Digital Clock with Islamic Ornament

Rabu, 27 April 2011

Ayah seperti apa?

tulisan ini di ambil dan di share di blog ini dari artikel http://seorangayah.wordpress.com/2010/12/13/kisah-para-ayah/. semoga bermanfaat ^^



Subuh tadi saya melewati sebuah rumah, 50 meter dari rumah saya dan melihat seorang isteri mengantar suaminya sampai pagar depan rumah.
“Yah, beras sudah habis loh…,” ujar isterinya.
Suaminya hanya tersenyum dan bersiap melangkah,
namun langkahnya terhenti oleh panggilan anaknya daridalam rumah,

“Ayah, besok Agus harus bayar uang praktek.”"Iya…,” jawab sang Ayah.
Getir terdengar di telinga saya, apalah lagi bagi lelaki itu, saya bisa menduga langkahnya semakin berat.

Ngomong-ngomong, saya jadi ingat pesan anak saya semalam,”Besok beliin lengkeng ya”
dan saya hanya menjawabnya dengan “Insya Allah”
sambil berharap anak saya tak kecewa jika malam nanti tangan ini tak berjinjing buah kesukaannya itu.

Di kantor, seorang teman menerima SMS nyasar, “Jangan lupa, pulang beliin susu Nadia ya”. Kontan saja SMS itu membuat teman saya bingung dan sedikit berkelakar,”Ini, anak siapa minta susunya ke siapa”. Saya pun sempat berpikir, mungkin jika SMS itu benar-benar sampai ke nomor sang Ayah, tambah satu gundah lagi yang bersemayam. Kalau tersedia cukup uang di kantong, tidaklah masalah. Bagaimana jika sebaliknya? Banyak para Ayah setiap pagi membawa serta gundah mereka, mengiringi setiap langkah hingga ke kantor.

Keluhan isteri semalam tentang uang belanja yang sudah habis, bayaran sekolah anak yang tertunggak sejak bulan lalu, susu si kecil yang tersisa di sendok terakhir, bayar tagihan listrik, hutang di warung tetangga yang mulai sering mengganggu tidur, dan segunung gundah lain yang kerap membuatnya terlamun. Tidak sedikit Ayah yang tangguh yang ingin membuat isterinya tersenyum, meyakinkan anak-anaknya tenang dengan satu kalimat,”Iya, nanti semua Ayah bereskan,” meski dadanya bergemuruh kencang dan otaknya berputar mencari jalan untuk janjinya membereskan semua gundah yang ia genggam.

Maka sejarah pun berlangsung, banyak para Ayah yang berakhir di tali gantungan tak kuat menahan beban ekonomi yang semakin menjerat cekat lehernya. Baginya, tali gantungan tak bedanya dengan jeratan hutang dan rengekan keluarga yang tak pernah bisa ia sanggupi. Sama-sama menjerat, bedanya, tali gantungan menjerat lebih cepat dan tidak perlahan-lahan. Tidak sedikit para Ayah yang membiarkan tangannya berlumuran darah sambil menggenggam sebilah pisau mengorbankan hak orang lain demi menuntaskan gundahnya. Walau akhirnya ia pun harus berakhir di dalam penjara. Yang pasti, tak henti tangis bayi di rumahnya,karena susu yang dijanjikan sang Ayah tak pernah terbeli.

Tak jarang para Ayah yang terpaksa menggadaikan keimanannya, menipu rekan sekantor, mendustai atasan dengan memanipulasi angka-angka, atau berbuat curang dibalik meja teman sekerja. Isteri dan anak-anaknya tak pernah tahu dan tak pernah bertanya dari mana uang yang didapat sang Ayah. Halalkah? Karena yang penting teredam sudah gundah hari itu. Teramat banyak para isteri dan anak-anak yang setia menunggu kepulangan Ayahnya, hingga larut yang ditunggu tak juga kembali. Sementara jauh disana, lelaki yang isteri dan anak-anaknya setia menunggu itu telah babak belur tak berkutik, hancur meregang nyawa, menahan sisa-sisa nafas terakhir setelah dihajar massa yang geram oleh aksi pencopetan yang dilakukannya. Sekali lagi, ada yang rela menanggung resiko ini demi segenggam gundah yang mesti ia tuntaskan.

Sungguh, di antara sekian banyak Ayah itu, saya teramat salut dengan sebagian Ayah lain yang tetap sabar menggenggam gundahnya, membawanya kembali ke rumah, menyertakannya dalam mimpi, mengadukannya dalam setiap sujud panjangnya di pertengahan malam, hingga membawanya kembali bersama pagi. Berharap ada rezeki yang Allah berikan hari itu,agar tuntas satu persatu gundah yang masih ia genggam. Ayah yang ini, masih percaya bahwa Allah takkan membiarkan hamba-Nya berada dalam kekufuran akibat gundah-gundah yang tak pernah usai.

Para Ayah ini, yang akan menyelesaikan semua gundahnya tanpa harus menciptakan gundah baru bagi keluarganya. Karena ia takkan menuntaskan gundahnya dengan tali gantungan, atau dengan tangan berlumur darah, atau berakhir di balik jeruji pengap, atau bahkan membiarkan seseorang tak dikenal membawa kabar buruk tentang dirinya yang hangus dibakar massa setelah tertangkap basah mencopet.

Dan saya, sebagai Ayah, akan tetap menggenggam gundah saya dengan senyum.

Saya yakin, Allah suka terhadap orang-orang yang tersenyum dan ringan melangkah di balik semua keluh dan gundahnya. Semoga.

============

Cobalah untuk sekedar bercermin, “AYAH SEPERTI APAKAH KITA?”



#lantai 9 di salah satu gedung di Jakarta
#seorangayah yang berusaha menjadi ayah terbaik bagi anak-anaknya
13 Desember 2010



Sumber :
Tulisan : Milis Pondok Aren
Gambar : hatiperantau.files.wordpress.com

3 bulan tak mampu memandang wajah suami

ehm…kenapa ya akhir-akhir ini kok aku makin mecintai-nya? lirih seorang suami dalam akun facebooknya, dia sampai menulis :

ternyata, di balik sifat pendiammu, engkau begitu rajin mengurus rumah dan anak-anak kita, belum lagi, ternyata kian hari, masakanmu kian cocok dengan seleraku, gimana ya? kok jadi makin cinta neh…(isi hati seorang suami)


sedang asyik-asyiknya mengenang masa-masa indah bersama istri, sang suami yang juga ayah ini mendapat kiriman email dari seorang ustadz di kota-nya. Sebuah email yang berisi tentang hubungan suami istri yang begitu menjadi cobaan bagi keduanya, moga kita Allah jadikan pasangan suami istri yang sakinah ma waddad dan war rahmah.

Berikut kisahnya :

Perkawinan itu telah berjalan empat (4) tahun, namun pasangan suami istri itu belum dikaruniai seorang anak. Dan mulailah kanan kiri berbisik-bisik: “kok belum punya anak juga ya, masalahnya di siapa ya? Suaminya atau istrinya ya?”. Dari berbisik-bisik, akhirnya menjadi berisik.

Tanpa sepengetahuan siapa pun, suami istri itu pergi ke salah seorang dokter untuk konsultasi, dan melakukan pemeriksaaan. Hasil lab mengatakan bahwa sang istri adalah seorang wanita yang mandul, sementara sang suami tidak ada masalah apa pun dan tidak ada harapan bagi sang istri untuk sembuh dalam arti tidak peluang baginya untuk hamil dan mempunyai anak.

Melihat hasil seperti itu, sang suami mengucapkan: inna lillahi wa inna ilaihi raji’un, lalu menyambungnya dengan ucapan: Alhamdulillah.

Sang suami seorang diri memasuki ruang dokter dengan membawa hasil lab dan sama sekali tidak memberitahu istrinya dan membiarkan sang istri menunggu di ruang tunggu perempuan yang terpisah dari kaum laki-laki.

Sang suami berkata kepada sang dokter: “Saya akan panggil istri saya untuk masuk ruangan, akan tetapi, tolong, nanti anda jelaskan kepada istri saya bahwa masalahnya ada di saya, sementara dia tidak ada masalah apa-apa.

Kontan saja sang dokter menolak dan terheran-heran. Akan tetapi sang suami terus memaksa sang dokter, akhirnya sang dokter setuju untuk mengatakan kepada sang istri bahwa masalah tidak datangnya keturunan ada pada sang suami dan bukan ada pada sang istri.

Sang suami memanggil sang istri yang telah lama menunggunya, dan tampak pada wajahnya kesedihan dan kemuraman. Lalu bersama sang istri ia memasuki ruang dokter. Maka sang dokter membuka amplop hasil lab, lalu membaca dan mentelaahnya, dan kemudian ia berkata: “… Oooh, kamu –wahai fulan- yang mandul, sementara istrimu tidak ada masalah, dan tidak ada harapan bagimu untuk sembuh.

Mendengar pengumuman sang dokter, sang suami berkata: inna lillahi wa inna ilaihi raji’un, dan terlihat pada raut wajahnya wajah seseorang yang menyerah kepada qadha dan qadar Allah SWT.

Lalu pasangan suami istri itu pulang ke rumahnya, dan secara perlahan namun pasti, tersebarlah berita tentang rahasia tersebut ke para tetangga, kerabat dan sanak saudara.

Lima (5) tahun berlalu dari peristiwa tersebut dan sepasang suami istri bersabar, sampai akhirnya datanglah detik-detik yang sangat menegangkan, di mana sang istri berkata kepada suaminya: “Wahai fulan, saya telah bersabar selama

Sembilan (9) tahun, saya tahan-tahan untuk bersabar dan tidak meminta cerai darimu, dan selama ini semua orang berkata:” betapa baik dan shalihah-nya sang istri itu yang terus setia mendampingi suaminya selama Sembilan tahun, padahal dia tahu kalau dari suaminya, ia tidak akan memperoleh keturunan”. Namun, sekarang rasanya saya sudah tidak bisa bersabar lagi, saya ingin agar engkau segera menceraikan saya, agar saya bisa menikah dengan lelaki lain dan mempunyai keturunan darinya, sehingga saya bisa melihat anak-anakku, menimangnya dan mengasuhnya.

Mendengar emosi sang istri yang memuncak, sang suami berkata: “istriku, ini cobaan dari Allah SWT, kita mesti bersabar, kita mesti …, mesti … dan mesti …”. Singkatnya, bagi sang istri, suaminya malah berceramah di hadapannya.

Akhirnya sang istri berkata: “OK, saya akan tahan kesabaranku satu tahun lagi, ingat, hanya satu tahun, tidak lebih”. Sang suami setuju, dan dalam dirinya, dipenuhi harapan besar, semoga Allah SWT memberi jalan keluar yang terbaik bagi keduanya.

Beberapa hari kemudian, tiba-tiba sang istri jatuh sakit, dan hasil lab mengatakan bahwa sang istri mengalami gagal ginjal. Mendengar keterangan tersebut, jatuhnya psikologis sang istri, dan mulailah memuncak emosinya. Ia berkata kepada suaminya: “Semua ini gara-gara kamu, selama ini aku menahan kesabaranku, dan jadilah sekarang aku seperti ini, kenapa selama ini kamu tidak segera menceraikan saya, saya kan ingin punya anak, saya ingin memomong dan menimang bayi, saya kan … saya kan …”. Sang istri pun bad rest di rumah sakit.

Di saat yang genting itu, tiba-tiba suaminya berkata: “Maaf, saya ada tugas keluar negeri, dan saya berharap semoga engkau baik-baik saja”. “Haah, pergi?”. Kata sang istri. “Ya, saya akan pergi karena tugas dan sekalian mencari donatur ginjal, semoga dapat”. Kata sang suami.

Sehari sebelum operasi, datanglah sang donatur ke tempat pembaringan sang istri. Maka disepakatilah bahwa besok akan dilakukan operasi pemasangan ginjal dari sang donatur.

Saat itu sang istri teringat suaminya yang pergi, ia berkata dalam dirinya: “Suami apa an dia itu, istrinya operasi, eh dia malah pergi meninggalkan diriku terkapar dalam ruang bedah operasi”.

Operasi berhasil dengan sangat baik. Setelah satu pekan, suaminya datang, dan tampaklah pada wajahnya tanda-tanda orang yang kelelahan.

Ketahuilah bahwa sang donatur itu tidak ada lain orang melainkan sang suami itu sendiri. Ya, suaminya telah menghibahkan satu ginjalnya untuk istrinya, tanpa sepengetahuan sang istri, tetangga dan siapa pun selain dokter yang dipesannya agar menutup rapat rahasia tersebut.

Dan subhanallah …

Setelah Sembilan (9) bulan dari operasi itu, sang istri melahirkan anak. Maka bergembiralah suami istri tersebut, keluarga besar dan para tetangga.

Suasana rumah tangga kembali normal, dan sang suami telah menyelesaikan studi S2 dan S3-nya di sebuah fakultas syari’ah dan telah bekerja sebagai seorang panitera di sebuah pengadilan di Jeddah. Ia pun telah menyelesaikan hafalan Al-Qur’an dan mendapatkan sanad dengan riwayat Hafs, dari ‘Ashim.

Pada suatu hari, sang suami ada tugas dinas jauh, dan ia lupa menyimpan buku hariannya dari atas meja, buku harian yang selama ini ia sembunyikan. Dan tanpa sengaja, sang istri mendapatkan buku harian tersebut, membuka-bukanya dan membacanya.

Hampir saja ia terjatuh pingsan saat menemukan rahasia tentang diri dan rumah tangganya. Ia menangis meraung-raung. Setelah agak reda, ia menelpon suaminya, dan menangis sejadi-jadinya, ia berkali-kali mengulang permohonan maaf dari suaminya. Sang suami hanya dapat membalas suara telpon istrinya dengan menangis pula.

Dan setelah peristiwa tersebut, selama tiga bulanan, sang istri tidak berani menatap wajah suaminya. Jika ada keperluan, ia berbicara dengan menundukkan mukanya, tidak ada kekuatan untuk memandangnya sama sekali.

(Diterjemahkan dari kisah yang dituturkan oleh teman tokoh cerita ini, yang kemudian ia tulis dalam email dan disebarkan kepada kawan-kawannya)

cerita makan siang

Nyambung pembahasan tentang perbincangan alutsista, saya jadi mau iktu nimbrung nich. Kebetulan tadi pas break konsiyering riset RSN-DRPM UI, saya dan salah seorang rekan satu tim riset ngobrol-ngobrol tentang teknologi pesawat. Kebetulan rekan saya ini adalah salah satu founder sekaligus investor PT. Aviator Teknologi Indonesia, sebuah perusahaan produsen UAV (Unmanned Aerial Vehicle) yang cukup produktif di Indonesia.

Ceritanya waktu tahun 2006, dia pernah ikut konferensi UAF internasional di Singapore. Di sela-sela acara, para peserta yang sebagian besar adalah peneliti dan pebisnis UAV ini saling sharing dan bertukar cerita. Lazimnya orang Asia, maka teman saya ini pun ikut nimbrung pula dengan saudara-saudaranya serumpun.

Ditengah pembicaraan bertanyalah temannya dari Singapore, “Anda dari mana? Oh saya dari Indonesia”. Salah seorang peserta dari Malaysia bertanya “memang di Indonesia ada (teknologi UAV)?”. Saat itu 100% dia yakin kalau pertanyaan itu dibumbui rasa ketidakpercayaan (underestimate) kalau Indonesia bisa mengembangankan teknologi UAV. Lalu dengan santun ia menjawab, “jumlah pastinya saya kurang tahu tapi saya mewakili perusahaan saya” (at lease ada satu-lah di Indonesia). Lalu dia pun bertanya balik, “Kalau anda sendiri sudah sejauh apa perkembangannya?”. Lalu si orang Singapore dengan banggga mengatakan “perusahaan kita sudah menyelesaikan blue print, selanjutnya kita akan membuat UAV dalam waktu dekat”. Si orang Malaysia pun tidak ketinggalan “kami masih membahas, tahun ini direncanakan akan selesai blue print-nya dan sesegera mungkin akan kita buat”. Kemudian orang Singapore pun kembali bertanya, “bagaimana dengan anda?”. Dengan tersenyum ia menjawab “Pesawat UAV kami sudah terbang 100 jam”…. Krik..krik..krik:D tersenyum lebar

Singkat cerita pasca konferensi dia langsung di “dekati” oleh si orang Malaysia dan Singapore tersebut pada waktu dan tempat yang berbeda namun dengan pertanyaan yang sama. “maukah anda bergabung dengan perusahaan kami?”….. hadeeehh ~.~

Nah, Nyambung soal diatas, berikut saya lampirin tulisan menarik dari seorang blogger http://ineztianty.multiply.com/, tentang PT. Aviator.

UAV atau Unmanned Aerial Vehicle di Indonesia mulai dkaji dan dikembangkan sekitar 1990-an. Banyak pihak saat ini mengembangkannya, baik perusahaan swasta, bumn, maupun lembaga pemerintah seperti BPPT, Balitbang Dephan, dan Litbang2 ditingkat Angkatan. Penamaannya juga berbeda-beda. Dephan menyebutnya Pesawat Terbang Tanpa Awak (PTTA), BPPT menyebutnya PUNA (Pesawat Udara Nir Awak).

Salah satu perusahaan swasta yang mengembangkan UAV ini adalah PT. Aviator yang berdiri sejak tahun 2005. Dengan inisiatif sendiri (bukan karena project dari pemerintah) mereka mengembangkan UAV yang diberi nama Smart Eagle series, Smart Eagle 1 dan 2. Smart Eagle 2 payloadnya 25 kg, bentang sayap 4.8 m. Smart Eagle 1 lebih kecil, scale down 50%, untuk training.

Sementara BPPT mengembangkan PUNA yang diberi nama Wulung. Mereka sudah mengembangkan sejak tahun 2000 dengan berganti-ganti partner, dengan PT. DI dan bebeapa universitas, namun tingkat keberhasilannya rendah. Tahun 2006 BPPT bertemu dengan PT. Aviator dan menjalin kerjasama untuk pengembangan PUNA Wulung ini. Dan ternyata setelah bekerjasama dengan PT. Aviator keberhasilannya jauh melonjak. Sekarang prototype UAV nya sudah plus avionik systemnnya, controlnya, ground control systemnya, jadi sudah complete systemnya. Sebelum-sebelumnya belum pernah sampai sana, terbangnya juga masih susah.

Perjalanan kerjasama ini lengkapnya begini :

2006 : airframe, avionic : censor placement , telemetri
Hasilnya: 1 konfigurasi pesawat
Tingkat keberhasilan dalam flight test : 98%

2007 : autopilot system, surveillance system
Hasil : 2 konfigurasi baru
Tingkat keberhasilan dalam flight test : 98%

Planning in 2008 :
Technology : thermal imaging
Fligh test : kemampuan menyelesaikan 1 misi
Target : 2010 Puna ini sudah benar-benar matang teknologinya.

Total dana untuk pengembangan dalam 2 tahun sebesar Rp. 9 Milliar

Sebagai perbandingan :
Malaysia mengembangkan UAV dengan ukuran yang sedikit lebih besar, dengan dana Rp. 16 Milliar hanya untuk pembuatan 1 airframe tanpa avionic system, manual dalam waktu 1 tahun.
Menurut PT. Aviator mereka bisa lakukan itu dalam 2 bulan.

Dalam hal harga, berikut perbandingannya :
PT. Aviator : US$ 3 juta (4 airframe full system+1 airframe only)
USA : US$ 10 juta (4 airframe full system)
Israel : US$ 6 million (1 airframe full system)