Digital Clock with Islamic Ornament

Sabtu, 31 Juli 2010

Etnografi Postmodern

Sejarahnya, metode etnografi biasanya dipakai dalam penelitian antroplogi dan sosoiologi. Sebagai penuntun kerangka kerja dalam proyek-proyek penelitian diwaktu lalu tampaknya metode ini beberapa sudah mulai ditinggalkan oleh para etnografer kontemporer. Transformasi sosial-sejarah masyarakat diera modern ini telah semakin di mudahkan dengan adanya teori dan nilai-nilai dasar dari etnografer sebelumnya. Positivisme menekankan akan pentingnya mencari fakta dan penyebab dari gejala-gejala sosial dengan kurang memperhatikan tingkah laku subyektif individu yang dapat dimasukkan dalam kategori tertentu, yang dari anggapan itu tampak bahwa positivisme melatarbalakangi pendekatan kuantitatif.

Pendekatan kualitatif menekankan akan pentingnya pemahaman tingkah laku menurut pola berpikir dan bertindak subyek kajian, karena itu paradigma alamiah atau naturalistik, mewarnai pendekatan kualitatif. Positivisme ialah pandangan filosofis yang dicirikan oleh suatu evaluasi yang positif dari ilmu dan metoda ilmiah, yang dengan demikian telah memberi dampak pada etika, agama, politik, dan filsafat serta metoda ilmiah, sehingga mempersiapkan suatu rasionalitas baru untuk Penggunaan metode kuantitatif, positivistik dan asumsi telah ditolak oleh peneliti kualitatif generasi yang terikat dan mendukung aliran poststruktural, postmodern yang sensitif. Para peneliti berargumentasi bahwa metode positivistik bukan jalan menceritakan kisah tentang masyarakat atau dunia sosial. Mereka juga bukan yang utama atau tidak lebih buruk dari metode yang lain, merka hanya dikatakan sebagai suatu perbedaan dari semacam kisah yang dimiliki.

Para ahli dari kelompok critical theory, constructivist dan aliran postmodern menolak kriteria positivis dan postpositivist sebagai pekerjaan yang layak. Mereka melihat bahwa kriteria itu tidak sesuai untuk kegiatan lapangan dan isinya merupakan reproduksi kriteria yang selalu memiliki macam kepastian dari sains, padahal sains itu bisu dan penuh kekerasan. Peneliti justru melihat bahwa kegiatan evaluasi kerja mengandung emosi, tanggapan pribadi, kebusukan pada etika, political praxis, teks kekerasan dan dialog dengan subjek. Sebaliknya positivistik menggunakan kelemahan di atas untuk bertahan diri dengan argumentasi bahwa mereka adalah sains yang baik, bebas dari bias individual dan subjektivitas; sebagai catatan bebas mereka melihat postmodern sebagai suatu serangan terhadap pikiran dan kebenaranmelaksanakan atau operasional ilmu.

Fleksibilisasi Hubungan Kerja: Tantangan Kaum Buruh di Era Global


Sebuah review dari Artikel Ronald Munck yang berjudul “Labour In The Global: Challenges and Prospects.”


Tidak ada ada satupun di dunia ini yang mampu mencegah laju perkembangan dunia. Realitas ini layaknya sebuah roda kehidupan yang tidak mungkin terelakan bagi segenap umat manusia yang hidup di muka bumi. Perkembangan dunia yang seringkali dipersonifikasikan pada zaman ini sebagai globalisasi pada kenyataannya menyimpan dinamikanya sendiri bagi kehidupan sosial manusia. Betapa tidak, sebab manusia sebagai zoon politicon harus membangun relasi diantara sesamanya dalam kehidupan. Begitu pun dalam relasi hubungan kepentingan antara mereka yang berkelompok sebagai pemodal (korporasi), Negara (birokrasi) dan para pekerja (buruh) dalam konteks hubungan industrial. Sejarah mencatat relasi yang terbentuk ini telah mengisahkan perjalanan panjang dinamika hubungan antar mereka yang salalu menghiasi ruang-ruang sosial disetiap sudut zaman.

Pembahasan yang di paparkan oleh Ronaldo Munck dalam artikelnya ini adalah suatu bentuk wacana yang perlu diperhatikan dalam wacana politik kaum buruh di era globalisasi yang semakin menghegemoni. Menurutnya salah satu dampak dari laju pertumbuhan dinamika globalisasi telah membawa persoalan baru sekaligus tantangan tersendiri bagi kaum buruh dalam relasinya dengan para pemilik modal dan Negara sebagai pengatur regulasi dalam tatanan kehidupan sosial masyarakat.

Ronaldo Munck yang juga melakukan studi tentang tipe-tipe fleksibilitas hubungan industrial di negara-negara OECD (Organization of Economic Cooperation and Development) menyebutkan bahwa fleksibilitas telah menjadi mode baru di negara-negara maju sebagai dampak dari tuntutan globalisasi. Tuntutan akan fleksibilitas itu sekurang-kurangnya dipengaruhi oleh sebagai berikut: pertama, faktor ketidakpastian industri secara eksternal yakni meningkatnya iklim kompetisi, risiko finansial dan ketidakpastian permintaan produk. Kedua, kecenderungan dan menguatnya aturan pasar yang menentukan industri. Ketiga, kecenderungan untuk memperkecil dan melenturkan bentuk dan strategi perusahaan. Menurutnya terdapat tipe-tipe fleksibilitas tersbut yakni Fleksibilitas proses dan organisasi produksi, Fleksibilitas sistem pengupahan, Fleksibilitas dalam labour costs, Fleksibilitas tenaga kerja dari sisi supply, Fleksibilitas fungsional, dan Fleksibilitas struktur pekerjaan.

Perubahan pola fleksibilitas ini jelas menuntut sikap yang tegas dari para serikat buruh.. Dalam catatan Munck, dalam konferensi International Conference of Free Trade Union (ICFTU) tahun 1999-2000 menyatakan demikian: ke depan gerakan buruh akan menghadapi persoalan-persoalan: pertama, perubahan pola hubungan industrial yang berpengaruh pada menurunnya keanggotaan serikat buruh oleh karena berkurangnya kelas buruh padat karya. Kedua, perubahan akan hubungan buruh-majikan yang semakin meninggalkan kompromi-kompromi sosial dan jaminan hak-hak buruh oleh modal. Ketiga, status publik serikat buruh yang semakin terbatas karena berkurangnya campur tangan negara atas perlindungan buruh. Keempat, ketidakpastian kondisi ekonomi yang dikuasai oleh cepatnya gerak modal finansial. Kelima, hubungan industrial yang semakin ditentukan oleh regulasi pasar.

Kondisi ini pada akhirnya membawa wacana strategi baru dikalangan kaum buruh sedunia. Sebab pola perubahan ini sangat menetukan nasib kesejahteraan para buruh. Situasi seperti ini akhirnya mengingatkan kembali pada perkiraan-perkiraan yang pernah diwacanakan oleh Karl Marx dan Frederick Engels dalam karya mereka yang sangat monumental, Manifesto Komunis. Buku kecil ini berisikan wawasan sekaligus pengetahuan akan prinsip-prinsip bersama para kaum proletar sebagai bentuk sikap mereka menghadapi kekuatan modal (kaum borjuis kala itu). Buku ini memaparkan penjelasan tentang bagaimana sistem kapitalisme mutakhir bangkit dari masyarakat feudal, lalu meletuskan krisis revolusioner dalam masyarakat dimana kelas-kelas baru bertempur dengan kelas lama. Tetapi ia juga menjelaskan bagaimana pertumbuhan kapitalisme pada akhirnya juga melahirkan kaum yang akan membawa penumbangannya, yakni kelas pekerja. Karena kapitalisme memusatkan kaum pekerja di tempat-tempat bekerja besar, maka ia memberikan mereka potensi untuk berjuang secara kolektif (berserikat) demi kepentingan mereka. Ini tidak bermakna bahawa kelas pekerja berjuang menentang kapitalisme dalam cara revolusioner pada setiap waktu. Meskipun itu, dinamika kapitalisme telah mejadikan kaum buruh memiliki kesadaran kelas, lalu menciptakan kemungkinan bagi perubahan revolusioner.

Dampak globalisasi didalam pertumbuhannya memang dipengaruhi oleh kaum pemilik modal secara signifikan. Maka tidak heran bila gejala globalisasi juga merupakan suatu bentuk rekasaya social yang dimanipulasi dan dimanfaatkan kaum ‘borjuasi’ untuk mengakumulasikan modalnya. Hal ini jelas mendatangkan keuntungan bagi mereka sekaligus memberikan ruang marginal pada kelas pekerja. Akan tetapi sebagaimana yang digagas dalam manifesto komunis, kembali terlihat realitas dimana pada akhirnya rekayasa korporasi juga mengundang respon perlawanan daripada serikat buruh. Gerakan serikat buruh dalam berbagai level tingkatan khususnya ditingkat internasional mejadi titik fundamental keberlangsungan perjuangan hak-hak buruh. Dalam menyikapi strategi kedepan khususnya dalam menyelesaikan persoalan fleksibilitas hubungan kerja maka setidaknya terdapat dua hal yang bisa dijadikan isu dalam perjuangan kaum buruh. Pertama, memasukkan standar perburuhan dalam kesepakatan perdagangan dan investasi. Hal ini penting dalam menjaga hak-hak privasi buruh agar tetap terakomodasi dalam setiap hubungan industrial. Lalu yang kedua adalah menyeimbangkan kekuatan. Menurut Stiglitz (2000, 2002) efek negatif globalisasi pada buruh berakar pada tidak seimbangnya kekuatan (power imbalance) antara kerja dan modal. Kelas pekerja seringkali menjadi pihak yang terkena dampak dari kesepakatan-kesepakatan perdagangan internasional, tidak hanya suara mereka tidak didengar tapi juga mereka tidak diberi tempat di lingkaran meja perundingan. Hal ini dimungkinkan karena kekuatan kelas pekerja sangat terfragmentasi baik di tingkat nasional, regional maupun global. Maka sesungguhnya tidak banyak pilihan strategi yang tersedia selain menggalang solidaritas global untuk menjadi kekuatan penyeimbang internasional terhadap kepentingan modal (Yates, 1998).

Referensi

International Forum on Globalization. 2003. Globalisasi Kemiskinan dan Ketimpangan. Terjemahan. Yogyakarta: CPRC.

International Labour Organization. 1995. World Employment 1995. Geneva: ILO.

Marx, Karl & F. Engels. 1948. Manifesto of the Communist Party (edisi terjemahan oleh D. N. Aidit, M. H. Lukman, A. Havil, P. Pardede dan Nyoto, 1948 ). Moskow: International Bookshop Pty. Ltd

Stiglitz, Joseph. 2000. Democratic Development as the Fruits of Labor. Keynote Address. Industrial Relations Research Association. January 25.

Sirait. G. Martin. 2003. “Subsidi dan Pemiskinan Global “dalam harian Kompas. 16 Oktober. (http://www.kompas.com/kompascetak/0310/16/opini/628687.htm)

Widianto, Bambang. 2004. Fleksibilitas Kebijakan Ketenagakerjaan. Makalah. Dipresentasikan pada Seminar “Implikasi Fleksibilitas Pasar Tenaga Kerja Terhadap Prospek Dunia Kerja di Kawasan Asia.” Unika Atma Jaya Jakarta. 9 Maret 2004.

Nasionalisme Absurd

Lengsernya Soeharto, bagi sebagain kalangan akdemisi merupakan tonggak berdirinya kehidupan demokrasi yang baru bagi rakyat indonesia. Pasca peristiwa yang kerap terjadi hingga berujung pada mundurnya sang penguasa rezim kediktatoran ini, diharapkan menjadi momentum kebangkitan bagi Indoneisa. Saatnya negeri ini kembali pada bentuknya yang menginginkan kesejahteran yang adil dan menyeluruh. Namun, kenyataanya tidak seindah yang di inginkan. Bak jauh panggang dari api, alih-alih perbaikan yang progresif dan signifikan, yang ada justru keruwetan yang semakin ngejelimet dan terus berkembang ke arah yang tidak jelas. Salah satunya contohnya adalah keruwetan dalam tema kehidupan bernegara yang didasari atas semangat nasionalime. Nasionalisme sebagai sebuah kesadaran kolektif menjadi titik fundamental bagi keutuhan suatu bangsa dan Negara. Setidaknya inilah yang dipahami oleh sebagian besar orang terhadap ideologi warisan ara kolonial ini.

Kehidupan bernegara jelas tidak dapat dilepaskan dari realitas politik yang mendasarinya. Memang tidak sepenuhnya absolut, akan tetapi mayoritas corak kehidupan sebuah nation-state dipengruhi dari kebijakan politik rezim yang berkuasa. Akhirnya segalanya menjadi sangat kontradiktif sebab masyarakat hidup dalam dimensi dimana ideologi harus dihadapkan pada realita kebijakan politik penguasa. Permasalahnnya muncul manakala ideologi yang ada tidak sepenuhnya dipahami masyarakat bahkan sekedar tahu sekalipun. Setidaknya ada dua hal yang mempengaruhi kondisi ini, pertama berkenaan dengan isi dari ideologi tersebut, Kedua adalah sehubungan proses internalisasi dan enkulturasinya pada masyarakat. Tidak sampai disitu, masalah juga muncul bila ideologi yang multitafsir tersebut dihadapkan dengan kenyataan bahwa tidak ada yang abadi di dunia ini, begitu hal-nya dengan kekuasan. Kekuasaan tidak selamanya bersemayam, akan ada saatnya suatu rezim harus turun dari singgasananya.

Akhirnya hal ini membawa dampak kebingungan yang luar biasa bagi konsespsi nasionalime itu sendiri Nasionalitas dapat diumpamakan sebagai sosok yang mampu menghadirkan spririt persatuan atau dengan kata lain ia berfungsi sebagai perekat integrasi. Oleh karena fungsinya yang demikian, maka nasionalitas idealnya dibangun bersama tanpa memperhatikan aneka ragam suku bangsa, agama, dan bahasa. Hal ini jelas menjadi kontradiktif bagi konteks ke-Indonesiaan. Indonesia yang multi kultur. Lantas wajah nasionalisme yang seperti apa yang ingin dihadirkan dalam dimensi kehidpan berbangsa dan bernegara ala Indoinesia?

Sebelumnya, barangkali coba perhatikan bagaimana suasana kehidupan berbangsa dan bernegara di Indoenesia 10 tahun belakangan ini. Sangat banyak perubahan yang terjadi disana sini. Perubahan dari krisis yang satu ke krisis yang lain sementara krisis sebelumnya berlum terselesaikan. Perubahan dari konflik yang satu ke konflik yang lain sementara pada beberapa konflik masih berlum terselesaikan. Hal ini jelas sangat tidak sehat untuk sebuah Negara yang sejak tahun 1945 telah sampai di pintu gerbang kemerdekaan. Tapi sudah 65 tahun lamanya masyarakat di negeri ini hidup dalam kegamangan dan ketidak pastian arah masa depan. Dan para penguasa di negeri ini hanya berkata “mari kita galang nasionalisme demi kejayaan bangsa dan negara”. Tanpa berfikir bangsa yang mana dan Negara siapa?



Pengetahuan Lokal versus Pengetahuan Modern dalam Medis: Sebuah Kritik Poskolonial

Masa depan kemanusiaan tergantung pda adanya sikap kritis dewasa ini.”

-Max Horkheimer-

Kalimat kita yang pertama mengungkapkan tanpa ragu-ragu suatu maksud akan konsensus yang universal dan tidak dipaksakan

-Jurgen Habermas-


Dialektika Barat dan Timur dari Masa ke Masa

Pergulatan yang terjadi antara barat dan timur tidak pernah terasa bosan untuk didiskusikan. Diskursus benturan dua mainstream ini selalu saja mengisahkan sepenggal kisah perjalanan panjang catatan sejarah peradaban umat manusia. Tema ini secara continue menjadi buah bibr yang hangat dan abadi dari masa ke masa. Kini saat zaman kontemporer telah mencatat sederetan kemenangan barat atas timur, menjadi pertanda bahwa zaman telah berubah dimana dahulu beberapa abad silam kejayaan timurlah yang menguasai kekuatan global. Realita ini menjadi indikasi bahwa memang sejarah niscaya terus berputar. Sejarah selalu mencatat kemenangan suatu kolompok disatu penggal episode, dan diepisode berikutnya kelompok tersebut menjadi telah inferior dihadapan yang lain. Pergulatan barat dan timur pun sudah menjadi agenda sejarah dunia yang saling silih berganti mengusai akses perdaban global. Mungkin yang menarik disini adalah mengapa kedua belah pihak terus dan terus melakukan gempuran satu dengan yang lainnya hanya untuk memperoleh kepenguasaan akses serta kredibilitas internasional yang diakui oleh seluruh bangsa. Atau memang sudah menjadi takdir alam bahwa barat dan timur tidak akan pernah dapat disatukan dalam integrasi yang mapan, ataukah memang manusia-manusia didalamnya takut untuk bermimpi bilamana suatu saat nanti mereka dapat hidup dengan mesra dalam jalinan kasih sayang yang saling menghargai tanpa adanya upaya kooptasi nilai-nilai terhadap yang lain.

Setiap masa memiliki kisahnya sendiri, itulah uniknya manusia yang selalu menghiasi wajah sejarah dunia dengan aneka warna dialektika peradaban. Kredibilitas budaya dipertaruhkan seperti layaknya kursi kepresidenan yang senantiasa jadi rebutan kubu-kubu politik yang ingin berkuasa. Siapa yang berhasil menduduki kursi tersebut dialah yang layak dan berhak memberi perintah melalui kekuasannya. Hal ini dibuktikan melalui dalam dialektika peradaban secara diakronik, dimana setiap aktor kelompok yang berhasil menguasai akses kredibilitas global dengan serta merta ia memaksakan prinsip-prinsip, nilai-nilai maupun kaidah-kaidahnya kepada kelompok yang jadi taklukannya. Kalaupun ada yang memberontak maka dengan cara atau strategi apapun dilakukan untuk menumpas demi menajaga status quo atas legalitasnya sebagai leader of civilization.

Memasuki abad ke 19, kebangkitan peradaban eropa mulai melakukan misinya menguasai daerah-daerah dibelahan timur, misi yang wajib dilakukan bagi mereka yang ingin menjadi superior dalam sejarah peradaban. Tindakan ini kemudian yang dikenal dengna nama kolonialisasi, yakni suatau aksi penaklukan dan penguasaan atas tanah dan harta benda rakyat lain.[1]Kolonialisasi yang dilakukan oleh barat sebagai betuk hegemoninya atas dunia adalah salah satu bab dari lembaran-lembaran awal keberhasilan barat kembali ke pentas hegemoni dunia. Sebelumnya selama belasan abad kekuatan islam yang identik dengan perdaban timur menguasai hampir tiga perempat belahan dunia. Keperkasaan peradaban islam masa lampau bahkan tergolong spektakuler sebab belum pernah terjadi sebelumnya, dimana pengaruh islam begitu kuat membentang dari negeri Maroko di benua hitam hingga Merauke di ujung sudut negeri yang dulu dikenal sebagai zambrut khatulistiwa.

Praktek kolonialisasi yang dilakukan barat juga merupakan tanda kemenangannya kembali atas timur. Sejak runtuhnya kemaharajaan islam yang terakhir, Turki Utsmani di Asia kecil pada tahun 1924, kekuatan barat seolah tidak ada lagi pesaing utamanya dalam kancah pegulatan peradaban di dunia. Kenyataannya ini sekaligus awal dari persebaran sekaligus pemaksaan nilai–nilai budaya barat yang pada prakteknya selama beberapa tahun hingga detik ini telah mendistrosi kebudayaan timur terutama kebuadayan adat setempat yang dahulu sangat ditolerir dalam masa kejayaan islam. Barat memiliki pendekatan yang berbeda dengan kekuatan dunia sebelumnya, bahkan nilai-nilai mereka yang disebarkan telah mengikis peranan kebudayaan masyarakat lokal hingga terdampar sebagai monumen-monumen diberbagai museum. Paradigma berfikir masyarakat timur, yang kerap diidentikkan dengan dunia ketiga, telah berubah. Perubahan cara pandang inilah yang menjadi kesuksesan terbesar barat atas hegemoninya terhadap timur.

Setiap masyarakat hidup dengan budaya sebagai guidance dalam berperilaku. Budaya juga merupakan sistem pengetahuan masyarakat setempat sebagai representasi dari dunia yang mereka konsepsikan. Dalam hal kesehatan, setiap masyarakat juga mempunyai konsep tersendiri akan praktek-praktek maupun perilaku hidup sehat dalam aktivitas kehidupan sehari-hari. Pengetahuan akan konsep kesehatan dalam masyarakat merupakan bagian dari unsur kebudayaan sebagai sistem pengetahuan yang membentuk perilaku. Kesehatan merupakan diu wacana kehidupan yang sangat sentral dan penting sebab isu ini menyangkut keberlangsungan hidup manusia sebagai aktor tunggal peradaban yang pada akhirnya menyangkut masa depan akan keberlanjutan dari peradaban itu sendiri. Masalahnya apa dan bagaimana yang sekiranya akan terjadi dalam wacana kesehatan masyarakat sehubungan dengan terjadinya pergulatan antara kubudayan barat versus timur. Tema yang kerap kali sering jadi perbincangan adalah bagaimana peranan sistem pengetahuan medis lokal yang sekarang ini harus berhadapan dengan kemajuan pengetahuan serta tekonologi sistem pengetahuan medis barat yang modern, juga nasib masa depan sistem pengetahuan medis masyarakat terutama masayrakat adat pasca era kolonialisasi yang kerap melanda negara-negara dunia ketiga termasuk Indonesia.

"Penghianatan" NKRI atas Otoritas Adat

Bisa dikatakan sekarang ini memang terjadi ke-tidak adilan kebijakan pemerintah. Di satu sisi pemerintah berkewajiban dalam melindungi aset-aset kekayan alam dan intelektual masyarakatnya, seperti halnya kebudayaan masayrakat adat, dari imperialisasi budaya barat, namun disisi lain keberadaan nation-satate kini jelas-jelas merupakan produk budaya barat pascakolonial. Realitas yang kini dirasakan oleh generasi pewaris nusantara sangat berhubungan langsung dengan akar sejarah yang merujuk pada praktek kolonialisasi dimasa silam. Terhitung sejak seiring perpecahan kerajaan-kerajaan kecil sepeninggal Majapahit, diawal abad ke17 kekuatan baru mulai menguasai nusantara, mereka adalah orang-orang Eropa barat yang awalnya ingin melakukan transaksi perdagangan di kepulauan nusantara. VOC atau Verenigde Oostindische Compagnie (Perusahaan Hindia Timur Belanda) adalah organisasi bisnis yang berhasil memanfaatkan peluang itu, hingga ditahun 1602 VOC mendapatkan hak otoritas penuh dari kerajaan Belanda untuk memonopoli akses perdagangan dan politik. Kebangkrutan VOC akibat praktek korupsi manandakan berakhirnya rezim kekuasan yang kemudian digantikan oleh kerajaan Inggris Raya dibawah pimpinan Thomas Stamford Rafles di awal abad ke 18. Namun nyatanya Inggris tidak lama menjamah negeri ini karena kerajaan Belanda kembali mengambil alih kekuasaan hingga tahun 1942, maka tak ayal jika negeri ini dahulu bernama Hindia Belanda. Pada tahun 1942 Jepang berhasil menguasai dataran Asia Tenggara, termasuk wilayah kepulauan nusantara Jepang memasuki wilayah nusantara dengan berhasil mengobarkan semangat revolusi dan propaganda untuk melawan Belanda, sehingga dibulan Maret 1942 Jepang berhasil menguasai sebagian besar wilayah Hindia Belanda[2]. Hingga masa ini hampir dapat dipastikan bangsa Indonesia masih terkungkung dalam hegemoni kekuasan kaum kolonialis. Perjuangan yang tiada henti dikobarkan oleh putra bangsa akhirnya membuahkan hasil ditahun 1945 dengan pernyataan kemerdekaan atas nama rakyat Indonesia dan selesai sudah secara defacto kekuasan kolonial di tanah air.

Sejak peristiwa saat itu munculah sebuah negara baru di wilayah Asia Tenggara. Baru karena untuk pertama kalinya wilayah nusantara dikuasai secara penuh oleh bangsanya sendiri. Era pemerintahan awal ini dikenal dengan rezim orde lama yang berkuasa dari tahun 1945 hingga tahun 1967. Orde lama digantikan dengan orde baru yang memerintah hingga tahun 1998. Rezim ini termasuk masa kekuasan terlama dalam sejarah kekuasaan Indonesia pasca kemerdekaan, yakni selama 32 tahun. Orde baru pun akhirnya berhasil digulingkan dan digantikan dengan era reformasi. Istilah ini diambil pasca tragedi penuntutan pembubaran orde baru oleh rakyat dengan harapan munculnya era baru, yakni era reformasi yang dianggap sebagai jawaban atas kepongahan rakyat yang sepanjang hayat terkungkung dibawah otoritas yang totaliter. Era Reformasi yang sudah berjalan selama 9 tahun ini pun rasanya masih sulit didefinisikan maknanya. Kehidupan Reformasi yang kini berjalan terkesan tidak sesuai dengan sebagaimana hakikat dan konsep reformasi itu sendiri melihat kondisi negeri yang tidak jauh berbeda dengan kehidupan masa lalu. Benarkah bangsa ini berhasil me-reform tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara yang ideal?, Apanya yang telah di reformasi?, Pertanyaan-pertanyaan diatas adalah wacana yang sekiranya hingga saat ini belum tuntas terjawab. Bangsa ini masih belum dewasa untuk menentukan jati dirinya sebagai bangsa yang mau seperti apa dan bagaimana. Kenyataan ini terlihat secara jelas dari kebijakan-kebijakan pembangunan yang telah lama digulirkan sejak peristiwa pengibaran sang saka merah putih di lapangan banteng 52 tahun silam.

Kebijakan-kebijakan otoritas pemerintah Republik Indonesia sekarang ini semakin dirasa tidak menunjukkan keadilan kepada masyarakat adat padahal mereka adalah salah satu kelompok utama penduduk negeri ini, baik dari jumlah populasi, yang saat diperkirakan antara 50 – 70 juta orang. Penindasan terhadap masyarakat adat ini terjadi baik di bidang ekonomi, politik, hukum, maupun di bidang sosial dan budaya. Kondisi ini menjadi demikian ironis karena pada kenyataannya masyarakat adat merupakan elemen terbesar dalam struktur negara–bangsa (nation-state) Indonesia. Namun dalam hampir semua keputusan politik nasional, eksistensi komunitas-komunitas adat ini belum terakomodasikan, atau bahkan secara sistematis disingkirkan dari proses-proses dan agenda politik nasional. Perlakuan tidak adil ini bisa dilihat dengan sangat gamblang dari pengkategorian dan pendefinisian sepihak terhadap masyarakat adat sebagai "masyarakat terasing", "peladang berpindah", "masyarakat rentan", "masyarakat primitif' dan sebagainya, yang mengakibatkan percepatan penghancuran sistem dan pola kehidupan mereka, secara ekonomi, politik, hukum maupun secara sosial dan kultural. [3]

Diskreditisasi Pengetahuan Masyarakat Lokal

Sejak awal negara ini memang didirikan dengan mengusung kehidupan yang saling mernghargai sesama bangsa dan tanah air, bahkan Para pendiri negara-bangsa (nation-state) ini sejak semula sudah menyadari bahwa negara ini adalah negara kepulauan yang majemuk. Hanya saja bangunan "negara-bangsa" yang majemuk ini telah dirusak dan dihianati begitu saja oleh para penerusnya, yaitu dengan merampas secara sistematis hak-hak masyarakat adat yang merupakan struktur dasar "negara-bangsa" yang majemuk. Dengan legalitas formalnya sebagai penguasa, pemerintah telah mendiskreditkan hak-hak masyarakat lokal untuk hidup merdeka dengan kebudayaannya. Khususnya dalam bidang kesehatan dimana masing-masing masyarakat sejatinya jauh lebih memahami bentul bentuk-bentuk ideal dari konsepsi tentang kesehatan. Masyarakat lokal sudah pasti memiliki sistem pengetahuan medis tersendiri. Hal itu merupakan proses pengalaman dan pembelajaran selama berabad-abad lamanya dengan lingkungan alam serta diwariskan dari generasi kegenerasi. Namun pemerintah melalui perangkat-perangkat kebijakan dan hukumnya memaksakan uniformitas dalam semua bidang kehidupan, termasuk standarisasi dalam pola hidup sehat yang ideal. Kedaulatan negara ditegakkan secara represif dengan mengabaikan kedaulatan masyarakat adat untuk mengatur dan mengembangkan kemandirian kultural.

Dikotomi Kognitif

Masyarakat adat sebagaimana masyarakat lain pada umumnya hidup atas dasar budaya yang menjadi sistem pengetahuan dalam dimensi sosial mereka. Termasuk pada bagaimana menempatkan persoalan kesehatan yang merupakan bagian dari sisi pengetauah masayrakat lokal tersebut. Pada kenyataannya masyarakat adat kini semakin terdesak dengan berbagai program pemerintah yang melakukan kebijakan standarisasi kesehatan bagi warga negara dengan sistem barat yang diklaim rasional dan ilmiah. Semua ini memang tidak dapat dipisahkan begitu saja dari pengalaman sejarah kolonilaisasi di tanah air. Dimana selama lebih dari 3 abad lamanya pemeritahan kolonial Belanda menguasai sisi-sisi fundamental kehidupan masyarakt dari Sabang hingga Merauke. Mereka kerap memaksakan sistem pengetahuan mereka termasuk pola dan standarisasi kesehatan bagi warga masyarakat kolonial pada saat itu.

Pemberlakuan yang serupa ternyata tdiak terhenti sampai disitu karena ternyata pemerintahan pasca kolonial justru semakin melegalkan standarisasi tersebut kedalam undang-ungang sekaligus memebentuk lembaga khusus yang menanganinya yakni Departemen Kesehatan Republik Indoensia. Disatu sisi memang permeritah berniat baik dalam hal memberi perhatian khusus menyikapi persoalan keheatan bangsa, akan tetapi dengan sistem pengobatan modern ala barat yang dijadikan sebagai sistem medis nasional dan dijadikan sebagai standar umum kesehatan bangsa, justru semakin menyempitkan ruang bagi sistem pengetahuan medis lokal untuk berkembang. Secara khusus kebijakan negara tidak ada yang secara langsung betul-betul memperhatikan nasib keberadaan sistem pengetahuan medis lokal.

Sistem Medis Lokal vs Sistem Medis Modern

Hal yang paling mendasar dari konflik kedua sistem pengetahuan medis lokal dan barat pada masyarakat dinegara-negara berkembang adalah pada permasalahan paradigma. Faktor pola fikir masyarakat inilah yang akhirnya membawa dialektika antara sistem medis lokal yang sudah mengakar kuat adalam tradisi harus berjuang melawan sistem medis barat yang diberlakukan oleh pemerintah sebagai standasrisasi pengetahuan medis nasional. Biasanya alasan yang kerap terlontar adalah karena sistem medis modern ala barat dibangun atas dasar landasan ilmiah yang rasional, sementara sistem medis lokal umumnya dibangun atas dasar asumsi-asumsi serta pengalaman selama bertahun-tahun, yang seringkali dimapankan oleh keberadaan sistem budaya yang mengikat masyarakatnya secara primordial. Jadi landasannya bukanlah rasional instrumental, melainkan karena memang stuktur budayanya mengajarkannya demikian. Walaupun secara empirik khasiatnya juga mampu membawa kesehatan, namun pemerintah dan kebanyakan masyarakat yang hidup di kota dan di desa yang akses pengobatan modern cukup memadai, tetap memandang sinis akan keberhasilan atau khasiat dari sistem medis lokal. Perubahan paradigma ini juga menjadi pertanda keberhasilan proses penerimaan masyarakat terhadap sistem medis barat sebagai suatu sistem pengetahuan kesehatan yang standar dan terpercaya.

Konflik yang muncul dalam pergulatan antara kedua sistem pengetahuan medis tersebut memang pada dasarnya telah berlangsung dalam kurun waktu yang panjang, bahkan terkesan adanya upaya dari kedua belah pihak untuk saling meniadakan. Keterkaitan ini berimplikasi pada permasalahan konsepsi budaya dimana perang wacana kebudayaan juga berlangsung seiring dengan keinginan masing-masing kubu menjadi superior atas pesaingnya. Dampaknya sampai sekarang adalah perkembangan sistem pengobatan tradisional yang tersendat-sendat, tersisihkan, dan munculnya anggapan bahwa pengobatan tradional sarat dengan kebohongan, keterbelakangan, dan kemiskinan.

Image yang demikian semakin membawa katerpurukan sistem medis lokal karena ditinggal oleh masyarakat pendukungnya, atau setidaknya telah terjadi pergeseran prioritas dalam mengambil keputusan dalam menerapkan pola hidup sehat, termasuk dalam hal memilih pengobatanyang yang terpercaya. Oleh karena itu munculah istilah pengobatan tradisonal atau pengobatan alternatif, yang secara prioritas menjadi pilihan terakhir bilamana mengalami kegagalan atau ketidak puasan pada pengobatan modern. Pengobatan tradisonal juga sering kali diidentikan dengan hal-hal yang berbau spiritual, atau seautu yang memang tidak dapat dijelaskan secara emprik melalui logika-logika rasional dan ilmiah.

Kontestasi antara sistem medis modern dengan sistem medis lokal adalah agenda sosial yang ada pada setiap nengara-negara berkembang. Banyak kasus serupa dialami oleh negara–negara seperti China, India, Srilangka, Filipina , dll. Dr Michael Tan, pengajar di Departemen Antropologi University of the Philippines, dalam bukunya Good Medicine, Pharmaceutical and the Construction of Power and Knowledge in the Philippines (1999) mencontohkan bagaimana orang-orang Spanyol yang mulai datang menjajah Filipina pada abad ke-16, mengaitkan pengobatan tradisional ini dengan sihir. Secara sistematis, mereka meneror penduduk lokal dengan dua pertanyaan. "Apakah kalian tahu tentang praktik-praktik sihir dan dukun yang merupakan budak setan?" "Bukankah berobat pada dukun saat sakit berarti membiarkan diri berurusan dengan budak setan?".Upaya peniadaan sistem pengobatan tradisional ini, menurut Tan, bahkan masih berlanjut setelah Filipina merdeka. Asosiasi Dokter Filipina (PMA) pada suatu masa pernah mengkampanyekan pemberantasan praktik pengobatan tradisional dan menjebloskan para dukun ke penjara dengan alasan malpraktik

Untuk kasus Indonesia sendiri yang paling menarik adalah isu kepastian hukum dari sistem pengobatan tradsional, dimana pengobatan tradisional dianggap tidak dapat dipertanggungjawabkan secara hukum, sebab tidak memiliki standar acuan yang terukur sehingga umumnya status praktek-praktek pengobatan tradisional hanya sekedar terdaftar bukan berizin. Mengutip apa yang disampaikan oleh Prof SN Arseculeratne dari Fakultas Kedokteran Universitas Peradeniya Sri Lanka, dalam makalahnya di Konferensi Ilmu Sosial dan Kesehatan Asia Pasifik (APSSAM) VI yang berlangsung di Kunming, Cina, 14-18 Oktober lalu, bercerita bagaimana pengobatan tradisional terpinggirkan oleh sistem pengobatan Barat yang dengan cepat bisa menangani dan menyembuhkan penyakit. "Harus diakui, pengobatan Barat punya kelebihan di bidang etiologi penyakit, epidemiologi, dan kecepatan mengatasi keadaan darurat dan akut," paparnya[4]. Statement ini adalah kenyataan dari realitas sekarang yang menggambarkan betapa fenomena sosial ini seperti layaknya sebuah kompetisi dengan masyarakat sebagai arena pertandingannya. Pemenangnya adalah sistem yang berhasil diterima oleh masyarakat umum sebagai pegetahuan yang dimiliki bersama. Namun dalam dialektika kebudayaan terlihat persaingan yang tidak kompetitif mengingat adanya peran negara dalam memberi akses serta dorongan terinternalisasikannya niali-nilai pengetahuan modern atas sistem gagasan masyarakat lokal

Upaya Pendamaian Konflik

Wacana baru yang kini mulai dikembangkan dalam menyikapi konflik antara pengobatan tradsional dan modern adalah kemungkinan untuk menciptakan kerja sama di antara kedua sistem tersebut. Para scholar ilmu–ilmu sosial melihat potensi itu dari kenyataannya masyarakat-masyarakat tradisional yang ternyata cakap dalam hal menggabungkan praktek-praktek baru dengan keyakinan lama, sehingga kemudian munculah ide untuk memanfaatkan metode-metode tradisonal serta para penyembuhnya untuk melengkapi pengobatan ilmiah. Akan tetapi, pada prkteknya isu ini tidak lebih dari suatu deskripsi yang secara tegas kembali menempatkan hegemonisasi sistem pengethuan medis modern atas sistem pengetahuan medis masayarakt lokal.

Memang dewasa ini banyak masyarakat modern umumnya ingin kembali ke pola hidup yang menjaga keseimbangan dengan alam atau back to nature. Hal ini tentu saja peluang besar bagi pengetahuan medis tradisonal untuk memainkan peranannya sekaligus mengembangkan potensi dan eksistensinya. Akan tetapi ada suatu hal penting yang harus diperhatikan sebagai suatu kritik atas realita, yakni perbedaan paradima atau cara pandang yang bagaiamanapun tidak sulit untuk didamaikan. Perbedaan mendasar dari cara pandang pengobatan yang berbeda dimana pengobatan modern mendekonstruksi akar penyakit sampai ke bagian terkecil berupa sel, sementara pengobatan tradisional mengaitkan penyakit dengan seluruh sistem yang ada di tubuh, tingkat kepercayaan yang belum setara, maupun teknik pengajaran ilmu yang berbeda (Kompas, 2002), maka akhirnya menimbulkan kembali benturan yang baru antara sistem Barat dan tradisional.

Cukup sulit bagi sistem medis lokal untuk keluar dari lingkaran hegemoni sistem barat/modern, yang terjadi dalam isu pendamaian sekarang ini lebih terkesan sebagai upaya merasionalkan sistem pengobatan tradisional berdasarkan sistem medis barat, contohnya seperti proses memperkenalkan ilmu-ilmu pengobatan barat melalui sekolah-sekolah, padahal proses transforamsi pengetahuan dalam sistem tardisonal adalah proses pewarisan pengetahuan dari gengerasi ke gengarsi dala lingkup budaya, sementara sekolah adalah sistem pendidikan model barat, maka kenyataan yang muncul adalah terjadinya diseminasi ide lantaran adanya bagaian-bagian yang tidak dapat dirasionalisasi. Sekalipun demikan tidak dapat dipungkiri bahwa dengan mekanisme seperti ini akan membuat pengobatan tradisional lebih dapat diterima oleh masyarakat luas dan mampu berkembang dengan pesat.

Hal lain yang perlu dikritisi pula adalah adanya ancaman terhadap otentisitas ilmu pengobatan lokal tradisional yang besar kemungkinan akan melebur dan ter-rekonstruksi kedalam sintesis umum ilmu pengobatan modern. Arseculeratne mengingatkan, dengan pola ini ke depan pengobatan tradisional akan berganti "baju" modern, tak ubahnya dengan pil malaria di mana orang tak ingat lagi bahwa itu berasal dari kulit pohon kina (Kompas, 2002). Kenyataannya upaya untuk mengintegrasikan kedua sistem dalam proporsi yang seimbang tidaklah mudah. Dengan adanya penguasaan akses disatu pihak membuat sistem yang integral menjadi sulit dikonfigurasikan. Sistem pengetahuan medis modern telah lama teruji dan diyakini oleh masyarakat diseluruh dunia sebagai sistem pengobatan yang paling terpercaya Jangkauanya bahkan sudah memasuki pelosok masyarakat-masyarakat di daerah pinggiran atau terpencil sekalipun melalui tangan-tangan negara. Semua ini pada akhirnya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari dampak kolonialisasi barat terhadap timur yang telah sukses merekonstruksi budaya baru yang mau tidak mau harus dipatuhi oleh bangsa-bangsa dunia ketiga didalam pergaulan global. Dalam sistem medis masyarakat manapun kini sepakat menggunakan sistem medis barat yang modern sebagai acuan utama standarisasi kesehatan masyarakat di negara manapun. Itu berarti semakin menguatkan wacana dikotomi lama yang tidak ada habis-habisnya, yakni perbandingan dalam tataran konsep akan ciri-ciri masyarakat maju yang modern dengan masyarakat tradsional yang terbelakang.




DAFTAR PUSTAKA

Foster dan Anderson. Antropologi Kesehatan, Jakarta: UI Press, 2006

Hardiman F. Budi. Kritik Ideologi, Pertautan Pengetautan Kepentingan.

Yogyakarta: Kanisius, 1990

Khor Martin. Globalisasi Perangkap Negara-Negara Selatan. Yogyakarta: Cinderalas Pustaka Rakyat Cerdas, 2002

Loomba Ania. Kolonialisme dan Pasca Kolonialisme. Yogyakarta: Bentang Budaya, 2003

http://id.wikipedia.org/wiki/Indonesia. diakses tanggal 19 Oktober 2007

http://dte.gn.apc.org/AMAN/publikasi/makalah_ttg_konflik_sda.html.

diakses tanggal 6 Desember 2007

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0211/10/iptek/maui22.htm.

diakses tanggal 6 Desember 2007

.



[1] Ania Lomba, Kolonialisme/Pascakolonialisme, (Jogjakarta: Bentang Budaya, 2003), hal 2..

[2] http://id.wikipedia.org/wiki/Indonesia. di akses tanggal 19 Oktober 2007.

[4] http://www.kompas.com./ Diakses tanggal 6 Desember 2007