Digital Clock with Islamic Ornament

Rabu, 27 April 2011

cerita makan siang

Nyambung pembahasan tentang perbincangan alutsista, saya jadi mau iktu nimbrung nich. Kebetulan tadi pas break konsiyering riset RSN-DRPM UI, saya dan salah seorang rekan satu tim riset ngobrol-ngobrol tentang teknologi pesawat. Kebetulan rekan saya ini adalah salah satu founder sekaligus investor PT. Aviator Teknologi Indonesia, sebuah perusahaan produsen UAV (Unmanned Aerial Vehicle) yang cukup produktif di Indonesia.

Ceritanya waktu tahun 2006, dia pernah ikut konferensi UAF internasional di Singapore. Di sela-sela acara, para peserta yang sebagian besar adalah peneliti dan pebisnis UAV ini saling sharing dan bertukar cerita. Lazimnya orang Asia, maka teman saya ini pun ikut nimbrung pula dengan saudara-saudaranya serumpun.

Ditengah pembicaraan bertanyalah temannya dari Singapore, “Anda dari mana? Oh saya dari Indonesia”. Salah seorang peserta dari Malaysia bertanya “memang di Indonesia ada (teknologi UAV)?”. Saat itu 100% dia yakin kalau pertanyaan itu dibumbui rasa ketidakpercayaan (underestimate) kalau Indonesia bisa mengembangankan teknologi UAV. Lalu dengan santun ia menjawab, “jumlah pastinya saya kurang tahu tapi saya mewakili perusahaan saya” (at lease ada satu-lah di Indonesia). Lalu dia pun bertanya balik, “Kalau anda sendiri sudah sejauh apa perkembangannya?”. Lalu si orang Singapore dengan banggga mengatakan “perusahaan kita sudah menyelesaikan blue print, selanjutnya kita akan membuat UAV dalam waktu dekat”. Si orang Malaysia pun tidak ketinggalan “kami masih membahas, tahun ini direncanakan akan selesai blue print-nya dan sesegera mungkin akan kita buat”. Kemudian orang Singapore pun kembali bertanya, “bagaimana dengan anda?”. Dengan tersenyum ia menjawab “Pesawat UAV kami sudah terbang 100 jam”…. Krik..krik..krik:D tersenyum lebar

Singkat cerita pasca konferensi dia langsung di “dekati” oleh si orang Malaysia dan Singapore tersebut pada waktu dan tempat yang berbeda namun dengan pertanyaan yang sama. “maukah anda bergabung dengan perusahaan kami?”….. hadeeehh ~.~

Nah, Nyambung soal diatas, berikut saya lampirin tulisan menarik dari seorang blogger http://ineztianty.multiply.com/, tentang PT. Aviator.

UAV atau Unmanned Aerial Vehicle di Indonesia mulai dkaji dan dikembangkan sekitar 1990-an. Banyak pihak saat ini mengembangkannya, baik perusahaan swasta, bumn, maupun lembaga pemerintah seperti BPPT, Balitbang Dephan, dan Litbang2 ditingkat Angkatan. Penamaannya juga berbeda-beda. Dephan menyebutnya Pesawat Terbang Tanpa Awak (PTTA), BPPT menyebutnya PUNA (Pesawat Udara Nir Awak).

Salah satu perusahaan swasta yang mengembangkan UAV ini adalah PT. Aviator yang berdiri sejak tahun 2005. Dengan inisiatif sendiri (bukan karena project dari pemerintah) mereka mengembangkan UAV yang diberi nama Smart Eagle series, Smart Eagle 1 dan 2. Smart Eagle 2 payloadnya 25 kg, bentang sayap 4.8 m. Smart Eagle 1 lebih kecil, scale down 50%, untuk training.

Sementara BPPT mengembangkan PUNA yang diberi nama Wulung. Mereka sudah mengembangkan sejak tahun 2000 dengan berganti-ganti partner, dengan PT. DI dan bebeapa universitas, namun tingkat keberhasilannya rendah. Tahun 2006 BPPT bertemu dengan PT. Aviator dan menjalin kerjasama untuk pengembangan PUNA Wulung ini. Dan ternyata setelah bekerjasama dengan PT. Aviator keberhasilannya jauh melonjak. Sekarang prototype UAV nya sudah plus avionik systemnnya, controlnya, ground control systemnya, jadi sudah complete systemnya. Sebelum-sebelumnya belum pernah sampai sana, terbangnya juga masih susah.

Perjalanan kerjasama ini lengkapnya begini :

2006 : airframe, avionic : censor placement , telemetri
Hasilnya: 1 konfigurasi pesawat
Tingkat keberhasilan dalam flight test : 98%

2007 : autopilot system, surveillance system
Hasil : 2 konfigurasi baru
Tingkat keberhasilan dalam flight test : 98%

Planning in 2008 :
Technology : thermal imaging
Fligh test : kemampuan menyelesaikan 1 misi
Target : 2010 Puna ini sudah benar-benar matang teknologinya.

Total dana untuk pengembangan dalam 2 tahun sebesar Rp. 9 Milliar

Sebagai perbandingan :
Malaysia mengembangkan UAV dengan ukuran yang sedikit lebih besar, dengan dana Rp. 16 Milliar hanya untuk pembuatan 1 airframe tanpa avionic system, manual dalam waktu 1 tahun.
Menurut PT. Aviator mereka bisa lakukan itu dalam 2 bulan.

Dalam hal harga, berikut perbandingannya :
PT. Aviator : US$ 3 juta (4 airframe full system+1 airframe only)
USA : US$ 10 juta (4 airframe full system)
Israel : US$ 6 million (1 airframe full system)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar