural Education in Indonesia
and Southeast Asia: Stepping into the Unfamiliar”, (2004), Jurnal Antropologi UI, sebagai hasil suatu lokakarya tentang
pendidikan multikultural di Asia Tenggara yang dihadiri pakar-pakar dari Asia Tenggara dan Australia pada tahun itu.
Dengan kata lain, perlu pemikiran lebih lanjut secara mendalam suatu model multikulturalisme seperti apa yang
seyogianya dikembangkan di Tanah Air.

Kedua, buku ini mengangkat dan membicarakan isu baru dalam wacana multikulturalisme di Indonesia secara
komprehensif, yakni isu minoritas, khususnya hak-hak minoritas, yang diperhadapkan dengan isu mayoritas sebagai
konsekuensi kalau berbicara dalam wilayah konsep ini. Yang menarik dan penting disimak adalah analisis historis yang
merekam peralihan dari kebijakan politik sentralistis ke desentralistis, persoalan-persoalan yang muncul di masa lampau
ketika sistem otoritarian itu bekerja, dan agenda persoalan kini yang dihadapi sistem demokrasi yang baru dan gagasan
multikulturalisme yang melekat pada sistem demokrasi tersebut.

Ketiga, buku ini membicarakan multikulturalime dari bawah ke atas, yaitu mengangkat realitas empiris lima masyarakat
minoritas di lima daerah di Indonesia, yakni komunitas Sedulur Sikep (orang Samin) di Jawa, oleh M Uzair Fauzan;
pemeluk Wetutelu, Wet Semokan, Nusa Tenggara Barat, oleh Heru Prasetia; masyarakat Dayak Pitap, Kalimantan Selatan,
oleh Riza Bachtiar; masyarakat di Cagar Alam Wana, Morowali, Sulawesi Tengah, oleh Ignatius Yuli Sudaryanto; dan
masyarakat Tanah Toa, Bulu Kumba, Sulawesi Selatan oleh Samsurijal Adhan. Pendekatan dari bawah ke atas ini adalah
ciri penting dari pendekatan kualitatif yang berupaya membangun suatu model di akhir kajian. Hal ini membedakan dari
perbincangan mengenai multikulturalisme dan minoritas yang dimulai dari konsep yang dibawa dari luar untuk
menjelaskan realitas di lapangan.

Keempat, meski dengan rendah hati editor mengemukakan bahwa sebagian dari penulis adalah masih peneliti yunior,
saya justru menemukan tulisan- tulisan hasil penelitian ini seharusnya ditampilkan para penulis-peneliti senior. Isu, tema,
dan analisis setiap tulisan menggambarkan penguasaan materi dan pendekatan yang baik sehingga secara keseluruhan
buku ini penting dan bermutu untuk memberikan pemahaman kepada kita mengenai minoritas dan multikulturalisme itu
baik dari segi konsep maupun model kebijakan politik kebudayaan.

Kelima, karena secara khusus menyoroti hak-hak minoritas, maka sangat relevan bahwa buku ini memasukkan dua
tulisan penting, yakni tentang agama dan kebudayaan, isu minoritas dan multikulturalisme di Indonesia (Mochammad
Nurkhoirun) serta hak-hak kelompok minoritas dalam norma dan standar hukum internasional hak asasi manusia (A
Patra M.Zen). Dengan dua tulisan ini, buku ini membebaskan dirinya dari isolasi konsepsi lokal dan nasional karena isu
multikulturalisme dan minoritas adalah juga isu global.

Saya sependapat dengan Hikmat Budiman bahwa tidak banyak karya yang terbit dengan pembahasan yang komprehensif
mengenai multikulturalisme untuk konteks Indonesia. Apalagi kalau multikulturalisme tersebut dikaitkan dengan isu-isu
lain yang melekat seperti minoritas, khususnya hak-hak minoritas. Maka, buku ini sangat penting bagi kita yang menaruh
minat pada multikulturalisme dan minoritas khususnya, integrasi bangsa umumnya.


sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0601/21/pustaka/2374717.htm

Di Tengah Gaung yang Kian Pudar...

Oleh: Indira Permansari


Masih ingat Snouck Hurgronje? Snouck (1857-1936) adalah ilmuwan
berkebangsaan Belanda yang menawarkan diri untuk memberikan gambaran
lengkap tentang Aceh. Pada 1889, Snouck tiba di Pulau Jawa dan sejak
itu ia meneliti pranata Islam di masyarakat pribumi Hindia Belanda,
khususnya Aceh. Dia mempelajari politik kolonial untuk memenangi
pertempuran Belanda di Aceh.

Sosok Snouck kontroversial. Bagi Belanda dan kaum orientalis, boleh
jadi dia dianggap sebagai peneliti yang sukses. Namun, bagi rakyat
Aceh, Snouck adalah sosok pengkhianat sejati yang telah memanipulasi
mereka.

Kisah Snouck adalah penggalan dari perkembangan antropologi di masa
lalu. Saat Eropa mulai membangun koloni di benua lain, termasuk Asia,
mereka mendapat berbagai tantangan dari warga asli; pemberontakan
sampai iklim yang kurang cocok.

Dalam menghadapi permasalahan itu, pemerintah kolonial berusaha
mencari kelemahan suku-suku asli dan menaklukkannya. Mereka mencari
bahan-bahan etnografi tentang suku bangsa di luar Eropa, mempelajari
kebudayaan serta kebiasaan warga koloninya itu untuk kepentingan
kolonisasi. Cerita tentang Snouck dapat dikatakan bagian dari tahapan
itu.

Pascakemerdekaan, antropologi menjadi kajian para intelektual di
negeri sendiri dengan didirikannya Jurusan Antropologi Universitas
Indonesia, setengah abad lampau. Tepatnya, di akhir September 1957,
kajian antropologi hadir sebagai jurusan di lingkungan Fakultas
Sastra UI, diprakarsai Profesor Koentjaraningrat. Dia pula yang
mendorong berdirinya jurusan antropologi di berbagai universitas
negeri lainnya di Indonesia.

"Dalam perkembangannya, antropologi ternyata lebih dekat dengan ilmu-
ilmu sosial ketimbang ilmu humaniora sehingga (tahun 1983)
antropologi di UI berpindah dari fakultas sastra ke fakultas ilmu
sosial dan ilmu politik (FISIP)," kata Jasmine Zaky Shahab, Ketua
Departemen Antropologi, FISIP-UI.

Bedanya dengan masa kolonial, di era pascakemerdekaan antropologi
lebih dimaksudkan menjadi semacam alat bagi kita untuk belajar
melihat dan mengenal diri sendiri. Bukankah antropologi pada intinya
adalah ilmu yang mempelajari manusia, baik fisik maupun budayanya?

Oleh karena itu, kata antropolog Achmad Fedyani Saifuddin, ada bidang
ilmu yang mempelajari tentang antropologi fisik atau jasmani dan ada
antropologi sosial budaya. "Yang disebut terakhir berkembang dengan
baik di Indonesia. Budaya juga dalam artian luas; mulai dari adat
istiadat, tradisi, nilai, cara pandang hidup, cara pandang terhadap
lingkungan, hingga cara memandang dunia," ujarnya.

Bagi Fedyani, masalah mengenal diri sendiri bukan perkara mudah.
Perlu upaya lebih berat dan keras bagi Indonesia dibandingkan bangsa-
bangsa lain, mengingat Indonesia berpenduduk sangat besar dan majemuk
sehingga rentan disintegrasi.

Dan itu merupakan bagian dari pergulatan para antropolog. Terutama
untuk menghadapi tantangan yang kian berat dengan adanya permasalahan
seperti kemiskinan, korupsi, konflik kepentingan, kesenjangan sosial
ekonomi, ketidakpastian pelaksanaan hukum, dan jurang generasi. Belum
lagi fenomena global seperti liberalisasi ekonomi, memudarnya
ideologi serta meningkatnya komunikasi lintas-batas negara serta budaya.

Pudar

Akan tetapi, memasuki usia 50 tahun, gaung dari kajian antropologi
seakan memudar. Hanya sedikit terdengar nama besar di bidang ini,
terutama sepeninggal pakar antropologi Koentjaraningrat. Di tengah
berbagai tantangan dan isu pembangunan, misalnya, peran para ahli
antropologi juga seakan tenggelam.

Bagi Jasmine, eksistensi ilmuwan antropologi di Indonesia tetap ada.
Hanya saja, saat ini tidak terpusat pada satu tokoh seperti di era
Koentjaraningrat. "Saat itu antropologi masih terbilang baru dengan
sedikit orang yang menguasai ilmu itu. Sekarang sudah jauh lebih
banyak dan terspesifikasi," ujarnya.

Lain lagi pendapat James Danandjaja, pakar antropologi yang menekuni
folklore. Ketidakmunculan lagi nama-nama besar, antara lain,
dikarenakan para akademisi di bidang antropologi malas menulis
sehingga tidak terukir dalam peta ingatan masyarakat pembaca.
"Menulis merupakan monumen diri sendiri. Harus ada yang dihasilkan,
baik tulisan, video, atau dokumentasi apa pun," ujarnya.

Selain itu, menurut James, dahulu ahli antropologi lebih dilibatkan
dalam program pembangunan. Koentjaraningrat, misalnya, masuk ke dalam
struktur pemerintahan. Walaupun diakuinya, terpakainya kajian- kajian
antropologi dalam program pembangunan masih dapat diperdebatkan.
"Sekarang malah jauh berkurang. Padahal, departemen-departemen
tertentu, seperti Departemen Sosial, dapat menggunakan manfaat dari
antropologi," ujarnya.

Bagi Iwan Tjitradjaja, Ketua Program Studi Pascasarjana Antropologi
UI, "kekalahan" antropologi dari sektor lain antara lain karena
eksekutif pembangunan cenderung memandang pembangunan sebatas
pembangunan ekonomi. Padahal, secara retorika, sejak dua dekade lalu
telah ditekankan pembangunan mementingkan sosial dan budaya.
Praktiknya, secara teknis ekonomi tetap dikedepankan.

"Dalam perencanaan sebetulnya para ahli antropologi telah dilibatkan,
misalnya dalam feasibility studies. Sayangnya, banyak hasil studi
yang tidak dimanfaatkan. Terkadang, para antropolog telah dilibatkan,
namun saran-saran itu rawan masuk laci meja jika tidak sesuai dengan
kepentingan," kata Iwan.

Dia mencontohkan pentingnya arti kajian antropologi dalam persoalan
kehutanan, penebangan liar, dan okupasi lahan yang telah terjadi luar
biasa. Mulai tahun 1980-an, laju kerusakan hutan sekitar dua juta
hektar dan secara teknis deforestasi kurang berhasil. Muncul konflik
antara pemerintah, pengusaha, dan masyarakat hutan. Konflik lalu
mulai meletupkan kekerasan.

Ketidakberhasilan itu bukan semata masalah teknis, melainkan soal
sosial budaya. Untuk memahami mengapa terjadi kerusakan hutan, kata
Iwan, perlu dipahami dalam konteks dan dimensi budaya.

"Dengan memahami kebudayaan, potensi, kebiasaan masyarakat, semua
pihak bisa duduk bersama dan menyelesaikan permasalahan. Terdapat
apresiasi terhadap keberagaman. Warga desa umumnya tidak
berpendidikan formal tinggi dan kerap dianggap bodoh oleh pengusaha
atau pemerintah. Di sisi lain, warga desa tidak mengerti gaya dan
penampilan hidup yang ditampilkan oleh aparat dan pengusaha yang
terdidik dan orang perkotaan. Orang luar, bagi warga hutan, kerap
dianggap sebagai penyebab terbatasnya akses mereka terhadap sumber
daya alam. Apalagi gaya materialistis yang ditampilkan orang luar.
Pengaruh itu menular dan menguat menjadi kecemburuan. Ini menimbulkan
potensi konflik sosial," ujarnya.

Di negara seperti Indonesia, persoalan yang muncul dari keberagaman
suku bangsa, kelas ekonomi, dan kelas sosial menjadi rawan. Apalagi
diwarnai ketimpangan penguasaan aset ekonomi. Antropologi yang
mencermati kejadian di lapangan dan mendapatkan informasi langsung
dari masyarakat sangat dibutuhkan untuk menjalankan pembangunan yang
berawal dari bawah dan tidak elitis.

Manusia dikesampingkan

Senyapnya gaung antropologi dalam pembangunan, menurut Achmad
Fedyani, tak lepas dari kenyataan betapa selama ini pembangunan kerap
mengesampingkan manusia dan budayanya. Seharusnya manusia ditempatkan
sebagai subyek, mengingat arah pembangunan yang baik ialah untuk
kesejahteraan rakyatnya: manusia!

"Antropologi memang mempelajari suatu komunitas secara mendalam dan
dari dekat. Akan tetapi, ia mempunyai kemampuan reflektif. Ibarat
cahaya lampu yang ditutupi kertas berlubang- lubang, sebagian cahaya
akan menembus lubang dan terpantul di sana-sini. Begitu juga dengan
antropologi, suatu kasus yang dipelajari di suatu tempat dapat
terjadi di tempat lain dan menjadi pembelajaran. Walaupun, tentu
saja, solusinya tetap harus disesuaikan dengan aspirasi masyarakat
dan tidak seragam," ujarnya.

Lebih miris lagi, kebudayaan kerap kali didangkalkan menjadi sekadar
adat istiadat dan kesenian. Padahal, budaya secara lebih luas ialah
cara berpikir, pengetahuan, pandangan hidup, dan nilai-nilai.

Jika para pengguna penelitian antropologi menggunakannya dengan
tepat, antropologi akan sangat besar memberikan pengaruh. Saat ini
Fedyani, misalnya, dilibatkan dalam Lembaga Demografi UI yang
mempunyai ide untuk memasukkan aspek sosial budaya ke dalam dunia
kesehatan. Bentuknya, berupa program non-gelar sosial budaya untuk
seluruh fakultas kedokteran di Indonesia. Antropologi dijadikan satu
mata kuliah.

"Jangan salah, dokter juga harus mempunyai kompetensi sosial budaya.
Begitu mereka bertugas di lapangan akan muncul beragam tantangan.
Pemahaman sosial budaya akan sangat baik untuk mengatasi persoalan-
persoalan itu. Dokter berhadapan dengan manusia dengan segala latar
belakang budayanya. Kasarnya, kalau mereka menyuntik, itu bukan
sekadar menyuntik benda fisik dan yang disuntik lalu sembuh," katanya.

Di usia yang setengah abad, semoga saja kajian antropologi di
Indonesia semakin dihargai. Tentu saja agar hidup kita bersama
sebagai bangsa tidak diwarnai kesalahkaprahan....


Sumber: KOMPAS, 25 September 2007

Yang Asyik-asyik dari "Antropologi Klasik"

Oleh: Mulyawan Karim dan Rudy Badil


Saat berlangsung Ekspedisi Tanah Papua, Agustus lalu, belasan
wartawan Kompas menyebar di segala pelosok tanah Papua. Tentu saja
dengan niatan meliput soal masyarakat dan kebudayaan Papua, di masa
ramai-ramainya demo dan bertebarannya layanan pesan singkat atau SMS
penuh muatan teror berita ribut-ribut soal otonomi khusus, pemekaran
daerah, hubungan kurang seru antara Merah Putih dan "bintang kejora",
malah pakai tebaran bumbu isu "seperatisme" segala.

Anggota Ekspedisi Tanah Papua (ETP) yang bertugas mencari berita dan
kisah kejadian di lapangan tentu saja senang-senang tak tenang
membaca catatan ancaman SMS yang seru-seram, atau sering tertawa
mendengar mop atau cerita lucu-lucuan khas Papua, semisal mop saat
gencar-gencarnya kampanye aman dari HIV/AIDS dengan kondom: "Kau mau
aman, jangan pakai tentara jangan pakai polisi. Pakai... kondom!"

Namun, yang kepikiran justru bukan SMS atau mop itu. Sebab, dari
catatan yang terbawa, tercatat nama-nama yang kebanyakan bergelar
sarjana antropologi, juga sarjana ilmu lainnya, termasuk pakar
otodidak di Papua.

Pertemuan dan diskusi terjalin rapi jali, informasi pun masuk dengan
tulus dan mulus. Hingga rekan yang di Lembah Balim tahu duduk soal
"busana", berupa cangkang labu kering penutup aurat pria itu namanya
holim, atau koteka di Paniai, huni di Mapi, kobewak di kawasan
Tolikara, atau anyum di Pegunungan Bintang. Juga rumah bundar orang
Dani, namanya dalam tulisan antara honae, honei, honay, dan bukan
"honey" yang dikira turis bule artinya madu atau sayang.

Untungnya kebanyakan sarjana antropologi atau antropolog, begitu
sebutannya, memang "Anak-anak Papua", misalnya Dr Johsz Robert
Mansoben, Dr Nafi Sangganafa, Drs Jack Morind MA, Drs Frans Apomfires
MA, Dra Mien A Rumbiak MA, Drs Freddy Sokoy MA, Drs Roriwo Karetji MM
beserta antropolog lainnya. Kebetulan sekali, mayoritas dari nama itu
memang antropolog "cangkokan" dari Universitas Indonesia (UI), UGM,
Unpad, dan juga luar negeri.

Akan tetapi, selain nama antropolog Papua yang "Orang Komin" dengan
kulit hitam dan rambut keriting, juga ada beberapa "Orang Amber" yang
bukan "anak Papua" karena rambut lurusnya dengan kulit sawo matang,
tetapi mengenal Papua karena tugas dan memang kelahiran Papua,
seperti Ahmad Kadir MSi, Marsum MSi, atau Dr Onny Suwardi Redjo MPH
yang "jamer" alias Jawa-Merauke. Selain itu, ada juga Nicodemus Tan
yang peranakan China-Papua serta sobat lain, termasuk rohaniwan dan
guru sekolah yang "Orang Amber", tetapi memiliki pengetahuan "ilmu
dasar" antropologi praktis karena tugas dan pergaulannya sehari-hari.

Kesadaran mencari sumber yang tahu antropologi mutlak bagi peliput
yang mau menulis jernih dan bersih soal manusia dan budaya Papua.
Bayangkan kalau sampai salah sumber, bisa- bisa dianggap menyebarkan
isu murahan sejenis SMS teror yang lagi ramai-ramainya di sana.

Disebut "ilmu sisa"

Sebelum kemerdekaan tahun 1945, antropologi memang "ilmunya" orang
Belanda. Mereka yang akan bertugas di Hindia Timur sebagai pegawai
pemerintah kolonial, tentara, atau penyiar agama diwajibkan punya
bekal pengetahuan luas soal bumi, bahasa-bahasa, dan adat istiadat
rakyat negeri jajahan itu.

Ilmu tentang Indonesia itu disebut land- en volkenkunde van
Nederlandsch-Indie alias ilmu bumi dan ilmu bangsa-bangsa Hindia
Belanda, bukan antropologi.

Satu-satunya antropolog Belanda masa itu hanya GA Wilken, guru besar
Universitas Leiden pada 1885. Dalam buku Tokoh-tokoh Antropologi
(1962), Wilken disebut Koentjaraningrat (15 Juni 1923-23 Maret 1999)
sebagai penganut aliran evolusionisme karena membuat kerangka dasar
untuk penggolongan suku bangsa di Indonesia.

Setelah zaman Wilken, penelitian tentang bumi, masyarakat, dan
kebudayaan Indonesia diambil alih pakar non-antropologi. Misalnya
penelitian bahasa dan filologi, aneka ragam masyarakat dan hukum adat
Nusantara, menghasilkan adatrechtsmonografieen atau adatrechtbundels.
Penelitian sejarah persebaran agama Islam, hukum Islam, prasejarah
Indonesia, dan lainnya, termasuk masyarakat pedesaan Indonesia, lebih
banyak dilakukan ahli pertanian. Sampai-sampai di Belanda antropologi
disebut sebagai "ilmu sisa" karena meneliti aspek masyarakat dan
kebudayaan Indonesia yang dianggap tak perlu diselidiki dan dikaji lagi.

Bersamaan dengan itu, pengumpulan data etnologi Indonesia yang giat
dilakukan akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, meski bukan dilakukan
antropolog, dapat menghasilkan karya etnogarfi yang lengkap. Misalnya
C Snouck Hurgronje yang ahli filologi Semit, tetapi terkenal sebagai
penulis buku etnografi Aceh dan Gayo yang hebat. AW Niewenhuis yang
dokter, tetapi menulis buku deskripsi lengkap dan mendalam tentang
suku-suku Dayak di Kalimantan, saatnya memimpin ekspedisi lintas
Kapuas-Mahakam dari Barat-Timur Kalimantan.

Begitu juga buku etnografi tentang adat istiadat suku Toraja Barat
dan Toraja Timur, karya AC Kruyt yang seorang guru agama, tetapi
sudah berbekal land- en volkenkunde dari Binnenlands Bestuur atau
Departemen Dalam Negeri Belanda.

Pada masa yang sama, antropolog Barat non-Belanda juga banyak
meneliti di Indonesia bagian timur. Di antaranya EM Loeb sebagai
antropolog Amerika Serikat pertama yang meneliti di Sumatera Barat,
disusul antropolog perempuan AS, seperti Cora Dubois yang meneliti di
Alor dan Margaret Mead di Bali.

Era baru kajian antropologi Indonesia muncul menjelang Perang Dunia
II. JPB de Josselin de Jong bersama antropolog Belanda lainnya
meneliti struktur sosial kuno masyarakat di Nusa Tenggara, Sulawesi,
Kalimantan, Papua, dan lainnya.

Namun, penelitian tentang keanekaragaman masyarakat dan kebudayaan
Indonesia sempat terhenti pada awal zaman kemerdekaan karena peneliti
Belanda itu hampir semua pulang ke Belanda, kecuali GJ Held yang guru
besar antropologi di UI sampai wafatnya pada 1956.

Peran antropolog Belanda berangsur diambil alih peneliti dari AS.
Sejak sekitar tahun 1955 banyak di antaranya meneliti lapangan di
Indonesia. Beberapa hasil risetnya pun menjadi buku klasik dan
legendaris, seperti Clifford Geertz (Religion of Java, 1960), Hildred
Geertz (The Javanese Family, 1961), dan AC Dewey (Peasant Marketing
in Java, 1962).

Menyebar setelah UI

Dalam masa peralihan itu pula, tepatnya tahun 1957, setelah setahun
sebelumnya Koentjaraningrat kembali membawa gelar master antropologi
dari Universitas Yale.

Waktu itu berdiri jurusan antropologi di Fakultas Sastra UI. Jurusan
baru ini membuka peluang bagi mahasiswa Indonesia melanjutkan studi
di bidang penelitian masyarakat dan kebudayaannya. Bukan lagi
meneliti kegiatan koloni penjajahan, seperti yang dilakukan ahli
land- en volkenkunde Belanda dulu.

Antropologi sebagai ilmu baru dikembangkan melalui mata kuliah dasar,
agar mahasiswanya mulai mengerti lebih jauh soal keindonesiaan dengan
ragam-ragam budayanya.

Pengetahuan yang tadinya berdasarkan kebutuhan praktis Belanda, yang
disebut practical anthropology, kini mempelajari lebih tajam lagi
soal asas kebudayaan, konsep, metode dan teori baru, juga menjadi
ilmu terapan untuk penelitian perubahan dan pergeseran kebudayaan
manusia dalam masa transisi sosial budayanya.

Ilmu yang tadinya disebut "ilmu sisa" sepertinya kini cocok disebut
sebagai salah satu "dasar"-nya ilmu-ilmu sosial, agar orang lebih
mengenal manusia lainnya secara utuh sebagai individu berikut latar
belakang sosial budayanya. Sebab, selama 50 tahun kian banyak
antropolog di banyak perguruan tinggi, sambil mengajar dan
mengembangkan antropologi di dalam ruang maupun lapangan penelitian.

Hanya yang harus dipikirkan, apa saja karya lapangan yang dapat
diterapkan untuk umum, agar mengenal lebih jauh manusia dan perilaku
sosial-budayanya.

Sebab, kalau dari buku referensi hasil penelitian empirik, terus
terang sulit bagi wartawan menemukan bahan yang cocok mau tahu ABC-
nya manusia dan kebudayaan yang didatangi, seperti yang dihadapi tim
ETP Kompas selama di Papua.

Untung rekan-rekan Universitas Cenderawasih amat bersahabat dan mau
bagi-bagi ilmunya. Harap saja masih ada rekan antropolog di USU
Medan, Unpad Bandung, UGM Yogyakarta, Udayana Denpasar, Unhas
Makassar, Unsrat Manado, Uncen Jayapura dan lainnya masih tetap mau
bagi-bagi sisi lain ilmu antropologinya, sebagai ilmu dasar yang
klasik tapi asyik.


Sumber: KOMPAS, 27 September 2007

Surat Cinta Untuk Calon Istriku

PS: ini adalah tulisan dari seorang kawan, meskipun begitu pesan yang disampaikan dalam tulisan ini lebih dari cukup untuk mewakili apa yang saya (dan laki2 pada umumnya) fikirkan. semoga bisa jadi manfaat buat [kita] semua. selamat membaca.....

Assalammu'alaikum Wr... Wb...

Apa kabar calon istriku? Hope u well and do take care...
Allah selalu bersama kita

Ukhtiku...
Masihkah menungguku...?

Hm... menunggu, menanti atau whatever-lah yang sejenis dengan itu kata orang membosankan. Benarkah?!
Menunggu...
Hanya sedikit orang yang menganggapnya sebagai hal yang 'istimewa'
Dan bagiku, menunggu adalah hal istimewa
Karena banyak manfaat yang bisa dikerjakan dan yang diperoleh dari menunggu
Membaca, menulis, diskusi ringan, atau hal lain yang bermanfaat

Menunggu bisa juga dimanfaatkan untuk mengagungkan-Nya,
melihat fenomena kehidupan di sekitar tempat menunggu,
atau sekadar merenungi kembali hal yang telah terlewati
Eits, bukan berarti melamun sampai angong alias ngayal dengan pikiran kosong
Karena itu justru berbahaya, bisa mengundang makhluk dari 'dunia lain' masuk ke jiwa

Banyak hal lain yang bisa kau lakukan saat menunggu
Percayalah bahwa tak selamanya sendiri itu perih
Ngejomblo itu nikmat, jenderal!
Ups, itu judul tulisanku beberapa waktu lalu

Bahwa di masa penantian, kita sebenarnya bisa lebih produktif
Mumpung waktu kita masih banyak luang
Belum tersita dengan kehidupan rumah tangga
Jadi waktu kita untuk mencerahkan ummat lebih banyak
Karena permasalahan ummat saat ini pun makin banyak

Karenanya wahai bidadari dunia...
Maklumilah bila sampai saat ini aku belum datang
Bukan ku tak ingin, bukan ku tak mau, bukan ku menunda
Tapi persoalan yang mendera bangsa ini kian banyak dan kian rumit
Begitu banyak anak tak berdosa yang harus menderita karena busung lapar, kurang gizi, lumpuh layuh hingga muntaber
Belum lagi satu per satu kasus korupsi tingkat tinggi yang membuktikan bahwa negeri ini 'sarang tikus'
Ditambah lagi bencana demi bencana yang melanda negeri ini
Meski saat ini hidup untuk diri sendiri pun rasanya masih sulit
Namun seperti seorang ustadz pernah mengatakan bahwa hidup untuk orang lain adalah sebuah kemuliaan Memberi di saat kita sedang sangat kesusahan adalah pemberian terbaik
Bahwa kita belumlah hidup jika kita hanya hidup untuk diri sendiri

Ukhtiku...
Di mana pun engkau sekarang, janganlah gundah, janganlah gelisah
Telah kulihat wajahmu dan aku mengerti,
betapa merindunya dirimu akan hadirnya diriku di dalam hari-harimu
Percayalah padaku aku pun rindu akan hadirmu
Aku akan datang, tapi mungkin tidak sekarang
Karena jalan ini masih panjang
Banyak hal yang menghadang
Hatiku pun melagu dalam nada angan
Seolah sedetik tiada tersisakan
Resah hati tak mampu kuhindarkan
Tentang sekelebat bayang, tentang sepenggal masa depan
Karang asaku tiada 'kan terkikis dari panjang jalan perjuangan, hanya karena sebuah kegelisahan
Lebih baik mempersiapkan diri sebelum mengambil keputusan
Keputusan besar untuk datang kepadamu

Ukhtiku...
Jangan menangis, jangan bersedih, hapus keraguan di dalam hatimu
Percayalah pada-Nya, Yang Maha Pemberi Cinta,
bahwa ini hanya likuan hidup yang pasti berakhir
Yakinlah...saat itu pasti 'kan tiba
Tak usah kau risau karena makin memudarnya kecantikanmu
Karena kecantikan hati dan iman yang dicari
Tak usah kau resah karena makin hilangnya aura keindahan luarmu
Karena aura keimananlah yang utama
Itulah auramu yang memancarkan cahaya syurga,
merasuk dan menembus relung jiwa

Wahai perhiasan terindah...
Hidupmu jangan kau pertaruhkan, hanya karena kau lelah menunggu. Apalagi hanya demi sebuah pernikahan. Karena pernikahan tak dibangun dalam sesaat, tapi ia bisa hancur dalam sedetik. Seperti Kota Iraq yang dibangun ratusan tahun, tapi bisa hancur dalam waktu sekian hari.

Jangan pernah merasa, hidup ini tak adil
Kita tak akan pernah bisa mendapatkan semua yang kita inginkan dalam hidup
Pasrahkan inginmu sedalam qalbu, pada tahajjud malammu
Bariskan harapmu sepenuh rindumu, pada istikharah di shalat malammu
Pulanglah pada-Nya, ke dalam pelukan-Nya
Jika memang kau tak sempat bertemu diriku,
sungguh...itu karena dirimu begitu mulia, begitu suci
Dan kau terpilih menjadi “Ainul Mardhiyah” di jannah-Nya

Ukhtiku...
Skenario Allah adalah skenario terbaik
Dan itu pula yang telah Ia skenariokan untuk kita
Karena Ia sedang mempersiapkan kita untuk lebih matang,
merenda hari esok seperti yang kita harapkan nantinya
Untuk membangun kembali peradaban ideal seperti cita kita

Ukhtiku...
Ku tahu kau merinduiku, bersabarlah saat indah 'kan menjelang jua
Saat kita akan disatukan dalam ikatan indah pernikahan
Apa kabarkah kau disana?
Lelahkah kau menungguku berkelana?
Lelahkah menungguku kau disana?
Bisa bertahankah kau disana?
Tetap bertahanlah kau disana...
Aku akan segera datang, sambutlah dengan senyum manismu
Bila waktu itu telah tiba,
kenakanlah mahkota itu,
kenakanlah gaun indah itu...
Masih banyak yang harus kucari, 'tuk bahagiakan hidup kita nanti...

Ukhtiku...
Malam ini terasa panjang dengan air mata yang mengalir
Hatiku terasa kelu dengan derita yang mendera,
kutahan derita malam ini sambil menghitung bintang
Cinta membuat hati terasa terpotong-potong
Jika di sana ada bintang yang menghilang,
mataku berpendar mencari bintang yang datang
Kalau memang kau pilihkan aku, tunggu sampai aku datang...

Ku awali hariku dengan tasbih, tahmid dan shalawat
Dan mendo'akanmu agar kau selalu sehat, bahagia,
dan mendapat yang terbaik dari-Nya
Aku tak pernah berharap, kau 'kan merindukan keberadaanku yang menyedihkan ini
Hanya dengan rasa rinduku padamu, kupertahankan hidup
Maka hanya dengan mengikuti jejak-jejak hatimu, ada arti kutelusuri hidup ini
Mungkin kau tak pernah sadar betapa mudahnya kau 'tuk dikagumi
Akulah orang yang 'kan selalu mengagumi, mengawasi, menjaga dan mencintaimu

Ukhtiku...
Saat ini ku hanya bisa mengagumimu,
hanya bisa merindukanmu
Dan tetaplah berharap, terus berharap
Berharap aku 'kan segera datang
Jangan pernah berhenti berharap,
Karena harapan-harapanlah yang membuat kita tetap hidup

Bila kau jadi istriku kelak,
jangan pernah berhenti memilikiku
dan mencintaiku hingga ujung waktu
Tunjukkan padaku kau 'kan selalu mencintaiku
Hanya engkau yang aku harap
Telah lama kuharap hadirmu di sini
Meski sulit, harus kudapatkan
Jika tidak kudapat di dunia...
'kan kukejar sang Ainul Mardhiyah yang menanti di surga

Ku akui cintaku tak hanya hinggap di satu tempat,
aku takut mungkin diriku terlalu liar bagimu
Namun sejujurnya, semua itu hanyalah persinggahan egoku,
pelarian perasaanku
dan sikapmu telah meluluhkan jiwaku
Waktu pun terus berlalu dan aku kian mengerti...
Apa yang akan ku hadapi
Dan apa yang harus kucari dalam hidup

Kurangkai sebuah tulisan sederhana ini,
untuk dirimu yang selalu bijaksana
Aku goreskan syair sederhana ini,
untuk dirimu yang selalu mempesona
Memahamiku dan mencintaiku apa adanya
Semoga Allah kekalkan nikmat ini bagiku dan bagimu
Semoga...

Kau terindah di antara bunga yang pernah aku miliki dahulu
Kau teranggun di antara dewi yang pernah aku temui dahulu
Kau berikan tanda penuh arti yang tak bisa aku mengerti
Kau bentangkan jalan penuh duri yang tak bisa aku lewati
Begitu indah kau tercipta bagi Adam
Begitu anggun kau terlahir sebagai Hawa
Kau terindah yang pernah kukagumi meski tak bisa aku miliki
Kau teranggun yang pernah kutemui meski tak bisa aku miliki

Ya Allah...
ringankanlah kerinduan yang mendera
kupanjatkan sepotong doa setiap waktu,
karena keinginan yang menyeruak di dalam diriku

Ya Allah...
ampuni segala kekhilafan hamba yang hina ini
ringankan langkah kami
beri kami kekuatan dan kemampuan
tuk melengkapkan setengah dien ini,
mengikuti sunnah RasulMu
jangan biarkan hati-hati kami
terus berkelana tak perpenghujung
yang hanya sia-sia dengan waktu dan kesempatan
yang telah Engkau berikan
Aamiin...

Wassalamu'alaikum Wr... Wb...

Penuh Cinta Selalu Untuk Selamanya, Fillah...

Selasa, 28 September 2010

Sampah dan Perilaku Adaptif Warga Kota Jakarta*

Oleh: Dasril Guntara

Tentunya kita masih ingat tentang kasus daging sampah olahan yang menggegerkan ibu kota belakangan ini. Istilah ini muncul setelah diketahui beredarnya daging bekas sampah restaurant di salah satu pasar tradisional di Jakarta. Tidak pernah terbayangkan bahwa ada saja orang-orang yang tega bertindak senekat itu. Kasus ini pula kemudian mengingatkan kita pada realitas riil kehidupan warga Jakarta yang penuh sesak dengan beragam persoalan. Separah itu-kah kehidupan ibu kota? Jika memang demikian mungkin ada benarnya syair lagu “siapa suruh datang ke Jakarta...”. Pada dasarnya siapa pun berhak tinggal dan hidup di kota khususnya kota Jakarta yang memang punya daya pikat tersendiri. Bayangkan saja berapa besar jumlah penduduk kota Jakarta jika dibandingkan dengan luas wilayahnya. Tentu akan terlihat ketimpangan populasi apalagi jika dilakukan perbandingan jumlah populasi penduduk antar kota di Indonesia.

Fenomena menyampah warga Jakarta
Jakarta sebagai jantung Indonesia bagi kebanyakan orang adalah sumber penghidupan yang potensial baik secara sosial maupun ekonomi. Tidak heran jika kemudian Jakarta menjadi objek utama urbanisasi yang sangat dominan. Setiap tahun jumlah penduduk Jakarta semakin bertambah sementara ruang-ruang dalam kota tidak bertambah luas. Akibatnya Jakarta menjadi semakin sesak dipadati oleh mereka yang bermigrasi dari daerah-daerah di Indonesia. Dengan kata lain, pada kondisi ini Jakarta telah mendominasi daerah-daerah lain disekitarnya.
Fenomena ini pada kenyataanya membawa permasalahan tersendiri yang semakin lama kian kronis. Permasalahan yang paling mencolok secara fisik jelas terlihat dari aspek lingkungan hidup yakni fenomena sampah di ibu kota. Sampah di kota Jakarta bak tumpukan realitas yang mencerminkan perilaku sebenarnya dari warga. Kebiasaan masyarakat yang suka menyampah ini menjadi salah satu sumber penyebab banjir di Jakarta. Sekitar 40 persen dari 6.000 ton sampah yang dibuang lebih dari 12 juta penduduk Jakarta setiap harinya dibuang ke sungai (Samhadi, 2008). Selain itu Data Dinas Kebersihan DKI Jakarta menunjukkan, sekitar 15,3 persen dari 6.000 ton sampah, yang dihasilkan warga Jakarta, dibuang sembarangan. Sampah itu dibuang di jalan, kali atau sungai, dan taman kota. Selain mengotori lingkungan, timbunan sampah di sungai atau kali ikut memperparah banjir.
Jika wacana ini direfleksikan dalam tataran kognitif, mungkin muncul pertanyaan dalam benak mengapa terjadi fenomena sampah yang begitu memprihatinkan di kota yang seharunya menjadi citra Indonesia di mata internasional. Siapa yang harus bertanggung jawab atas fenomena ini, lebih-lebih jika persoalanya sudah merambah pada permasalahan kesehatan dan bencana alam. Ironisnya, masih saja masyarakat mengeluhkan hal ini terjadi karena sampah tanpa pernah berfikir siapa yang telah menghadirkan sampah dan membuat sampah menjadi bencana bagi dirinya. Akhirnya sampah dijadikan kambing hitam atas degredasi moral dan etika serta minimnya kesadaran terhadap lingkungan hidup pada diri manusia.

Pola perlilaku menyampah
Menurut S. Kaplan dalam buku Psikologi Lingkungan (Sarwono, 1992) bahwa manusia itu pada dasarnya adalah mahkluk yang berakal sehat (man is reasonable person). Sebagai makhluk berakal sehat, maka ia selalu ingin menggunakan akal sehatnya, namun ia tidak selalu dapat melakukannya. Hal ini bergantung pada faktor yang mempengaruhinya seperti situasi dan kondisi lingkungan. Masih menurut S. Kaplan bahwa manusia sebagai makhluk berakal sehat berbeda dari manusia sebagai makhluk rasional. Selanjutnya menurut Prof. Sarlito Wirawan Sarwono (pakar psikologi) bahwa rasio tidak bergantung pada situasi, sedangkan akal sehat bergantung pada situasi (Kumurur, 2006). Misalnya apabila seseorang membuang sampah sembarangan, ia akan mengotori lingkungan dan hal ini berlaku dimana dan kapan saja. Namun, jika suatu ketika orang itu berada di tempat yang memang sudah kotor dan penuh dengan sampah, akal sehatnya berkata bahwa tidak apalah ia menambah sedikit sampah lagi di tempat itu daripada dia harus membawanya ke tempat sampah yang belum tentu ada di sekitar tempat itu. Sebaliknya ketika ia berada di tempat yang terjaga kebersihannya, akal sehatnya mengatakan bahwa ia tidak layak mengotori tempat itu.
Konteks ini menggambarkan adanya hubungan pola perilaku manusia dengan lingkungan sekitarnya. Baik itu lingkungan fisik maupun sosial, keduanya merupakan elemen yang saling mendukung menciptakan warna budaya dari komunitas manusia yang bersangkutan. Kota dalam hal ini merupakan suatu areal lingkungan yang berkembang dengan bebagai ornamen fisik yang menghiasi mozaik kehidupan warganya. Corak budaya serta karakter kehidupan perkotaan jelas berbeda dengan pola-pola yang ada dipedesaan. Dalam perkembangannya manusia telah merubah atau menciptakan lingkungan alam/fisik menjadi lingkungan budaya, manusia sebenarnya telah menata dan menggunakan ruang-ruang yang ada dalam lingkungan alam/fisik tersebut dengan konsep-konsep kebudayaannya dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya sehingga fungsional dalam struktur kehidupannya (Suparlan, 2004). Oleh karena itu budaya yang terbentuk dalam masyarakat perkotaan merupakan sebuah sintesa dari interpretasi masyarakatnya terhadap lingkungan yang mereka representasikan. Begitu halnya dengan perilaku menyampah warga kota, bisa disimpulkan hal ini merupakan refleksi dari cerminan budaya warga ibu kota terhadap tempat tinggal mereka. Dengan kata lain muncul asumsi dimana perilaku menyampah merupakan suatu cara warga kota dalam beradaptasi dengan lingkungan kota. Namun perlu diperhatikan juga dengan kondisi lingkungan, sebab dalam hal ini lingkungan menjadi faktor yang penting dalam menciptakan paradigma “mengkota” bagi para warga kota. Adakalanya ketika lingkungan bersih justru menciptakan pola kehidupan masyarakat yang bersih dan itu pun juga merupakan cara mereka untuk beradaptasi dengan lingkungan.

Adaptasi warga kota Jakarta
Vayda (1983) mengatakan bahwa asumsi umum perilaku manusia yang mempengaruhi lingkungan adalah ditentukan oleh konseptualisasi dasar atau keutamaan nilai-nilai alam/lingkungan. Alam selalu dinterpretasikan keberadaannya oleh manusia. Dalam mencari penjelasan dalam memahami perilaku manusia sehubungan interaksinya terhadap alam dan mengapa mereka melakukan hal-hal tertentu, maka bukan nilai-nilai dasar yang menjadi fokus perhatian melainkan lebih kepada konteks apa yang mereka lakukan. Hal ini dikarenakan ada hal yang terkadang juga perlu diperhatikan yakni kerusakan lingkungan yang tidak disengaja. Bulmer juga mengatakan bahwa dalam penelitian mengenai perilaku manusia dan efeknya terhadap lingkungan adalah dengan tidak memperhatikan pada nilai dasar atau tataran ideal akan tetapi sebaiknya lebih memperhatikan pada tindakan-tindakan manusia, tujuan mereka melakukan tindakan tersebut dan perhatian mereka akan tidakan tersebut terhadap lingkungan
Berkenaan dengan permasalahan perilaku menyampah maka tidak berlebihan manakala hal ini dilihat pada konteks adaptasi. Potensi adaptasi dalam perilaku menyampah menjadi sangat menarik untuk diperbincangkan. Adaptasi sebagai proses perilaku yang biasa dilakukan manusia karena didasari pada faktor psikologi untuk mengantisipasi masadepan, kenangan-kenangan dan lembaran-lembaran yang akan terjadi kedepan (Bennet, 1980:251). Adaptasi juga merupakan suatu proses yang dinamis karena baik organisme maupun lingkungan sendiri tidak ada yang bersifat konstan/tetap (Hardestry,45-46). Sedangkan Roy Ellen membagi tahapan adaptasi dalam 4 tipe. Antara lain adalah (1) tahapan phylogenetic yang bekerja melalui adaptasi genetik individu lewat seleksi alam, (2) modifikasi fisik dari phenotype/ciri-ciri fisik, (3) proses belajar, dan (4) modifikasi kultural. Modifikasi budaya bagi Ellen menjadi supreme atau yang teratas bagi homo sapiens, dimana adaptasi budaya dan transmisi informasi dikatakannya sebagai pemberi karakter spesifik yang dominan. Manusia dilahirkan dengan kapasitas untuk belajar seperangkat sosial dan kaidah-kaidah budaya yang tidak terbatas. Sehingga kemudian fokus perhatian adaptasi menurut Rot Ellen seharusnya dipusatkan pada proses belajar, dan modifikasi budayanya (Prasetijo, 2008).
Pilihan rasional menyampah
Dalam melihat sutu proses adaptasi dari sudut pandang lingkungan, dapat dirasakan bahwa individu maupun kelompok disini adalah unit yang melakukan sejumlah rangkaian pilihan teknik alternatif maupun pola-pola strategi tententu dimana masing-masing variannya memiliki sejumlah konsekuensi tertentu terahadap sumberdaya dan lingkungan secara umum. Pedoman dalam prinsip perilaku manusia pada konteks menggunakan atau menyalahgunakan sumberdaya alamnya adalah merupakan suatu pilihan rasional dalam mencapai tujuan alternatif dan strategi bertahan mereka. Sepertihalnya dalam kebiasan menyampah warga kota Jakarta, tindakan seperti ini bisa jadi merupakan suatu bentuk pilihan rasional untuk beradaptasi dengan lingkungan kota yang semakin jorok, kotor, dan jauh dari kesan indah.

Menyampah sebagai suatu bentuk copyng behaviour
Menurut Bennett, adaptasi merupakan suatu cara untuk mengkonseptualisasikan sebuah proses dimana di dalamnya terdapat suatu kesatuan dari beberapa tingkatan atau dimensi permasalahan sumberdaya yang digunakan maupun yang diselewengkan. Kapasitas individu dalam bersinergis dengan lingkungannya dapat didefinisikan sebagai suatu adaptasi demikian halnya kapasitas kelompok masyarakat untuk dapat bertahan dan melakukan perubahan terhadap lingkungan juga dapat didefinisikan sebagai suatu adaptasi.
Sementara disisi lain pada hakikatnya alam/lingkungan fisik bersifat open acces yakni terbuka bagi siapa pun untuk mengkases. Maka ketika tidak ada aturan yang mengatur batasan intervensi pada suatu lingkungan yang muncul adalah perilaku ekspolitatif. Perilaku ekspolitatif merupakan wujud dari sifat dasar manusia yang tidak pernah puas serta selalu mencari cara unutk memenuhi kepuasanya tersebut. Permasalahan beradaptasi pada warga Jakarta bisa dibilang merupakan suatu bentuk adaptasi yang lebih kearah pada perilaku meniru (copyng behaviour). Perilaku meniru menurut Bennet dapat didefinisikan sebagai suatu perilaku individu yang menyesuaikan diri dari tekanan lingkungan sekitar. Yang memebedakannya dari strategi adaptif adalah dimensi pelakunya dimana dalam adaptasi lebih kearah perilaku sejumlah orang dalam suatu kelompok sosial tertentu sementara dalam perilaku meniru subjek pelakunya adalah individu. Selain itu strategi adaptasi sangat memperhatikan hasil atau tujuan-tujuan tertentu sebagaimana yang dikatakan oleh Bennett yakni pedoman dalam prinsip perilaku manusia pada konteks menggunakan atau menyalahgunakan sumberdaya alamnya adalah merupakan suatu pilihan rasional dalam mencapai tujuan alternatif dan strategi bertahan mereka. Akan tetapi hal ini tidak terjadi dalam perilaku meniru atau stategi koping yang tidak memperhatikan hasil (folekman, 1984). Secara konseptual maka pola hubungan yang terjadi adalah seperti berikut: Individual→ copying behavior → adjustive process
Dari pola tersebut maka sebagai contoh dapat dilihat pada kasus perilaku meyalahgunakan fungsi kali pada masyarakat kota Jakarta yang tinggal di bantaran kali Ciliwung. Banyak orang yang memanfaatkan kali untuk membuang sampah atau limbah rumah tangga akibatnya kali menjadi tercemar dan ekosistemnya rusak, selain itu juga membahayakan kesehatan mereka sendiri. Kondisi ini diperparah dengan adanya gejala urbanisasi yang tidak terkendali, dimana mereka yang datang dari daerah di luar kota Jakarta dan tidak memiliki atau memperoleh akses terhadap tempat tinggal memilih untuk tinggal di bantaran kali yang jauh lebih terjangkau secara ekonomi. Permasalahnya orang daerah atau desa tertentu yang bisa jadi sewaktu di desa -dimana umumnya mereka hidup ber-simbiosa secara mutualistik dengan alam, harus berhadapan dengan kanyataan hidup di bantaran kali dengan berbagai realitas budayanya. Maka mau tidak mau mereka juga meniru perilaku kebanyakan orang yang tinggal disana. Perilaku yang demikian adalah suatu tindakan yang dilakukan tanpa memperhatikan dampak yang akan terjadi sekalipun mereka tahu bahayanya. Akan tetapi tuntutan lingkungan sosial sekaligus kondisi lingkungan secara fisik yang sudah terlajur rusak semakin membenarkan logika berfikir mereka yang tidak mementingakan bahaya alam akibat kerusakan ekologis.
Ketika hal-hal semacam ini banyak terjadi dalam skala massif dan sudah menjadi tradisi tahunan maka wajar bila Jakarta semakin semrawut. Jakarta tidak hanya disesaki oleh para kaum urban tapi juga sampah-sampah yang setiap saat mereka hasilkan. Keaadaan ini kian memperburuk lingkungan kota Jakarta yang bertambah suram dan miris dengan sampah-sampah menghiasi ruang-ruang fisiknya. Bukan hanya itu, dampaknya yang lain adalah disharmonisasi ekologis yang berpotensi mendatangkan bencana apapun ke dalam dimensi kehidupan warga kota Jakarta sendiri. Jadi siapa suruh datang ke Jakarta…


Daftar Referensi


Ribot, J. C.& N.L. Peluso (2003). “A Theory of Access,“ dalam Rural Sociology 68/2:153-170

Vayda, A.P.(1983). ”Progressive Contextualization: Methods for Research in Human Ecology.” Human ecology 11/3:m 265-281

Bennett, J. W.(1980). “Human Ecology as Human Behavior: a Normative Anthropology of Resource Use and Abuse,“ dalam Altman , I., et al, eds. Human Beahvior and Environment. Advances in Theory and Research. New York: Plenum Press.

Suparlan, Parsudi. Masyarakat dan kebudayaan perkotaan: perspeketif antropologi perkotaan. Jakarta: YPKIK, 2004

Samhadi, Sri Hartarti. Ibu Kota Menyongsong Banjir. www.kompas.com. Dikases 19 September 2008


*) Di presentasikan dalam Seminar yang diselenggarakan Departemen Antropologi FISIP UI dengan tema “Sampah dan Masalah Lingkungan Hidup di Daerah Perkotaan: Sebuah Tinjauan Antropologi”. 23 September 2008 bertempat di Auditorium Jiwa Bumiputera, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia