Digital Clock with Islamic Ornament

Rabu, 04 Mei 2011

KEPUASAN ADA DI RASA SYUKUR

Dua hal apabila dimiliki oleh seseorang dia dicatat oleh Allah sebagai orang yang bersyukur dan sabar. Dalam urusan agama (ilmu dan ibadah) dia melihat kepada yang lebih tinggi lalu meniru dan mencontohnya. Dalam urusan dunia dia melihat kepada yang lebih bawah, lalu bersyukur kepada Allah bahwa dia masih diberi kelebihan. (HR. Tirmidzi)

Siang itu, Jakarta begitu cerah, secerah wajah kami yang baru saja gajian. Temanku tiba-tiba nelpon. “Makan siang yuk”, ajaknya. “Oke”, jawabku. So she picked me up at the lobby of Jakarta Stock Exchange Building.

Selepas SCBD, kami masih belum ada ide mau makan dimana. Ide ke soto Pak Sadi segera terpatahkan begitu melihat bahwa yang parkir sudah sampai sebrang-sebrang, motor dan mobil antri menunggu “boss”nya yang sedang makan.

Akhirnya kami memutuskan makan gado-gado di Kertanegara. Bisa makan di mobil soalnya sampai di sana masih sepi. Baru ada beberapa mobil. Kami masih bisa memilih parkir yang enak. Mungkin karena setelah pada jumatan. Begitu parkir, seperti biasa, calo-calo warung gado-gado sudah menanyakan mau makan apa, minum apa.

Kami pesan dua porsi gado-gado + minuman manis dalam botol (maaf gak mau sebut merek, ntar disangka iklan). Sambil menunggu pesanan, kami-pun ngobrol. So, sedang asyik-asyiknya ngobrol, tiba-tiba kami dikagetkan dengak kehadiran seorang pemuda lusuh nongol di jendela mobil kami, yang membuat kami agak kaget.

“Semir om?” tanyanya, sambil memberikan senyum terbaiknya.

Aku lirik sepatuku. Ugh, kapan ya terakhir aku nyemir sepatuku sendiri? Aku sendiri lupa. Saking lamanya. Maklum, aku kan karyawan sok sibuk…Tanpa sadar tangan ku membuka sepatu dan memberikannya pada dia.

Dia menerimanya lalu membawanya ke emperan sebuah rumah. Tempat yang terlihat dari tempat kami parkir. Tempat yang cukup teduh. Mungkin supaya nyemirnya nyaman.

Pesanan kami pun datang. Kami makan sambil ngobrol. Sambil memperhatikan pemuda tadi nyemir sepatu ku. Pembicaraan pun bergeser ke pemuda itu. Umurnya sekitar 20-an. Terlalu tua untuk jadi penyemir sepatu. Biasanya pemuda umur segitu kalo tidak jadi tukang parkir or jadi kernet,ya jadi pak ogah.

Perlahan kami perhatikan, pandangan mata pemuda itu tampak kosong. Absent minded. Seperti orang sedih. Seperti ada yang dipikirkan. Tangannya seperti menyemir secara otomatis. Kadang-kadang matanya melayang ke arah mobil-mobil yang hendak parkir (sudah mulai ramai).

Lalu pandangannya kembali kosong. Perbincangan kami mulai ngelantur kemana-mana. Sampai kami main tebak-tebakan tentang kira-kira umur dia berapa, pagi tadi dia mandi apa enggak, kenapa dia jadi penyemir dll. Kami masih makan saat dia selesai menyemir.

Dia menyerahkan sepatunya pada ku. Belum lagi dia kubayar, dia bergerak menjauh, menuju mobil-mobil yang parkir sesudah kami.

Mata kami lekat padanya. Kami melihatnya mendekati sebuah mobil. Menawarkan jasa. Ditolak. Nyengir. Kelihatannya dia memendam kesedihan. Pergi ke mobil satunya. Ditolak lagi. Melangkah lagi dengan gontai ke mobil lainnya. Menawarkan lagi. Ditolak lagi. Dan setiap kali dia ditolak, sepertinya kami juga merasakan penolakan itu. Ehm…kenapa ya?

