Digital Clock with Islamic Ornament

Kamis, 30 September 2010

Di Tengah Gaung yang Kian Pudar...

Oleh: Indira Permansari


Masih ingat Snouck Hurgronje? Snouck (1857-1936) adalah ilmuwan
berkebangsaan Belanda yang menawarkan diri untuk memberikan gambaran
lengkap tentang Aceh. Pada 1889, Snouck tiba di Pulau Jawa dan sejak
itu ia meneliti pranata Islam di masyarakat pribumi Hindia Belanda,
khususnya Aceh. Dia mempelajari politik kolonial untuk memenangi
pertempuran Belanda di Aceh.

Sosok Snouck kontroversial. Bagi Belanda dan kaum orientalis, boleh
jadi dia dianggap sebagai peneliti yang sukses. Namun, bagi rakyat
Aceh, Snouck adalah sosok pengkhianat sejati yang telah memanipulasi
mereka.

Kisah Snouck adalah penggalan dari perkembangan antropologi di masa
lalu. Saat Eropa mulai membangun koloni di benua lain, termasuk Asia,
mereka mendapat berbagai tantangan dari warga asli; pemberontakan
sampai iklim yang kurang cocok.

Dalam menghadapi permasalahan itu, pemerintah kolonial berusaha
mencari kelemahan suku-suku asli dan menaklukkannya. Mereka mencari
bahan-bahan etnografi tentang suku bangsa di luar Eropa, mempelajari
kebudayaan serta kebiasaan warga koloninya itu untuk kepentingan
kolonisasi. Cerita tentang Snouck dapat dikatakan bagian dari tahapan
itu.

Pascakemerdekaan, antropologi menjadi kajian para intelektual di
negeri sendiri dengan didirikannya Jurusan Antropologi Universitas
Indonesia, setengah abad lampau. Tepatnya, di akhir September 1957,
kajian antropologi hadir sebagai jurusan di lingkungan Fakultas
Sastra UI, diprakarsai Profesor Koentjaraningrat. Dia pula yang
mendorong berdirinya jurusan antropologi di berbagai universitas
negeri lainnya di Indonesia.

"Dalam perkembangannya, antropologi ternyata lebih dekat dengan ilmu-
ilmu sosial ketimbang ilmu humaniora sehingga (tahun 1983)
antropologi di UI berpindah dari fakultas sastra ke fakultas ilmu
sosial dan ilmu politik (FISIP)," kata Jasmine Zaky Shahab, Ketua
Departemen Antropologi, FISIP-UI.

Bedanya dengan masa kolonial, di era pascakemerdekaan antropologi
lebih dimaksudkan menjadi semacam alat bagi kita untuk belajar
melihat dan mengenal diri sendiri. Bukankah antropologi pada intinya
adalah ilmu yang mempelajari manusia, baik fisik maupun budayanya?

Oleh karena itu, kata antropolog Achmad Fedyani Saifuddin, ada bidang
ilmu yang mempelajari tentang antropologi fisik atau jasmani dan ada
antropologi sosial budaya. "Yang disebut terakhir berkembang dengan
baik di Indonesia. Budaya juga dalam artian luas; mulai dari adat
istiadat, tradisi, nilai, cara pandang hidup, cara pandang terhadap
lingkungan, hingga cara memandang dunia," ujarnya.

Bagi Fedyani, masalah mengenal diri sendiri bukan perkara mudah.
Perlu upaya lebih berat dan keras bagi Indonesia dibandingkan bangsa-
bangsa lain, mengingat Indonesia berpenduduk sangat besar dan majemuk
sehingga rentan disintegrasi.

Dan itu merupakan bagian dari pergulatan para antropolog. Terutama
untuk menghadapi tantangan yang kian berat dengan adanya permasalahan
seperti kemiskinan, korupsi, konflik kepentingan, kesenjangan sosial
ekonomi, ketidakpastian pelaksanaan hukum, dan jurang generasi. Belum
lagi fenomena global seperti liberalisasi ekonomi, memudarnya
ideologi serta meningkatnya komunikasi lintas-batas negara serta budaya.

Pudar

Akan tetapi, memasuki usia 50 tahun, gaung dari kajian antropologi
seakan memudar. Hanya sedikit terdengar nama besar di bidang ini,
terutama sepeninggal pakar antropologi Koentjaraningrat. Di tengah
berbagai tantangan dan isu pembangunan, misalnya, peran para ahli
antropologi juga seakan tenggelam.

Bagi Jasmine, eksistensi ilmuwan antropologi di Indonesia tetap ada.
Hanya saja, saat ini tidak terpusat pada satu tokoh seperti di era
Koentjaraningrat. "Saat itu antropologi masih terbilang baru dengan
sedikit orang yang menguasai ilmu itu. Sekarang sudah jauh lebih
banyak dan terspesifikasi," ujarnya.

Lain lagi pendapat James Danandjaja, pakar antropologi yang menekuni
folklore. Ketidakmunculan lagi nama-nama besar, antara lain,
dikarenakan para akademisi di bidang antropologi malas menulis
sehingga tidak terukir dalam peta ingatan masyarakat pembaca.
"Menulis merupakan monumen diri sendiri. Harus ada yang dihasilkan,
baik tulisan, video, atau dokumentasi apa pun," ujarnya.

Selain itu, menurut James, dahulu ahli antropologi lebih dilibatkan
dalam program pembangunan. Koentjaraningrat, misalnya, masuk ke dalam
struktur pemerintahan. Walaupun diakuinya, terpakainya kajian- kajian
antropologi dalam program pembangunan masih dapat diperdebatkan.
"Sekarang malah jauh berkurang. Padahal, departemen-departemen
tertentu, seperti Departemen Sosial, dapat menggunakan manfaat dari
antropologi," ujarnya.

Bagi Iwan Tjitradjaja, Ketua Program Studi Pascasarjana Antropologi
UI, "kekalahan" antropologi dari sektor lain antara lain karena
eksekutif pembangunan cenderung memandang pembangunan sebatas
pembangunan ekonomi. Padahal, secara retorika, sejak dua dekade lalu
telah ditekankan pembangunan mementingkan sosial dan budaya.
Praktiknya, secara teknis ekonomi tetap dikedepankan.

"Dalam perencanaan sebetulnya para ahli antropologi telah dilibatkan,
misalnya dalam feasibility studies. Sayangnya, banyak hasil studi
yang tidak dimanfaatkan. Terkadang, para antropolog telah dilibatkan,
namun saran-saran itu rawan masuk laci meja jika tidak sesuai dengan
kepentingan," kata Iwan.

Dia mencontohkan pentingnya arti kajian antropologi dalam persoalan
kehutanan, penebangan liar, dan okupasi lahan yang telah terjadi luar
biasa. Mulai tahun 1980-an, laju kerusakan hutan sekitar dua juta
hektar dan secara teknis deforestasi kurang berhasil. Muncul konflik
antara pemerintah, pengusaha, dan masyarakat hutan. Konflik lalu
mulai meletupkan kekerasan.

Ketidakberhasilan itu bukan semata masalah teknis, melainkan soal
sosial budaya. Untuk memahami mengapa terjadi kerusakan hutan, kata
Iwan, perlu dipahami dalam konteks dan dimensi budaya.

"Dengan memahami kebudayaan, potensi, kebiasaan masyarakat, semua
pihak bisa duduk bersama dan menyelesaikan permasalahan. Terdapat
apresiasi terhadap keberagaman. Warga desa umumnya tidak
berpendidikan formal tinggi dan kerap dianggap bodoh oleh pengusaha
atau pemerintah. Di sisi lain, warga desa tidak mengerti gaya dan
penampilan hidup yang ditampilkan oleh aparat dan pengusaha yang
terdidik dan orang perkotaan. Orang luar, bagi warga hutan, kerap
dianggap sebagai penyebab terbatasnya akses mereka terhadap sumber
daya alam. Apalagi gaya materialistis yang ditampilkan orang luar.
Pengaruh itu menular dan menguat menjadi kecemburuan. Ini menimbulkan
potensi konflik sosial," ujarnya.

Di negara seperti Indonesia, persoalan yang muncul dari keberagaman
suku bangsa, kelas ekonomi, dan kelas sosial menjadi rawan. Apalagi
diwarnai ketimpangan penguasaan aset ekonomi. Antropologi yang
mencermati kejadian di lapangan dan mendapatkan informasi langsung
dari masyarakat sangat dibutuhkan untuk menjalankan pembangunan yang
berawal dari bawah dan tidak elitis.

Manusia dikesampingkan

Senyapnya gaung antropologi dalam pembangunan, menurut Achmad
Fedyani, tak lepas dari kenyataan betapa selama ini pembangunan kerap
mengesampingkan manusia dan budayanya. Seharusnya manusia ditempatkan
sebagai subyek, mengingat arah pembangunan yang baik ialah untuk
kesejahteraan rakyatnya: manusia!

"Antropologi memang mempelajari suatu komunitas secara mendalam dan
dari dekat. Akan tetapi, ia mempunyai kemampuan reflektif. Ibarat
cahaya lampu yang ditutupi kertas berlubang- lubang, sebagian cahaya
akan menembus lubang dan terpantul di sana-sini. Begitu juga dengan
antropologi, suatu kasus yang dipelajari di suatu tempat dapat
terjadi di tempat lain dan menjadi pembelajaran. Walaupun, tentu
saja, solusinya tetap harus disesuaikan dengan aspirasi masyarakat
dan tidak seragam," ujarnya.

Lebih miris lagi, kebudayaan kerap kali didangkalkan menjadi sekadar
adat istiadat dan kesenian. Padahal, budaya secara lebih luas ialah
cara berpikir, pengetahuan, pandangan hidup, dan nilai-nilai.

Jika para pengguna penelitian antropologi menggunakannya dengan
tepat, antropologi akan sangat besar memberikan pengaruh. Saat ini
Fedyani, misalnya, dilibatkan dalam Lembaga Demografi UI yang
mempunyai ide untuk memasukkan aspek sosial budaya ke dalam dunia
kesehatan. Bentuknya, berupa program non-gelar sosial budaya untuk
seluruh fakultas kedokteran di Indonesia. Antropologi dijadikan satu
mata kuliah.

"Jangan salah, dokter juga harus mempunyai kompetensi sosial budaya.
Begitu mereka bertugas di lapangan akan muncul beragam tantangan.
Pemahaman sosial budaya akan sangat baik untuk mengatasi persoalan-
persoalan itu. Dokter berhadapan dengan manusia dengan segala latar
belakang budayanya. Kasarnya, kalau mereka menyuntik, itu bukan
sekadar menyuntik benda fisik dan yang disuntik lalu sembuh," katanya.

Di usia yang setengah abad, semoga saja kajian antropologi di
Indonesia semakin dihargai. Tentu saja agar hidup kita bersama
sebagai bangsa tidak diwarnai kesalahkaprahan....


Sumber: KOMPAS, 25 September 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar