Digital Clock with Islamic Ornament

Sabtu, 31 Juli 2010

Fleksibilisasi Hubungan Kerja: Tantangan Kaum Buruh di Era Global


Sebuah review dari Artikel Ronald Munck yang berjudul “Labour In The Global: Challenges and Prospects.”


Tidak ada ada satupun di dunia ini yang mampu mencegah laju perkembangan dunia. Realitas ini layaknya sebuah roda kehidupan yang tidak mungkin terelakan bagi segenap umat manusia yang hidup di muka bumi. Perkembangan dunia yang seringkali dipersonifikasikan pada zaman ini sebagai globalisasi pada kenyataannya menyimpan dinamikanya sendiri bagi kehidupan sosial manusia. Betapa tidak, sebab manusia sebagai zoon politicon harus membangun relasi diantara sesamanya dalam kehidupan. Begitu pun dalam relasi hubungan kepentingan antara mereka yang berkelompok sebagai pemodal (korporasi), Negara (birokrasi) dan para pekerja (buruh) dalam konteks hubungan industrial. Sejarah mencatat relasi yang terbentuk ini telah mengisahkan perjalanan panjang dinamika hubungan antar mereka yang salalu menghiasi ruang-ruang sosial disetiap sudut zaman.

Pembahasan yang di paparkan oleh Ronaldo Munck dalam artikelnya ini adalah suatu bentuk wacana yang perlu diperhatikan dalam wacana politik kaum buruh di era globalisasi yang semakin menghegemoni. Menurutnya salah satu dampak dari laju pertumbuhan dinamika globalisasi telah membawa persoalan baru sekaligus tantangan tersendiri bagi kaum buruh dalam relasinya dengan para pemilik modal dan Negara sebagai pengatur regulasi dalam tatanan kehidupan sosial masyarakat.

Ronaldo Munck yang juga melakukan studi tentang tipe-tipe fleksibilitas hubungan industrial di negara-negara OECD (Organization of Economic Cooperation and Development) menyebutkan bahwa fleksibilitas telah menjadi mode baru di negara-negara maju sebagai dampak dari tuntutan globalisasi. Tuntutan akan fleksibilitas itu sekurang-kurangnya dipengaruhi oleh sebagai berikut: pertama, faktor ketidakpastian industri secara eksternal yakni meningkatnya iklim kompetisi, risiko finansial dan ketidakpastian permintaan produk. Kedua, kecenderungan dan menguatnya aturan pasar yang menentukan industri. Ketiga, kecenderungan untuk memperkecil dan melenturkan bentuk dan strategi perusahaan. Menurutnya terdapat tipe-tipe fleksibilitas tersbut yakni Fleksibilitas proses dan organisasi produksi, Fleksibilitas sistem pengupahan, Fleksibilitas dalam labour costs, Fleksibilitas tenaga kerja dari sisi supply, Fleksibilitas fungsional, dan Fleksibilitas struktur pekerjaan.

Perubahan pola fleksibilitas ini jelas menuntut sikap yang tegas dari para serikat buruh.. Dalam catatan Munck, dalam konferensi International Conference of Free Trade Union (ICFTU) tahun 1999-2000 menyatakan demikian: ke depan gerakan buruh akan menghadapi persoalan-persoalan: pertama, perubahan pola hubungan industrial yang berpengaruh pada menurunnya keanggotaan serikat buruh oleh karena berkurangnya kelas buruh padat karya. Kedua, perubahan akan hubungan buruh-majikan yang semakin meninggalkan kompromi-kompromi sosial dan jaminan hak-hak buruh oleh modal. Ketiga, status publik serikat buruh yang semakin terbatas karena berkurangnya campur tangan negara atas perlindungan buruh. Keempat, ketidakpastian kondisi ekonomi yang dikuasai oleh cepatnya gerak modal finansial. Kelima, hubungan industrial yang semakin ditentukan oleh regulasi pasar.