Sepertinya sekarang kami jadi ikut menyelami apa yang dia rasakan pemuda tukang semir itu. Tiba-tiba kami tersadar. Konyol ah. Who said life would be fair anyway. Kenapa jadi kita yang mengharapkan bahwa semua orang harus menyemir? Hihihi…

Perbincangan pun bergeser ke topik lain. Di kejauhan aku masih bisa melihat pemuda tadi, masih menenteng kotak semirnya di satu tangan, mendapatkan penolakan dari satu mobil ke mobil lainnya. Bahkan, selain penolakan,di beberapa mobil, dia juga mendapat pandangan curiga.

Akhirnya dia kembali ke bawah pohon. Duduk di atas kotak semirnya. Tertunduk lesu…Kami pun selesai makan. Ah, iya. Penyemir tadi belum aku bayar. Kulambai dia. Kutarik 2 buah lembaran ribuan dari kantong kemejaku. Uang sisa parkir. Lalu kuberikan kepadanya. Soalnya setahu ku jasa nyemir biasanya dua ribu rupiah

Pemuda tukang semir itu menerima sambil memeriksa gulungan uang dari kami, kemudian berkata kalem “Kebanyakan om. Seribu aja”.

BOOOOM….Jawaban itu tiba-tiba serasa petir di hatiku.

It-just-does- not-compute- with-my-logic!

Bayangkan, orang seperti dia masih berani menolak uang yang bukan hak-nya.

Aku masih terbengong-bengong waktu nerima uang seribu rupiah yang dia kembalikan. Se-ri-bu Ru-pi-ah. Bisa buat apa sih sekarang? But, dia merasa cukup dibayar segitu.

Pikiranku tiba-tiba melayang. Tiba-tiba aku merasa ngeri. Betapa aku masih sedemikian kerdil. Betapa aku masih suka merasa kurang dengan gaji ku. Padahal keadaanku sudah sangat jauh lebih baik dari dia dan mungkin lebih baik dari 34,96 juta penduduk Indonesia yang masih bergelut dengan kemiskinannya.

Tuhan sudah sedemikian baik kepadaku, tapi perilaku-ku belum seberapa dibandingkan dengan pemuda itu, yang dalam kekurangannya, masih mau mengembalikan yang memang bukan haknya.

Sangat jauh dibandingkan dengan para “penjahat kerah putih” yang dengan kekuasaan dan kedudukannya “memakan” hak orang lain tanpa belas kasihan demi kepentingan dirinya sendiri.

Jadi teringat dengan ceramah sala seorang ustadz di musholla kecil sekitar rumahku, ketika sang penceramah mengingatkan sebuah ayat :

“Dan (ingatlah juga), takala Rabbmu memaklumkan: Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”. (QS. Ibrahim : ayat 7)

Dan akhirnya, sambil memandang pemuda tukang semir itu, yang perlahan hilang dari pandangan, karena kami harus back to office , hati saya berdo’a semoga Allah jadikan saya orang yang BERIMAN dan BERSYUKUR.

“Sungguh mengagumkan urusan (sikap) orang beriman, karena segala urusannya baginya adalah kebaikan. Dan itu tidak terjadi selain pada orang beriman. Jika ia menerima kebahagiaan ia bersyukur, maka itu jadi kebaikan baginya. Dan jika ia menerima musibah ia bersabar, maka itu jadi kebaikan baginya.” (Riwayat Muslim)

Siang ini aku merasa mendapat pelajaran berharga.
Siang ini aku seperti diingatkan.
Bahwa kejujuran itu langka.
Bahwa kebahagiaan dunia dan (insya Allah akhirat) itu adanya di rasa syukur.


Sumber :

kiriman seorang sahabat via email

Tidak ada komentar:

Posting Komentar