Digital Clock with Islamic Ornament

Kamis, 12 Mei 2011

Cinta laki-laki biasa by Asma Nadia

Menjelang hari H, Nania masih saja sulit mengungkapkan alasan kenapa dia
mau menikah dengan lelaki itu. Baru setelah menengok ke belakang,
hari-hari yang dilalui, gadis cantik itu sadar, keheranan yang terjadi
bukan semata miliknya, melainkan menjadi milik banyak orang; Papa dan
Mama, kakak-kakak, tetangga, dan teman-teman Nania. Mereka ternyata sama
herannya.

Kenapa? Tanya mereka di hari Nania mengantarkan surat undangan.

Saat itu teman-teman baik Nania sedang duduk di kantin menikmati hari-hari
sidang yang baru saja berlalu. Suasana sore di kampus sepi.
Berpasang-pasang mata tertuju pada gadis itu.

Tiba-tiba saja pipi Nania bersemu merah, lalu matanya berpijar bagaikan
lampu neon limabelas watt. Hatinya sibuk merangkai kata-kata yg barangkali
beterbangan di otak melebihi kapasitas. Mulut Nania terbuka. Semua
menunggu. Tapi tak ada apapun yang keluar dari sana. Ia hanya menarik
nafas, mencoba bicara dan? menyadari, dia tak punya kata-kata!

Dulu gadis berwajah indo itu mengira punya banyak jawaban, alasan detil
dan spesifik, kenapa bersedia menikah dengan laki-laki itu. Tapi kejadian
di kampus adalah kali kedua Nania yang pintar berbicara mendadak gagap.
Yang pertama terjadi tiga bulan lalu saat Nania menyampaikan keinginan
Rafli untuk melamarnya. Arisan keluarga Nania dianggap momen yang tepat
karena semua berkumpul, bahkan hingga generasi ketiga, sebab
kakak-kakaknya yang sudah berkeluarga membawa serta buntut mereka.

Kamu pasti bercanda!

Nania kaget. Tapi melihat senyum yang tersungging di wajah kakak tertua,
disusul senyum serupa dari kakak nomor dua, tiga, dan terakhir dari Papa
dan Mama membuat Nania menyimpulkan: mereka serius ketika mengira Nania
bercanda.

Suasana sekonyong-konyong hening. Bahkan keponakan-keponakan Nania yang
balita melongo dengan gigi-gigi mereka yang ompong. Semua menatap Nania!

Nania serius! tegasnya sambil menebak-nebak, apa lucunya jika Rafli memang
melamarnya.

Tidak ada yang lucu, suara Papa tegas, Papa hanya tidak mengira
Rafli berani melamar anak Papa yang paling cantik!

Nania tersenyum. Sedikit lega karena kalimat Papa barusan adalah pertanda
baik.. Perkiraan Nania tidak sepenuhnya benar sebab setelah itu
berpasang-pasang mata kembali menghujaninya, seperti tatapan mata penuh
selidik seisi ruang pengadilan pada tertuduh yang duduk layaknya
pesakitan.

Tapi Nania tidak serius dengan Rafli, kan? Mama mengambil inisiatif
bicara, masih seperti biasa dengan nada penuh wibawa, maksud Mama siapa
saja boleh datang melamar siapapun, tapi jawabannya tidak harus iya, toh?

Nania terkesima.

Kenapa?

Sebab kamu gadis Papa yang paling cantik.

Sebab kamu paling berprestasi dibandingkan kami. Mulai dari ajang busana,
sampai lomba beladiri. Kamu juga juara debat bahasa Inggris, juara baca
puisi seprovinsi. Suaramu bagus!

Sebab masa depanmu cerah. Sebentar lagi kamu meraih gelar insinyur.
Bakatmu yang lain pun luar biasa. Nania sayang, kamu bisa mendapatkan
laki-laki manapun yang kamu mau!

Nania memandangi mereka, orang-orang yang amat dia kasihi, Papa,
kakak-kakak, dan terakhir Mama. Takjub dengan rentetan panjang uraian
mereka atau satu kata 'kenapa' yang barusan Nania lontarkan.

Nania Cuma mau Rafli, sahutnya pendek dengan airmata mengambang di kelopak.

Hari itu dia tahu, keluarganya bukan sekadar tidak suka, melainkan sangat
tidak menyukai Rafli. Ketidaksukaan yang mencapai stadium empat. Parah.

Tapi kenapa?

Sebab Rafli cuma laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan
biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yg amat sangat
biasa.

Bergantian tiga saudara tua Nania mencoba membuka matanya.

Tak ada yang bisa dilihat pada dia, Nania!

Cukup!

Nania menjadi marah. Tidak pada tempatnya ukuran-ukuran duniawi menjadi
parameter kebaikan seseorang menjadi manusia. Di mana iman, di mana
tawakkal hingga begitu mudah menentukan masa depan seseorang dengan
melihat pencapaiannya hari ini?

Sayangnya Nania lagi-lagi gagal membuka mulut dan membela Rafli.
Barangkali karena Nania memang tidak tahu bagaimana harus membelanya.
Gadis itu tak punya fakta dan data konkret yang bisa membuat Rafli tampak
'luar biasa'. Nania Cuma punya idealisme berdasarkan perasaan yang telah
menuntun Nania menapaki hidup hingga umur duapuluh tiga.. Dan nalurinya
menerima Rafli. Di sampingnya Nania bahagia.

Mereka akhirnya menikah.

***

Setahun pernikahan.

Orang-orang masih sering menanyakan hal itu, masih sering berbisik-bisik
di belakang Nania, apa sebenarnya yang dia lihat dari Rafli. Jeleknya,
Nania masih belum mampu juga menjelaskan kelebihan-kelebihan Rafli agar
tampak di mata mereka.

Nania hanya merasakan cinta begitu besar dari Rafli, begitu besar hingga
Nania bisa merasakannya hanya dari sentuhan tangan, tatapan mata, atau
cara dia meladeni Nania. Hal-hal sederhana yang membuat perempuan itu
sangat bahagia.

Tidak ada lelaki yang bisa mencintai sebesar cinta Rafli pada Nania.

Nada suara Nania tegas, mantap, tanpa keraguan.

Ketiga saudara Nania hanya memandang lekat, mata mereka terlihat tak percaya.

Nia, siapapun akan mudah mencintai gadis secantikmu!
Kamu adik kami yang tak hanya cantik, tapi juga pintar!
Betul. Kamu adik kami yang cantik, pintar, dan punya kehidupan sukses!

Nania merasa lidahnya kelu. Hatinya siap memprotes. Dan kali ini
dilakukannya sungguh-sungguh. Mereka tak boleh meremehkan Rafli.

Beberapa lama keempat adik dan kakak itu beradu argumen.

Tapi Rafli juga tidak jelek, Kak!
Betul. Tapi dia juga tidak ganteng kan?

Rafli juga pintar!
Tidak sepintarmu, Nania.

Rafli juga sukses, pekerjaannya lumayan.
Hanya lumayan, Nania. Bukan sukses.. Tidak sepertimu.

Seolah tak ada apapun yang bisa meyakinkan kakak-kakaknya, bahwa adik
mereka beruntung mendapatkan suami seperti Rafli.. Lagi-lagi percuma.

Lihat hidupmu, Nania. Lalu lihat Rafli! Kamu sukses, mapan, kamu bahkan
tidak perlu lelaki untuk menghidupimu.

Teganya kakak-kakak Nania mengatakan itu semua. Padahal adik mereka sudah
menikah dan sebentar lagi punya anak.

Ketika lima tahun pernikahan berlalu, ocehan itu tak juga berhenti.
Padahal Nania dan Rafli sudah memiliki dua orang anak, satu lelaki dan
satu perempuan. Keduanya menggemaskan. Rafli bekerja lebih rajin setelah
mereka memiliki anak-anak. Padahal itu tidak perlu sebab gaji Nania lebih
dari cukup untuk hidup senang. Tak apa, kata lelaki itu, ketika Nania
memintanya untuk tidak terlalu memforsir diri. Gaji Nania cukup, maksud
Nania jika digabungkan dengan gaji Abang.

Nania tak bermaksud menyinggung hati lelaki itu. Tapi dia tak perlu
khawatir sebab suaminya yang berjiwa besar selalu bisa menangkap hanya
maksud baik..

Sebaiknya Nania tabungkan saja, untuk jaga-jaga. Ya? Lalu dia mengelus
pipi Nania dan mendaratkan kecupan lembut. Saat itu sesuatu seperti
kejutan listrik menyentakkan otak dan membuat pikiran Nania cerah.

Inilah hidup yang diimpikan banyak orang. Bahagia!

Pertanyaan kenapa dia menikahi laki-laki biasa, dari keluarga biasa,
dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji
yang amat sangat biasa, tak lagi mengusik perasaan Nania. Sebab ketika
bahagia, alasan-alasan menjadi tidak penting.

Menginjak tahun ketujuh pernikahan, posisi Nania di kantor semakin
gemilang, uang mengalir begitu mudah, rumah Nania besar, anak-anak pintar
dan lucu, dan Nania memiliki suami terbaik di dunia. Hidup perempuan itu
berada di puncak!

Bisik-bisik masih terdengar, setiap Nania dan Rafli melintas dan
bergandengan mesra. Bisik orang-orang di kantor, bisik tetangga kanan dan
kiri, bisik saudara-saudara Nania, bisik Papa dan Mama.

Sungguh beruntung suaminya. Istrinya cantik.
Cantik ya? dan kaya!

Tak imbang!

Dulu bisik-bisik itu membuatnya frustrasi. Sekarang pun masih, tapi Nania
belajar untuk bersikap cuek tidak peduli. Toh dia hidup dengan perasaan
bahagia yang kian membukit dari hari ke hari.

Tahun kesepuluh pernikahan, hidup Nania masih belum bergeser dari puncak.
Anak-anak semakin besar. Nania mengandung yang ketiga. Selama kurun waktu
itu, tak sekalipun Rafli melukai hati Nania, atau membuat Nania menangis.

***

Bayi yang dikandung Nania tidak juga mau keluar. Sudah lewat dua minggu
dari waktunya.

Plasenta kamu sudah berbintik-bintik. Sudah tua, Nania. Harus segera
dikeluarkan!

Mula-mula dokter kandungan langganan Nania memasukkan sejenis obat ke
dalam rahim Nania. Obat itu akan menimbulkan kontraksi hebat hingga
perempuan itu merasakan sakit yang teramat sangat. Jika semuanya normal,
hanya dalam hitungan jam, mereka akan segera melihat si kecil.

Rafli tidak beranjak dari sisi tempat tidur Nania di rumah sakit. Hanya
waktu-waktu shalat lelaki itu meninggalkannya sebentar ke kamar mandi, dan
menunaikan shalat di sisi tempat tidur. Sementara kakak-kakak serta
orangtua Nania belum satu pun yang datang.



Anehnya, meski obat kedua sudah dimasukkan, delapan jam setelah obat
pertama, Nania tak menunjukkan tanda-tanda akan melahirkan. Rasa sakit dan
melilit sudah dirasakan Nania per lima menit, lalu tiga menit. Tapi
pembukaan berjalan lambat sekali.

Baru pembukaan satu.
Belum ada perubahan, Bu.
Sudah bertambah sedikit, kata seorang suster empat jam kemudian
menyemaikan harapan..

Sekarang pembukaan satu lebih sedikit. Nania dan Rafli berpandangan.
Mereka sepakat suster terakhir yang memeriksa memiliki sense of humor yang
tinggi.

Tigapuluh jam berlalu. Nania baru pembukaan dua. Ketika pembukaan pecah,
didahului keluarnya darah, mereka terlonjak bahagia sebab dulu-dulu
kelahiran akan mengikuti setelah ketuban pecah. Perkiraan mereka meleset.

Masih pembukaan dua, Pak!
Rafli tercengang. Cemas. Nania tak bisa menghibur karena rasa sakit yang
sudah tak sanggup lagi ditanggungnya. Kondisi perempuan itu makin payah.
Sejak pagi tak sesuap nasi pun bisa ditelannya.

Bang?
Rafli termangu. Iba hatinya melihat sang istri memperjuangkan dua kehidupan.

Dokter?

Kita operasi, Nia.. Bayinya mungkin terlilit tali pusar.

Mungkin?
Rafli dan Nania berpandangan. Kenapa tidak dari tadi kalau begitu?
Bagaimana jika terlambat?

Mereka berpandangan, Nania berusaha mengusir kekhawatiran. Ia senang
karena Rafli tidak melepaskan genggaman tangannya hingga ke pintu kamar
operasi. Ia tak suka merasa sendiri lebih awal.

Pembiusan dilakukan, Nania digiring ke ruangan serba putih. Sebuah sekat
ditaruh di perutnya hingga dia tidak bisa menyaksikan ketrampilan
dokter-dokter itu. Sebuah lagu dimainkan. Nania merasa berada dalam perahu
yang diguncang ombak. Berayun-ayun. Kesadarannya naik-turun. Terakhir,
telinga perempuan itu sempat menangkap teriakan-teriakan di sekitarnya,
dan langkah-langkah cepat yang bergerak, sebelum kemudian dia tak sadarkan
diri.

Kepanikan ada di udara. Bahkan dari luar Rafli bisa menciumnya. Bibir
lelaki itu tak berhenti melafalkan zikir.

Seorang dokter keluar, Rafli dan keluarga Nania mendekat.

Pendarahan hebat!

Rafli membayangkan sebuah sumber air yang meluap, berwarna merah.
Ada varises di mulut rahim yang tidak terdeteksi dan entah bagaimana
pecah! Bayi mereka selamat, tapi Nania dalam kondisi kritis.

Mama Nania yang baru tiba, menangis. Papa termangu lama sekali.
Saudara-saudara Nania menyimpan isak, sambil menenangkan orangtua mereka.

Rafli seperti berada dalam atmosfer yang berbeda. Lelaki itu tercenung
beberapa saat, ada rasa cemas yang mengalir di pembuluh-pembuluh darahnya
dan tak bisa dihentikan, menyebar dan meluas cepat seperti kanker.

Setelah itu adalah hari-hari penuh doa bagi Nania.

***

Sudah seminggu lebih Nania koma. Selama itu Rafli bolak-balik dari
kediamannya ke rumah sakit. Ia harus membagi perhatian bagi Nania dan juga
anak-anak. Terutama anggota keluarganya yang baru, si kecil. Bayi itu
sungguh menakjubkan, fisiknya sangat kuat, juga daya hisapnya. Tidak
sampai empat hari, mereka sudah oleh membawanya pulang.

Mama, Papa, dan ketiga saudara Nania terkadang ikut menunggui Nania di
rumah sakit, sesekali mereka ke rumah dan melihat perkembangan si kecil.
Walau tak banyak, mulai terjadi percakapan antara pihak keluarga Nania
dengan Rafli.

Lelaki itu sungguh luar biasa. Ia nyaris tak pernah meninggalkan rumah
sakit, kecuali untuk melihat anak-anak di rumah. Syukurnya pihak
perusahaan tempat Rafli bekerja mengerti dan memberikan izin penuh. Toh,
dedikasi Rafli terhadap kantor tidak perlu diragukan.

Begitulah Rafli menjaga Nania siang dan malam. Dibawanya sebuah Quran
kecil, dibacakannya dekat telinga Nania yang terbaring di ruang ICU.
Kadang perawat dan pengunjung lain yang kebetulan menjenguk sanak famili
mereka, melihat lelaki dengan penampilan sederhana itu bercakap-cakap dan
bercanda mesra..

Rafli percaya meskipun tidak mendengar, Nania bisa merasakan kehadirannya.

Nania, bangun, Cinta?
Kata-kata itu dibisikkannya berulang-ulang sambil mencium tangan, pipi dan
kening istrinya yang cantik.

Ketika sepuluh hari berlalu, dan pihak keluarga mulai pesimis dan berfikir
untuk pasrah, Rafli masih berjuang. Datang setiap hari ke rumah sakit,
mengaji dekat Nania sambil menggenggam tangan istrinya mesra. Kadang
lelaki itu membawakan buku-buku kesukaan Nania ke rumah sakit dan
membacanya dengan suara pelan. Memberikan tambahan di bagian ini dan itu.
Sambil tak bosan-bosannya berbisik,

Nania, bangun, Cinta?
Malam-malam penantian dilewatkan Rafli dalam sujud dan permohonan. Asalkan
Nania sadar, yang lain tak jadi soal. Asalkan dia bisa melihat lagi cahaya
di mata kekasihnya, senyum di bibir Nania, semua yang menjadi sumber
semangat bagi orang-orang di sekitarnya, bagi Rafli.

Rumah mereka tak sama tanpa kehadiran Nania. Anak-anak merindukan ibunya.
Di luar itu Rafli tak memedulikan yang lain, tidak wajahnya yang lama tak
bercukur, atau badannya yang semakin kurus akibat sering lupa makan.

Ia ingin melihat Nania lagi dan semua antusias perempuan itu di mata,
gerak bibir, kernyitan kening, serta gerakan-gerakan kecil lain di
wajahnya yang cantik. Nania sudah tidur terlalu lama.

Pada hari ketigapuluh tujuh doa Rafli terjawab. Nania sadar dan wajah
penat Rafli adalah yang pertama ditangkap matanya.

Seakan telah begitu lama. Rafli menangis, menggenggam tangan Nania dan
mendekapkannya ke dadanya, mengucapkan syukur berulang-ulang dengan
airmata yang meleleh.

Asalkan Nania sadar, semua tak penting lagi.

Rafli membuktikan kata-kata yang diucapkannya beratus kali dalam doa.
Lelaki biasa itu tak pernah lelah merawat Nania selama sebelas tahun
terakhir. Memandikan dan menyuapi Nania, lalu mengantar anak-anak ke
sekolah satu per satu. Setiap sore setelah pulang kantor, lelaki itu
cepat-cepat menuju rumah dan menggendong Nania ke teras, melihat senja
datang sambil memangku Nania seperti remaja belasan tahun yang sedang
jatuh cinta.

Ketika malam Rafli mendandani Nania agar cantik sebelum tidur..
Membersihkan wajah pucat perempuan cantik itu, memakaikannya gaun tidur.
Ia ingin Nania selalu merasa cantik. Meski seringkali Nania mengatakan itu
tak perlu. Bagaimana bisa merasa cantik dalam keadaan lumpuh?

Tapi Rafli dengan upayanya yang terus-menerus dan tak kenal lelah selalu
meyakinkan Nania, membuatnya pelan-pelan percaya bahwa dialah perempuan
paling cantik dan sempurna di dunia. Setidaknya di mata Rafli.

Setiap hari Minggu Rafli mengajak mereka sekeluarga jalan-jalan keluar.
Selama itu pula dia selalu menyertakan Nania. Belanja, makan di restoran,
nonton bioskop, rekreasi ke manapun Nania harus ikut. Anak-anak, seperti
juga Rafli, melakukan hal yang sama, selalu melibatkan Nania.. Begitu
bertahun-tahun.

Awalnya tentu Nania sempat merasa risih dengan pandangan orang-orang di
sekitarnya. Mereka semua yang menatapnya iba, lebih-lebih pada Rafli yang
berkeringat mendorong kursi roda Nania ke sana kemari. Masih dengan senyum
hangat di antara wajahnya yang bermanik keringat.

Lalu berangsur Nania menyadari, mereka, orang-orang yang ditemuinya di
jalan, juga tetangga-tetangga, sahabat, dan teman-teman Nania tak puas
hanya memberi pandangan iba, namun juga mengomentari, mengoceh, semua
berbisik-bisik.

Baik banget suaminya!
Lelaki lain mungkin sudah cari perempuan kedua!

Nania beruntung!
Ya, memiliki seseorang yang menerima dia apa adanya.

Tidak, tidak cuma menerima apa adanya, kalian lihat bagaimana suaminya
memandang penuh cinta. Sedikit pun tak pernah bermuka masam!

Bisik-bisik serupa juga lahir dari kakaknya yang tiga orang, Papa dan Mama.

Bisik-bisik yang serupa dengungan dan sempat membuat Nania makin
frustrasi, merasa tak berani, merasa?

Tapi dia salah. Sangat salah. Nania menyadari itu kemudian. Orang-orang di
luar mereka memang tetap berbisik-bisik, barangkali selamanya akan selalu
begitu. Hanya saja, bukankah bisik-bisik itu kini berbeda bunyi?

Dari teras Nania menyaksikan anak-anaknya bermain basket dengan ayah
mereka.. Sesekali perempuan itu ikut tergelak melihat kocak permainan.

Ya. Duapuluh dua tahun pernikahan. Nania menghitung-hitung semua,
anak-anak yang beranjak dewasa, rumah besar yang mereka tempati, kehidupan
yang lebih dari yang bisa dia syukuri. Meski tubuhnya tak berfungsi
sempurna. Meski kecantikannya tak lagi sama karena usia, meski karir telah
direbut takdir dari tangannya.

Waktu telah membuktikan segalanya. Cinta luar biasa dari laki-laki biasa
yang tak pernah berubah, untuk Nania.

Seperti yg diceritakan oleh seorang sahabat..

- Asma Nadia -


*Diambil dari posting seorang teman dari milis kampusnya

Pengalaman Bokek Saya Dengan Kak Ucu

Pengalaman Bokek Saya Dengan Kak Ucu

oleh: Achmad Kalla, adik kandung Jusuf Kalla

Peristiwa ini terjadi kira-kira tujuh tahun lalu.

Waktu itu Kak Ucu habis dipecat dari jabatan Menteri Perindustrian dan Perdagangan oleh Gus Dur. Maka kembali lah Kak Ucu mengurusi usahanya, termasuk membantu saya dalam berbisnis. Dia 'kan memang senior.

Suatu hari, saya dan Kak Ucu sedang berdiskusi dengan sebuah bank asing di kawasan Sudirman, Jakarta. Waktu itu kami membicarakan soal kredit yang jumlahnya kira-kira mencapai satu triliun.

Bicara lah kami panjang lebar dengan para kreditor itu. Pembicaraannya seru, karena menyangkut uang berjumlah besar.

Saya ingat bener, hari itu hari Jumat. Maka ketika jam menunjukkan pukul setengah dua belas, kami minta break, karena harus sholat Jumat. Kak Ucu bilang, "Sorry, we are Moslem, this is Friday, time to do our Friday prayer." Bule-bule itu mengerti. "OK, OK, we understand."

Dari situ kami jalan kaki ke Pejompongan. Kami pergi sholat Jumat.

Sehabis sholat, 'kan lapar nih. Singgahlah kami di sebuah rumah makan Padang.

Sampe disitu, ternyata Kak Ucu nggak bawa dompet! Wah!

Dia nanya ke saya, "Kamu bawa uang nggak?" Saya sih bawa dompet, tapi begitu dibuka dompet, Masya Allah, isinya Rp25,000 saja!

Waduh, makan di rumah makan Padang berdua 'kan standarnya lebih dari Rp25,000! Amannya punya Rp50,000 lah. Jadi terpaksa Kak Ucu bilang, "Okelah, yang penting kita asal ganjal perut saja. Jangan makan banyak ya!" Saya juga bilang "Eits, Kak Ucu juga sama. Jangan makan banyak ya! Makannya dikit aja, biar uangnya cukup nih!"

Akhirnya kami makan sedikit. Kalo nggak salah, menu kami masing-masing hanya satu potong rendang dan sayur. Kemudian sepanjang makan pun kami menaksir, kira-kira kita bayar berapa, nih. "Kira-kira berapa nih, harga yang kita makan?" Kak Ucu bertanya. "Yaah, antara Rp15,000 sampai Rp20,000 lah total," kata saya.

Tiba-tiba, tengah-tengah makan, seorang teman kami datang, yaitu Profesor Arif dari Fakultas Teknik Elektro Universitas Hasanuddin, Makassar.

Kami harus menyapa, dong, "Eeeeh, Pak Ariiif! Apa kabar? Kapan tiba di Jakarta? Ayo silahkan, silahkan!"

Kenapa ya beliau pas banget lagi di Jakarta? Nggak ngerti juga kenapa kebetulan masuk ke rumah makan yang itu. Akhirnya saya dan Kak Ucu kita saling pandang deh. Kami aja berusaha menghemat, eh, malah ada tambahan tamu. Ironisnya, baru beberapa jam lalu kami bicara uang triliunan rupiah, sekarang Rp25,000 aja nggak punya!

Ya sudah, kami berusaha tenang aja. Siapa tau Pak Arif ada uang. Kalau kepepet sekali, kami pinjam uang sama dia dulu lah.

Lucunya, gara-gara Pak Arif liat kami makannya dikit, dia ikut-ikutan sedikit makannya, hahaha… Alhamdulillah.

Paling tegang ketika bonnya datang. Berapa ni jatuhnya? Kalau lewat seribu perak saja 'kan malu. Alhamdulillah, tagihannya waktu itu Rp24,800. Pokoknya saya ingat bener, kembaliannya hanya 200 perak! Ya sudah, kantongi saja.

Sesudah makan, saya dan Kak Ucu berjalan kaki kembali ke bank. Eeeh, tiba-tiba turun hujan rintik-rintik! Padahal kami harus jalan sekitar 300 meter lagi. Datanglah anak-anak ojek payung menawarkan jasanya. "Pak, Pak, payung, Pak!" Saya bertanya "Berapa?" Mereka menjawab,"500! "

Alamak, uang di kantong 'kan hanya 200 perak. Akhirnya kami lari hujan-hujanan saja… Nasib…

http://www.sahabatm uda.com/home. php/ngobrol/ 16/2009/Pengalam an-Bokek- Saya-Dengan- Kak-Ucu.html

Rabu, 04 Mei 2011

KEPUASAN ADA DI RASA SYUKUR

Dua hal apabila dimiliki oleh seseorang dia dicatat oleh Allah sebagai orang yang bersyukur dan sabar. Dalam urusan agama (ilmu dan ibadah) dia melihat kepada yang lebih tinggi lalu meniru dan mencontohnya. Dalam urusan dunia dia melihat kepada yang lebih bawah, lalu bersyukur kepada Allah bahwa dia masih diberi kelebihan. (HR. Tirmidzi)

Siang itu, Jakarta begitu cerah, secerah wajah kami yang baru saja gajian. Temanku tiba-tiba nelpon. “Makan siang yuk”, ajaknya. “Oke”, jawabku. So she picked me up at the lobby of Jakarta Stock Exchange Building.

Selepas SCBD, kami masih belum ada ide mau makan dimana. Ide ke soto Pak Sadi segera terpatahkan begitu melihat bahwa yang parkir sudah sampai sebrang-sebrang, motor dan mobil antri menunggu “boss”nya yang sedang makan.

Akhirnya kami memutuskan makan gado-gado di Kertanegara. Bisa makan di mobil soalnya sampai di sana masih sepi. Baru ada beberapa mobil. Kami masih bisa memilih parkir yang enak. Mungkin karena setelah pada jumatan. Begitu parkir, seperti biasa, calo-calo warung gado-gado sudah menanyakan mau makan apa, minum apa.

Kami pesan dua porsi gado-gado + minuman manis dalam botol (maaf gak mau sebut merek, ntar disangka iklan). Sambil menunggu pesanan, kami-pun ngobrol. So, sedang asyik-asyiknya ngobrol, tiba-tiba kami dikagetkan dengak kehadiran seorang pemuda lusuh nongol di jendela mobil kami, yang membuat kami agak kaget.

“Semir om?” tanyanya, sambil memberikan senyum terbaiknya.

Aku lirik sepatuku. Ugh, kapan ya terakhir aku nyemir sepatuku sendiri? Aku sendiri lupa. Saking lamanya. Maklum, aku kan karyawan sok sibuk…Tanpa sadar tangan ku membuka sepatu dan memberikannya pada dia.

Dia menerimanya lalu membawanya ke emperan sebuah rumah. Tempat yang terlihat dari tempat kami parkir. Tempat yang cukup teduh. Mungkin supaya nyemirnya nyaman.

Pesanan kami pun datang. Kami makan sambil ngobrol. Sambil memperhatikan pemuda tadi nyemir sepatu ku. Pembicaraan pun bergeser ke pemuda itu. Umurnya sekitar 20-an. Terlalu tua untuk jadi penyemir sepatu. Biasanya pemuda umur segitu kalo tidak jadi tukang parkir or jadi kernet,ya jadi pak ogah.

Perlahan kami perhatikan, pandangan mata pemuda itu tampak kosong. Absent minded. Seperti orang sedih. Seperti ada yang dipikirkan. Tangannya seperti menyemir secara otomatis. Kadang-kadang matanya melayang ke arah mobil-mobil yang hendak parkir (sudah mulai ramai).

Lalu pandangannya kembali kosong. Perbincangan kami mulai ngelantur kemana-mana. Sampai kami main tebak-tebakan tentang kira-kira umur dia berapa, pagi tadi dia mandi apa enggak, kenapa dia jadi penyemir dll. Kami masih makan saat dia selesai menyemir.

Dia menyerahkan sepatunya pada ku. Belum lagi dia kubayar, dia bergerak menjauh, menuju mobil-mobil yang parkir sesudah kami.

Mata kami lekat padanya. Kami melihatnya mendekati sebuah mobil. Menawarkan jasa. Ditolak. Nyengir. Kelihatannya dia memendam kesedihan. Pergi ke mobil satunya. Ditolak lagi. Melangkah lagi dengan gontai ke mobil lainnya. Menawarkan lagi. Ditolak lagi. Dan setiap kali dia ditolak, sepertinya kami juga merasakan penolakan itu. Ehm…kenapa ya?

Sepertinya sekarang kami jadi ikut menyelami apa yang dia rasakan pemuda tukang semir itu. Tiba-tiba kami tersadar. Konyol ah. Who said life would be fair anyway. Kenapa jadi kita yang mengharapkan bahwa semua orang harus menyemir? Hihihi…

Perbincangan pun bergeser ke topik lain. Di kejauhan aku masih bisa melihat pemuda tadi, masih menenteng kotak semirnya di satu tangan, mendapatkan penolakan dari satu mobil ke mobil lainnya. Bahkan, selain penolakan,di beberapa mobil, dia juga mendapat pandangan curiga.

Akhirnya dia kembali ke bawah pohon. Duduk di atas kotak semirnya. Tertunduk lesu…Kami pun selesai makan. Ah, iya. Penyemir tadi belum aku bayar. Kulambai dia. Kutarik 2 buah lembaran ribuan dari kantong kemejaku. Uang sisa parkir. Lalu kuberikan kepadanya. Soalnya setahu ku jasa nyemir biasanya dua ribu rupiah

Pemuda tukang semir itu menerima sambil memeriksa gulungan uang dari kami, kemudian berkata kalem “Kebanyakan om. Seribu aja”.

BOOOOM….Jawaban itu tiba-tiba serasa petir di hatiku.

It-just-does- not-compute- with-my-logic!

Bayangkan, orang seperti dia masih berani menolak uang yang bukan hak-nya.

Aku masih terbengong-bengong waktu nerima uang seribu rupiah yang dia kembalikan. Se-ri-bu Ru-pi-ah. Bisa buat apa sih sekarang? But, dia merasa cukup dibayar segitu.

Pikiranku tiba-tiba melayang. Tiba-tiba aku merasa ngeri. Betapa aku masih sedemikian kerdil. Betapa aku masih suka merasa kurang dengan gaji ku. Padahal keadaanku sudah sangat jauh lebih baik dari dia dan mungkin lebih baik dari 34,96 juta penduduk Indonesia yang masih bergelut dengan kemiskinannya.

Tuhan sudah sedemikian baik kepadaku, tapi perilaku-ku belum seberapa dibandingkan dengan pemuda itu, yang dalam kekurangannya, masih mau mengembalikan yang memang bukan haknya.

Sangat jauh dibandingkan dengan para “penjahat kerah putih” yang dengan kekuasaan dan kedudukannya “memakan” hak orang lain tanpa belas kasihan demi kepentingan dirinya sendiri.

Jadi teringat dengan ceramah sala seorang ustadz di musholla kecil sekitar rumahku, ketika sang penceramah mengingatkan sebuah ayat :

“Dan (ingatlah juga), takala Rabbmu memaklumkan: Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”. (QS. Ibrahim : ayat 7)

Dan akhirnya, sambil memandang pemuda tukang semir itu, yang perlahan hilang dari pandangan, karena kami harus back to office , hati saya berdo’a semoga Allah jadikan saya orang yang BERIMAN dan BERSYUKUR.

“Sungguh mengagumkan urusan (sikap) orang beriman, karena segala urusannya baginya adalah kebaikan. Dan itu tidak terjadi selain pada orang beriman. Jika ia menerima kebahagiaan ia bersyukur, maka itu jadi kebaikan baginya. Dan jika ia menerima musibah ia bersabar, maka itu jadi kebaikan baginya.” (Riwayat Muslim)

Siang ini aku merasa mendapat pelajaran berharga.
Siang ini aku seperti diingatkan.
Bahwa kejujuran itu langka.
Bahwa kebahagiaan dunia dan (insya Allah akhirat) itu adanya di rasa syukur.


Sumber :

kiriman seorang sahabat via email

Senin, 02 Mei 2011

Sholat Subuh di Masjid

Seorang pria bangun pagi2 buta utk sholat subuh di Masjid. Dia berpakaian, berwudhu dan berjalan menuju masjid. Di tengah jalan menuju masjid, pria tsb jatuh dan pakaiannya kotor. Dia bangkit, membersihkan bajunya, dan pulang kembali kerumah. Di rumah,dia berganti baju, berwudhu, dan, LAGI,berjalan menuju masjid .

Dlm perjalanan kembali ke masjid, dia jatuh lagi di tempat yg sama! Dia, sekali lagi, bangkit, membersihkan dirinya dan kembali kerumah. Dirumah, dia, sekali lagi, berganti baju, berwudhu dan berjalan menuju masjid.

Di tengah jalan menuju masjid, dia bertemu seorang pria yg memegang lampu. Dia menanyakan identitas pria tsb, dan pria itu menjawab :

"Saya melihat anda jatuh 2 kali di perjalanan menuju masjid, jadi saya bawakan lampu untuk menerangi jalan anda."

Pria pertama mengucapkan terima kasih dan mereka berdua berjalan ke masjid. Saat sampai di masjid, pria pertama bertanya kepada pria yang membawa lampu untuk masuk dan sholat subuh bersamanya.Pria kedua menolak. Pria pertama mengajak lagi hingga berkali2 dan,lagi, jawabannya sama.Pria pertama bertanya, kenapa menolak untuk masuk dan sholat. Pria kedua menjawab.......

Aku adalah Setan

Pria itu terkejut dgn jawaban pria kedua. Setan kemudian menjelaskan,"Saya melihat kamu berjalan ke masjid dan sayalah yg membuat kamu terjatuh."
"Ketika kamu pulang ke rumah,membersihkan badan dan kembali ke masjid, Allah memaafkan semua dosa2mu."
"Saya membuatmu jatuh kedua kalinya, dan bahkan itupun tidak membuatmu merubah pikiran untuk tinggal dirumah saja,kamu tetap memutuskan kembali masjid. Karena hal itu, Allah memaafkan dosa2 seluruh anggota keluargamu."
"Saya KHAWATIR jika saya membuat mu jatuh utk ketiga kalinya, jangan2 Allah akan memaafkan dosa2 seluruh penduduk desamu, jadi saya harus memastikan bahwa anda sampai dimasjid dgn selamat..."

Jadi, jangan pernah biarkan Setan mendapatkan keuntungan dari setiap aksinya. Jangan melepaskan sebuah niat baik yg hendak kamu lakukan karena kamu tidak pernah tau ganjaran yg akan kamu dapatkan dari segala kesulitan yg kamu temui dalam usahamu utk melaksanakan niat baik tersebut.

Pendidik, Bukan Pemburu

Pendidik, Bukan Pemburu

http://cetak. kompas.com/

Hari Senin, 2 Maret 2009, David H Wijaya, mahasiswa pintar asal Indonesia, tewas di Nanyang Tech University, Singapura.

Semula, diberitakan ia kepepet, menusuk profesornya, lalu bunuh diri. Kejadian seperti ini sering dilihat dari sisi kriminalitas (urusan polisi). Namun, benarkah demikian?

Kalau David masih hidup, para pendidik bisa belajar banyak darinya. Versi lain menyebutkan, David bukan pencemas, kurang pandai bergaul, atau rendah kecerdasan sosialnya. Akan ada versi-versi lain yang perlu dilihat dari kacamata pendidikan.

Naluri saya yang bergelut di bidang pendidikan selama lebih dari 20 tahun mengatakan sebaliknya. Besar kemungkinan mereka adalah korban dari sistem dan perilaku pemburu dalam pendidikan. Apalagi Pemerintah Singapura amat berkepentingan memburu anak-anak pintar etnis tertentu untuk mengimbangi populasi bangsanya.

Jadi, diperlukan kehati-hatian dalam menafsirkan versi awal yang tidak dilandasi pada cara berpikir dari kacamata pendidikan.

Pemburu bukan pendidik

Bangku sekolah tentu bukan hutan belantara yang didiami aneka satwa liar nan buas. Sekolah adalah entitas sosial yang mendidik masyarakat agar hidup dalam peradaban ilmiah, saling menghargai, dan mencapai kesejahteraan atau kebahagiaan.

Namun, entah mengapa, sekolah telah berubah menjadi lembaga yang meresahkan anak didik. Bukan pemburu bersenjata, melainkan guru yang menuntut bekerja tertib, berkompetisi, dan prestasi akademis.

Daripada menghargai keunikan masing-masing, kita membuat standar, lalu menempatkan mereka dalam struktur dan ranking. Akibatnya, bersaing mengejar ranking dan berebut masuk standar untuk mendapat pengakuan, beasiswa, dan penghargaan. Mereka yang memiliki keunikan dianggap bodoh meski di masyarakat terbukti sukses dan karya- karya mereka amat dihargai.

Guru, atau dosen, yang mengabaikan faktor keunikan anak didiknya adalah pemburu, dan bagi saya pemburu bukan pendidik. Pemburu menatap tajam anak didiknya yang tak masuk ranking, menghukum dan kadang menyiksa. Di televisi sering kita saksikan rekaman gambar guru yang
menyiksa murid-muridnya.

Anak-anak pintar pun tak luput dari ”penyiksaan” pemburu. Mereka dituntut menunjukkan kehebatan dan selesai lebih cepat dari jadwal. Keunikan masing-masing tidak diterima sebagai kehebatan.

Saat mengepalai program doktor, saya sering terpaksa menggeser penguji, bukan karena mereka kurang hebat, tetapi karena lebih cocok jadi pemburu. Pemburu membombardir anak didiknya dengan berbagai pertanyaan sinis, out of context, dengan tujuan menjatuhkan daripada
membantu mereka menemukan masa depannya.

Sisi anak didik

David mungkin saja tidak memiliki kecerdasan sosial dan emosional seperti kata sejumlah kalangan. Namun, para guru di BPK Penabur mengatakan, David bukan penyendiri. Di kampus, ia juga aktif dalam kegiatan olahraga dan menjadi utusan Indonesia dalam Olimpiade Matematika di Meksiko. Karena David sudah tiada, mungkin kita bisa belajar dari David-David lain.

Di Orinda, California, pada tahun 1985, seorang anak perempuan membunuh teman sekelasnya yang pintar dan populer. Saat diinterogasi polisi dan diperiksa kesehatan jiwanya, diketahui ia merasa tertekan karena dirinya nothing, invisible (tak ada yang menghiraukan), dan worthless (tak bernilai).

Perasaan dan pikiran yang demikian membentuk keyakinan (belief). Matthew McKay dan Patrick Fanning (1991) bahkan menyebutkan, banyak sekali anak didik yang memiliki keunikan menjadi prisoners of belief (narapidana keyakinan) yang membuat mereka tidak bahagia dan sulit
mengendalikan diri.

Pada masa krisis k ita akan banyak bergulat dengan narapidana-narapida na keyakinan yang terbelenggu dan sulit menerima kesulitan hidup, kegagalan, dan aneka keterbatasan, baik karena peristiwa ekonomi maupun kepemimpinan atasan yang buruk. Mereka memaksa dirinya masuk dalam standar dan menyangkal keunikan dirinya semata-mata karena belenggu sekolah.

Keyakinan inti (core-belief) tak pernah disentuh para pendidik karena banyak sebab. Pertama, tak sedikit pendidik yang juga menjadi narapidana keyakinan. Kedua, diperlukan therapy, dan therapy ini bukan kurikulum inti yang dianggap penting oleh pengelola pendidikan. Ketiga, tak banyak orang paham men-therapy belief seseorang.

10 elemen

Saya pernah memasukkannya, dan hingga kini masih menggunakannya untuk membongkar belenggu-belenggu yang mengikat anak didik, tetapi pengalaman mengatakan, implementasinya banyak menemui hujatan dari para ”pemburu”. Untuk mencegah kasus David-David lain, kita harus memeriksa core-belief inventory yang tersembunyi di balik pikiran anak-anak didik dan para pendidik. Inventory ini terdiri dari 10 elemen, yaitu percaya diri, rasa nyaman, kontrol diri, cinta, otonomi, keluarga, rasa adil, kinerja, perubahan, kepercayaan (trust).

Elemen-elemen itu dapat dibagi tiga: rasa percaya, hubungan personal, dan pengendalian hidup. Ketiganya memengaruhi tingkat kecemasan, pengambilan keputusan, asumsi terhadap orang lain, ketenangan/kecemasa n, dan keberhasilan hidup.

Kategori pertama diwakili oleh percaya diri dan perasaan bernilai, percaya kepada orang lain, dan merasa diperlakukan adil. Monolognya mengalir dalam pernyataan seperti ”saya cukup bernilai”, ”mereka dapat dipercaya”, ”mereka memperlakukan saya dengan adil”.

Kategori kedua, kenyamanan, cinta (love), dan keluarga (belonging). Orang-orang yang hidupnya seimbang cenderung penuh cinta dan ada yang memikirkan. Kata mereka, ”Kalau hari ini saya hilang, pasti ada yang kehilangan dan menangisi kepergian saya.”

Kategori ketiga, kemampuan kita mengendalikan diri sendiri, pekerjaan/sekolah (kinerja), kemandirian, dan pengambilan risiko (perubahan). Kelompok terakhir ini dapat disimpulkan dengan pernyataan ”saya bisa mengendalikan dorongan-dorongan liar dalam jiwa saya”,
”saya punya prestasi”, ”saya cukup punya otoritas”, serta ”kalau menjadi lebih baik, mengapa takut menghadapi perubahan”.

Andaikan David masih ada dan polisi Singapura cukup terbuka, mungkin kita bisa menemukan jawabnya dengan memeriksa kesepuluh elemen itu, baik pada David maupun dosen pembimbingnya.

Dari pengalaman anak-anak didik yang dianggap bermasalah oleh para gurunya, diyakini David bukan anak jahat atau lemah kecerdasan sosialnya. David telah menjadi ”narapidana keyakinan” yang tersudut dalam hutan perburuan dan kita tak memberikan ruang untuk membebaskan
atau menghargai keunikannya.



Rhenald Kasali Pengajar di Universitas Indonesia

Rabu, 27 April 2011

Ayah seperti apa?

tulisan ini di ambil dan di share di blog ini dari artikel http://seorangayah.wordpress.com/2010/12/13/kisah-para-ayah/. semoga bermanfaat ^^



Subuh tadi saya melewati sebuah rumah, 50 meter dari rumah saya dan melihat seorang isteri mengantar suaminya sampai pagar depan rumah.
“Yah, beras sudah habis loh…,” ujar isterinya.
Suaminya hanya tersenyum dan bersiap melangkah,
namun langkahnya terhenti oleh panggilan anaknya daridalam rumah,

“Ayah, besok Agus harus bayar uang praktek.”"Iya…,” jawab sang Ayah.
Getir terdengar di telinga saya, apalah lagi bagi lelaki itu, saya bisa menduga langkahnya semakin berat.

Ngomong-ngomong, saya jadi ingat pesan anak saya semalam,”Besok beliin lengkeng ya”
dan saya hanya menjawabnya dengan “Insya Allah”
sambil berharap anak saya tak kecewa jika malam nanti tangan ini tak berjinjing buah kesukaannya itu.

Di kantor, seorang teman menerima SMS nyasar, “Jangan lupa, pulang beliin susu Nadia ya”. Kontan saja SMS itu membuat teman saya bingung dan sedikit berkelakar,”Ini, anak siapa minta susunya ke siapa”. Saya pun sempat berpikir, mungkin jika SMS itu benar-benar sampai ke nomor sang Ayah, tambah satu gundah lagi yang bersemayam. Kalau tersedia cukup uang di kantong, tidaklah masalah. Bagaimana jika sebaliknya? Banyak para Ayah setiap pagi membawa serta gundah mereka, mengiringi setiap langkah hingga ke kantor.

Keluhan isteri semalam tentang uang belanja yang sudah habis, bayaran sekolah anak yang tertunggak sejak bulan lalu, susu si kecil yang tersisa di sendok terakhir, bayar tagihan listrik, hutang di warung tetangga yang mulai sering mengganggu tidur, dan segunung gundah lain yang kerap membuatnya terlamun. Tidak sedikit Ayah yang tangguh yang ingin membuat isterinya tersenyum, meyakinkan anak-anaknya tenang dengan satu kalimat,”Iya, nanti semua Ayah bereskan,” meski dadanya bergemuruh kencang dan otaknya berputar mencari jalan untuk janjinya membereskan semua gundah yang ia genggam.

Maka sejarah pun berlangsung, banyak para Ayah yang berakhir di tali gantungan tak kuat menahan beban ekonomi yang semakin menjerat cekat lehernya. Baginya, tali gantungan tak bedanya dengan jeratan hutang dan rengekan keluarga yang tak pernah bisa ia sanggupi. Sama-sama menjerat, bedanya, tali gantungan menjerat lebih cepat dan tidak perlahan-lahan. Tidak sedikit para Ayah yang membiarkan tangannya berlumuran darah sambil menggenggam sebilah pisau mengorbankan hak orang lain demi menuntaskan gundahnya. Walau akhirnya ia pun harus berakhir di dalam penjara. Yang pasti, tak henti tangis bayi di rumahnya,karena susu yang dijanjikan sang Ayah tak pernah terbeli.

Tak jarang para Ayah yang terpaksa menggadaikan keimanannya, menipu rekan sekantor, mendustai atasan dengan memanipulasi angka-angka, atau berbuat curang dibalik meja teman sekerja. Isteri dan anak-anaknya tak pernah tahu dan tak pernah bertanya dari mana uang yang didapat sang Ayah. Halalkah? Karena yang penting teredam sudah gundah hari itu. Teramat banyak para isteri dan anak-anak yang setia menunggu kepulangan Ayahnya, hingga larut yang ditunggu tak juga kembali. Sementara jauh disana, lelaki yang isteri dan anak-anaknya setia menunggu itu telah babak belur tak berkutik, hancur meregang nyawa, menahan sisa-sisa nafas terakhir setelah dihajar massa yang geram oleh aksi pencopetan yang dilakukannya. Sekali lagi, ada yang rela menanggung resiko ini demi segenggam gundah yang mesti ia tuntaskan.

Sungguh, di antara sekian banyak Ayah itu, saya teramat salut dengan sebagian Ayah lain yang tetap sabar menggenggam gundahnya, membawanya kembali ke rumah, menyertakannya dalam mimpi, mengadukannya dalam setiap sujud panjangnya di pertengahan malam, hingga membawanya kembali bersama pagi. Berharap ada rezeki yang Allah berikan hari itu,agar tuntas satu persatu gundah yang masih ia genggam. Ayah yang ini, masih percaya bahwa Allah takkan membiarkan hamba-Nya berada dalam kekufuran akibat gundah-gundah yang tak pernah usai.

Para Ayah ini, yang akan menyelesaikan semua gundahnya tanpa harus menciptakan gundah baru bagi keluarganya. Karena ia takkan menuntaskan gundahnya dengan tali gantungan, atau dengan tangan berlumur darah, atau berakhir di balik jeruji pengap, atau bahkan membiarkan seseorang tak dikenal membawa kabar buruk tentang dirinya yang hangus dibakar massa setelah tertangkap basah mencopet.

Dan saya, sebagai Ayah, akan tetap menggenggam gundah saya dengan senyum.

Saya yakin, Allah suka terhadap orang-orang yang tersenyum dan ringan melangkah di balik semua keluh dan gundahnya. Semoga.

============

Cobalah untuk sekedar bercermin, “AYAH SEPERTI APAKAH KITA?”



#lantai 9 di salah satu gedung di Jakarta
#seorangayah yang berusaha menjadi ayah terbaik bagi anak-anaknya
13 Desember 2010



Sumber :
Tulisan : Milis Pondok Aren
Gambar : hatiperantau.files.wordpress.com

3 bulan tak mampu memandang wajah suami

ehm…kenapa ya akhir-akhir ini kok aku makin mecintai-nya? lirih seorang suami dalam akun facebooknya, dia sampai menulis :

ternyata, di balik sifat pendiammu, engkau begitu rajin mengurus rumah dan anak-anak kita, belum lagi, ternyata kian hari, masakanmu kian cocok dengan seleraku, gimana ya? kok jadi makin cinta neh…(isi hati seorang suami)


sedang asyik-asyiknya mengenang masa-masa indah bersama istri, sang suami yang juga ayah ini mendapat kiriman email dari seorang ustadz di kota-nya. Sebuah email yang berisi tentang hubungan suami istri yang begitu menjadi cobaan bagi keduanya, moga kita Allah jadikan pasangan suami istri yang sakinah ma waddad dan war rahmah.

Berikut kisahnya :

Perkawinan itu telah berjalan empat (4) tahun, namun pasangan suami istri itu belum dikaruniai seorang anak. Dan mulailah kanan kiri berbisik-bisik: “kok belum punya anak juga ya, masalahnya di siapa ya? Suaminya atau istrinya ya?”. Dari berbisik-bisik, akhirnya menjadi berisik.

Tanpa sepengetahuan siapa pun, suami istri itu pergi ke salah seorang dokter untuk konsultasi, dan melakukan pemeriksaaan. Hasil lab mengatakan bahwa sang istri adalah seorang wanita yang mandul, sementara sang suami tidak ada masalah apa pun dan tidak ada harapan bagi sang istri untuk sembuh dalam arti tidak peluang baginya untuk hamil dan mempunyai anak.

Melihat hasil seperti itu, sang suami mengucapkan: inna lillahi wa inna ilaihi raji’un, lalu menyambungnya dengan ucapan: Alhamdulillah.

Sang suami seorang diri memasuki ruang dokter dengan membawa hasil lab dan sama sekali tidak memberitahu istrinya dan membiarkan sang istri menunggu di ruang tunggu perempuan yang terpisah dari kaum laki-laki.

Sang suami berkata kepada sang dokter: “Saya akan panggil istri saya untuk masuk ruangan, akan tetapi, tolong, nanti anda jelaskan kepada istri saya bahwa masalahnya ada di saya, sementara dia tidak ada masalah apa-apa.

Kontan saja sang dokter menolak dan terheran-heran. Akan tetapi sang suami terus memaksa sang dokter, akhirnya sang dokter setuju untuk mengatakan kepada sang istri bahwa masalah tidak datangnya keturunan ada pada sang suami dan bukan ada pada sang istri.

Sang suami memanggil sang istri yang telah lama menunggunya, dan tampak pada wajahnya kesedihan dan kemuraman. Lalu bersama sang istri ia memasuki ruang dokter. Maka sang dokter membuka amplop hasil lab, lalu membaca dan mentelaahnya, dan kemudian ia berkata: “… Oooh, kamu –wahai fulan- yang mandul, sementara istrimu tidak ada masalah, dan tidak ada harapan bagimu untuk sembuh.

Mendengar pengumuman sang dokter, sang suami berkata: inna lillahi wa inna ilaihi raji’un, dan terlihat pada raut wajahnya wajah seseorang yang menyerah kepada qadha dan qadar Allah SWT.

Lalu pasangan suami istri itu pulang ke rumahnya, dan secara perlahan namun pasti, tersebarlah berita tentang rahasia tersebut ke para tetangga, kerabat dan sanak saudara.

Lima (5) tahun berlalu dari peristiwa tersebut dan sepasang suami istri bersabar, sampai akhirnya datanglah detik-detik yang sangat menegangkan, di mana sang istri berkata kepada suaminya: “Wahai fulan, saya telah bersabar selama

Sembilan (9) tahun, saya tahan-tahan untuk bersabar dan tidak meminta cerai darimu, dan selama ini semua orang berkata:” betapa baik dan shalihah-nya sang istri itu yang terus setia mendampingi suaminya selama Sembilan tahun, padahal dia tahu kalau dari suaminya, ia tidak akan memperoleh keturunan”. Namun, sekarang rasanya saya sudah tidak bisa bersabar lagi, saya ingin agar engkau segera menceraikan saya, agar saya bisa menikah dengan lelaki lain dan mempunyai keturunan darinya, sehingga saya bisa melihat anak-anakku, menimangnya dan mengasuhnya.

Mendengar emosi sang istri yang memuncak, sang suami berkata: “istriku, ini cobaan dari Allah SWT, kita mesti bersabar, kita mesti …, mesti … dan mesti …”. Singkatnya, bagi sang istri, suaminya malah berceramah di hadapannya.

Akhirnya sang istri berkata: “OK, saya akan tahan kesabaranku satu tahun lagi, ingat, hanya satu tahun, tidak lebih”. Sang suami setuju, dan dalam dirinya, dipenuhi harapan besar, semoga Allah SWT memberi jalan keluar yang terbaik bagi keduanya.

Beberapa hari kemudian, tiba-tiba sang istri jatuh sakit, dan hasil lab mengatakan bahwa sang istri mengalami gagal ginjal. Mendengar keterangan tersebut, jatuhnya psikologis sang istri, dan mulailah memuncak emosinya. Ia berkata kepada suaminya: “Semua ini gara-gara kamu, selama ini aku menahan kesabaranku, dan jadilah sekarang aku seperti ini, kenapa selama ini kamu tidak segera menceraikan saya, saya kan ingin punya anak, saya ingin memomong dan menimang bayi, saya kan … saya kan …”. Sang istri pun bad rest di rumah sakit.

Di saat yang genting itu, tiba-tiba suaminya berkata: “Maaf, saya ada tugas keluar negeri, dan saya berharap semoga engkau baik-baik saja”. “Haah, pergi?”. Kata sang istri. “Ya, saya akan pergi karena tugas dan sekalian mencari donatur ginjal, semoga dapat”. Kata sang suami.

Sehari sebelum operasi, datanglah sang donatur ke tempat pembaringan sang istri. Maka disepakatilah bahwa besok akan dilakukan operasi pemasangan ginjal dari sang donatur.

Saat itu sang istri teringat suaminya yang pergi, ia berkata dalam dirinya: “Suami apa an dia itu, istrinya operasi, eh dia malah pergi meninggalkan diriku terkapar dalam ruang bedah operasi”.

Operasi berhasil dengan sangat baik. Setelah satu pekan, suaminya datang, dan tampaklah pada wajahnya tanda-tanda orang yang kelelahan.

Ketahuilah bahwa sang donatur itu tidak ada lain orang melainkan sang suami itu sendiri. Ya, suaminya telah menghibahkan satu ginjalnya untuk istrinya, tanpa sepengetahuan sang istri, tetangga dan siapa pun selain dokter yang dipesannya agar menutup rapat rahasia tersebut.

Dan subhanallah …

Setelah Sembilan (9) bulan dari operasi itu, sang istri melahirkan anak. Maka bergembiralah suami istri tersebut, keluarga besar dan para tetangga.

Suasana rumah tangga kembali normal, dan sang suami telah menyelesaikan studi S2 dan S3-nya di sebuah fakultas syari’ah dan telah bekerja sebagai seorang panitera di sebuah pengadilan di Jeddah. Ia pun telah menyelesaikan hafalan Al-Qur’an dan mendapatkan sanad dengan riwayat Hafs, dari ‘Ashim.

Pada suatu hari, sang suami ada tugas dinas jauh, dan ia lupa menyimpan buku hariannya dari atas meja, buku harian yang selama ini ia sembunyikan. Dan tanpa sengaja, sang istri mendapatkan buku harian tersebut, membuka-bukanya dan membacanya.

Hampir saja ia terjatuh pingsan saat menemukan rahasia tentang diri dan rumah tangganya. Ia menangis meraung-raung. Setelah agak reda, ia menelpon suaminya, dan menangis sejadi-jadinya, ia berkali-kali mengulang permohonan maaf dari suaminya. Sang suami hanya dapat membalas suara telpon istrinya dengan menangis pula.

Dan setelah peristiwa tersebut, selama tiga bulanan, sang istri tidak berani menatap wajah suaminya. Jika ada keperluan, ia berbicara dengan menundukkan mukanya, tidak ada kekuatan untuk memandangnya sama sekali.

(Diterjemahkan dari kisah yang dituturkan oleh teman tokoh cerita ini, yang kemudian ia tulis dalam email dan disebarkan kepada kawan-kawannya)