Kondisi ini pada akhirnya membawa wacana strategi baru dikalangan kaum buruh sedunia. Sebab pola perubahan ini sangat menetukan nasib kesejahteraan para buruh. Situasi seperti ini akhirnya mengingatkan kembali pada perkiraan-perkiraan yang pernah diwacanakan oleh Karl Marx dan Frederick Engels dalam karya mereka yang sangat monumental, Manifesto Komunis. Buku kecil ini berisikan wawasan sekaligus pengetahuan akan prinsip-prinsip bersama para kaum proletar sebagai bentuk sikap mereka menghadapi kekuatan modal (kaum borjuis kala itu). Buku ini memaparkan penjelasan tentang bagaimana sistem kapitalisme mutakhir bangkit dari masyarakat feudal, lalu meletuskan krisis revolusioner dalam masyarakat dimana kelas-kelas baru bertempur dengan kelas lama. Tetapi ia juga menjelaskan bagaimana pertumbuhan kapitalisme pada akhirnya juga melahirkan kaum yang akan membawa penumbangannya, yakni kelas pekerja. Karena kapitalisme memusatkan kaum pekerja di tempat-tempat bekerja besar, maka ia memberikan mereka potensi untuk berjuang secara kolektif (berserikat) demi kepentingan mereka. Ini tidak bermakna bahawa kelas pekerja berjuang menentang kapitalisme dalam cara revolusioner pada setiap waktu. Meskipun itu, dinamika kapitalisme telah mejadikan kaum buruh memiliki kesadaran kelas, lalu menciptakan kemungkinan bagi perubahan revolusioner.

Dampak globalisasi didalam pertumbuhannya memang dipengaruhi oleh kaum pemilik modal secara signifikan. Maka tidak heran bila gejala globalisasi juga merupakan suatu bentuk rekasaya social yang dimanipulasi dan dimanfaatkan kaum ‘borjuasi’ untuk mengakumulasikan modalnya. Hal ini jelas mendatangkan keuntungan bagi mereka sekaligus memberikan ruang marginal pada kelas pekerja. Akan tetapi sebagaimana yang digagas dalam manifesto komunis, kembali terlihat realitas dimana pada akhirnya rekayasa korporasi juga mengundang respon perlawanan daripada serikat buruh. Gerakan serikat buruh dalam berbagai level tingkatan khususnya ditingkat internasional mejadi titik fundamental keberlangsungan perjuangan hak-hak buruh. Dalam menyikapi strategi kedepan khususnya dalam menyelesaikan persoalan fleksibilitas hubungan kerja maka setidaknya terdapat dua hal yang bisa dijadikan isu dalam perjuangan kaum buruh. Pertama, memasukkan standar perburuhan dalam kesepakatan perdagangan dan investasi. Hal ini penting dalam menjaga hak-hak privasi buruh agar tetap terakomodasi dalam setiap hubungan industrial. Lalu yang kedua adalah menyeimbangkan kekuatan. Menurut Stiglitz (2000, 2002) efek negatif globalisasi pada buruh berakar pada tidak seimbangnya kekuatan (power imbalance) antara kerja dan modal. Kelas pekerja seringkali menjadi pihak yang terkena dampak dari kesepakatan-kesepakatan perdagangan internasional, tidak hanya suara mereka tidak didengar tapi juga mereka tidak diberi tempat di lingkaran meja perundingan. Hal ini dimungkinkan karena kekuatan kelas pekerja sangat terfragmentasi baik di tingkat nasional, regional maupun global. Maka sesungguhnya tidak banyak pilihan strategi yang tersedia selain menggalang solidaritas global untuk menjadi kekuatan penyeimbang internasional terhadap kepentingan modal (Yates, 1998).

Referensi

International Forum on Globalization. 2003. Globalisasi Kemiskinan dan Ketimpangan. Terjemahan. Yogyakarta: CPRC.

International Labour Organization. 1995. World Employment 1995. Geneva: ILO.

Marx, Karl & F. Engels. 1948. Manifesto of the Communist Party (edisi terjemahan oleh D. N. Aidit, M. H. Lukman, A. Havil, P. Pardede dan Nyoto, 1948 ). Moskow: International Bookshop Pty. Ltd

Stiglitz, Joseph. 2000. Democratic Development as the Fruits of Labor. Keynote Address. Industrial Relations Research Association. January 25.

Sirait. G. Martin. 2003. “Subsidi dan Pemiskinan Global “dalam harian Kompas. 16 Oktober. (http://www.kompas.com/kompascetak/0310/16/opini/628687.htm)

Widianto, Bambang. 2004. Fleksibilitas Kebijakan Ketenagakerjaan. Makalah. Dipresentasikan pada Seminar “Implikasi Fleksibilitas Pasar Tenaga Kerja Terhadap Prospek Dunia Kerja di Kawasan Asia.” Unika Atma Jaya Jakarta. 9 Maret 2004.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar