Digital Clock with Islamic Ornament

Minggu, 13 Maret 2011

bisa merasa...

Banyak orang yang mengekspresikan kehidupan dengan citra dan perspektifnya masing-masing, demikian halnya denganku. Dimataku perjuangan memperjuangkan hidup ibarat kita hendak menyebrangi lautan luas dengan keseluruhan probalitas alam yang menelengkupinya. Adalah pulau nun jauh diseberang yang menjadi tempat tujuan berlabuh merupakan sebuah mimpi yang ingin direalisasikan maka kita butuh sesuatu yang membuat kita mengapung diatas permukaan sang air dan sesuatu pula yang mampu membuat kita melaju ke arah tujuan. Aku tidak akan mendefinisikan secara rinci apa sesuatu itu sebab setiap orang bebas memilih dan memiliki konsepsi dari apa yang ia anggap itu sebagai sesuatu. Namun satu hal bahwa sesuatu itu adalah kebutuhan primordial yang kita butuhkan dalam meyusuri lorong-lorong perjuangan hidup.

Waktu, ya inilah satu alasan logis yang menjadi sandaran mengapa sesuatu itu menjadi milik kebebasan sang pejuang. Waktu pula yang menyimpan sejumput asa dan harapan dalam dimensi ruang kehidupan. Begitu mempesonanya sang waktu hingga ia mampu menjawab hal-hal yang tidak pernah kita duga dalam rancangan kehidupan ini. Namun, sungguh pun waktu tak lebih dari sebuah wahana untuk memahami arti kehidupan dan makna memperjuangkannya. Dalam peristiwa terwujudnya mimpi maka waktu mampu dengan cepat mewujudkannya atau sebaliknya menjadi lambat dan menyesatkan mereka yang terjebak dalam permainan sang waktu. Cepat bagi mereka yang segera menyadari dan ikhlas mengakui keterbatasan sambil bergegas melakukan rekonstruksi diri atasnya. Sebaliknya waktu pun akan terasa lambat bagi mereka yang tidak pernah sadar bahkan tidak mau mengakui kekurangan seraya merasa tak perlu ada yang dirubah dari dirinya because the others of me is nothing.

Kemapanan finansial, status, perkerjaan, fisik, hingga intelektualitas seringkali membuat kita lupa bahwa kita selalu membutuhkan susatu dari luar diri kita. Bahkan kemapanan-kemapanan itu pun adalah sebuah keradadaan yang diadakan bukan karena telah berada dengan sendirnya. Janganlah kita menjadi seongok daging yang memungkiri takdir bahwa kita tidak membutuhkan orang lain. Sungguh merekalah yang akan membantu kita mendefinisikan “sesuatu” itu. Dengan begitu kita dapat merengkuh pulau yang ingin kita tuju dengan berpandu pada waktu yang telah kita ukur. Maka bagiku merasa bisa belumlah cukup sebab ia-nya hanyalah akhir dari simpulan tatkala kita bisa merasa. Merasakan orang lain hidup di sekitar kita…

*tulisan ini adalah ungkapan terimakasih pada meraka yang telah mengajarkanku tentang nilai sebuah rasa.. -Depok, 14 Maret 2011-