Digital Clock with Islamic Ornament

Kamis, 30 September 2010

Yang Asyik-asyik dari "Antropologi Klasik"

Oleh: Mulyawan Karim dan Rudy Badil


Saat berlangsung Ekspedisi Tanah Papua, Agustus lalu, belasan
wartawan Kompas menyebar di segala pelosok tanah Papua. Tentu saja
dengan niatan meliput soal masyarakat dan kebudayaan Papua, di masa
ramai-ramainya demo dan bertebarannya layanan pesan singkat atau SMS
penuh muatan teror berita ribut-ribut soal otonomi khusus, pemekaran
daerah, hubungan kurang seru antara Merah Putih dan "bintang kejora",
malah pakai tebaran bumbu isu "seperatisme" segala.

Anggota Ekspedisi Tanah Papua (ETP) yang bertugas mencari berita dan
kisah kejadian di lapangan tentu saja senang-senang tak tenang
membaca catatan ancaman SMS yang seru-seram, atau sering tertawa
mendengar mop atau cerita lucu-lucuan khas Papua, semisal mop saat
gencar-gencarnya kampanye aman dari HIV/AIDS dengan kondom: "Kau mau
aman, jangan pakai tentara jangan pakai polisi. Pakai... kondom!"

Namun, yang kepikiran justru bukan SMS atau mop itu. Sebab, dari
catatan yang terbawa, tercatat nama-nama yang kebanyakan bergelar
sarjana antropologi, juga sarjana ilmu lainnya, termasuk pakar
otodidak di Papua.

Pertemuan dan diskusi terjalin rapi jali, informasi pun masuk dengan
tulus dan mulus. Hingga rekan yang di Lembah Balim tahu duduk soal
"busana", berupa cangkang labu kering penutup aurat pria itu namanya
holim, atau koteka di Paniai, huni di Mapi, kobewak di kawasan
Tolikara, atau anyum di Pegunungan Bintang. Juga rumah bundar orang
Dani, namanya dalam tulisan antara honae, honei, honay, dan bukan
"honey" yang dikira turis bule artinya madu atau sayang.

Untungnya kebanyakan sarjana antropologi atau antropolog, begitu
sebutannya, memang "Anak-anak Papua", misalnya Dr Johsz Robert
Mansoben, Dr Nafi Sangganafa, Drs Jack Morind MA, Drs Frans Apomfires
MA, Dra Mien A Rumbiak MA, Drs Freddy Sokoy MA, Drs Roriwo Karetji MM
beserta antropolog lainnya. Kebetulan sekali, mayoritas dari nama itu
memang antropolog "cangkokan" dari Universitas Indonesia (UI), UGM,
Unpad, dan juga luar negeri.

Akan tetapi, selain nama antropolog Papua yang "Orang Komin" dengan
kulit hitam dan rambut keriting, juga ada beberapa "Orang Amber" yang
bukan "anak Papua" karena rambut lurusnya dengan kulit sawo matang,
tetapi mengenal Papua karena tugas dan memang kelahiran Papua,
seperti Ahmad Kadir MSi, Marsum MSi, atau Dr Onny Suwardi Redjo MPH
yang "jamer" alias Jawa-Merauke. Selain itu, ada juga Nicodemus Tan
yang peranakan China-Papua serta sobat lain, termasuk rohaniwan dan
guru sekolah yang "Orang Amber", tetapi memiliki pengetahuan "ilmu
dasar" antropologi praktis karena tugas dan pergaulannya sehari-hari.

Kesadaran mencari sumber yang tahu antropologi mutlak bagi peliput
yang mau menulis jernih dan bersih soal manusia dan budaya Papua.
Bayangkan kalau sampai salah sumber, bisa- bisa dianggap menyebarkan
isu murahan sejenis SMS teror yang lagi ramai-ramainya di sana.

Disebut "ilmu sisa"

Sebelum kemerdekaan tahun 1945, antropologi memang "ilmunya" orang
Belanda. Mereka yang akan bertugas di Hindia Timur sebagai pegawai
pemerintah kolonial, tentara, atau penyiar agama diwajibkan punya
bekal pengetahuan luas soal bumi, bahasa-bahasa, dan adat istiadat
rakyat negeri jajahan itu.

Ilmu tentang Indonesia itu disebut land- en volkenkunde van
Nederlandsch-Indie alias ilmu bumi dan ilmu bangsa-bangsa Hindia
Belanda, bukan antropologi.

Satu-satunya antropolog Belanda masa itu hanya GA Wilken, guru besar
Universitas Leiden pada 1885. Dalam buku Tokoh-tokoh Antropologi
(1962), Wilken disebut Koentjaraningrat (15 Juni 1923-23 Maret 1999)
sebagai penganut aliran evolusionisme karena membuat kerangka dasar
untuk penggolongan suku bangsa di Indonesia.

Setelah zaman Wilken, penelitian tentang bumi, masyarakat, dan
kebudayaan Indonesia diambil alih pakar non-antropologi. Misalnya
penelitian bahasa dan filologi, aneka ragam masyarakat dan hukum adat
Nusantara, menghasilkan adatrechtsmonografieen atau adatrechtbundels.
Penelitian sejarah persebaran agama Islam, hukum Islam, prasejarah
Indonesia, dan lainnya, termasuk masyarakat pedesaan Indonesia, lebih
banyak dilakukan ahli pertanian. Sampai-sampai di Belanda antropologi
disebut sebagai "ilmu sisa" karena meneliti aspek masyarakat dan
kebudayaan Indonesia yang dianggap tak perlu diselidiki dan dikaji lagi.

Bersamaan dengan itu, pengumpulan data etnologi Indonesia yang giat
dilakukan akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, meski bukan dilakukan
antropolog, dapat menghasilkan karya etnogarfi yang lengkap. Misalnya
C Snouck Hurgronje yang ahli filologi Semit, tetapi terkenal sebagai
penulis buku etnografi Aceh dan Gayo yang hebat. AW Niewenhuis yang
dokter, tetapi menulis buku deskripsi lengkap dan mendalam tentang
suku-suku Dayak di Kalimantan, saatnya memimpin ekspedisi lintas
Kapuas-Mahakam dari Barat-Timur Kalimantan.

Begitu juga buku etnografi tentang adat istiadat suku Toraja Barat
dan Toraja Timur, karya AC Kruyt yang seorang guru agama, tetapi
sudah berbekal land- en volkenkunde dari Binnenlands Bestuur atau
Departemen Dalam Negeri Belanda.

Pada masa yang sama, antropolog Barat non-Belanda juga banyak
meneliti di Indonesia bagian timur. Di antaranya EM Loeb sebagai
antropolog Amerika Serikat pertama yang meneliti di Sumatera Barat,
disusul antropolog perempuan AS, seperti Cora Dubois yang meneliti di
Alor dan Margaret Mead di Bali.

Era baru kajian antropologi Indonesia muncul menjelang Perang Dunia
II. JPB de Josselin de Jong bersama antropolog Belanda lainnya
meneliti struktur sosial kuno masyarakat di Nusa Tenggara, Sulawesi,
Kalimantan, Papua, dan lainnya.

Namun, penelitian tentang keanekaragaman masyarakat dan kebudayaan
Indonesia sempat terhenti pada awal zaman kemerdekaan karena peneliti
Belanda itu hampir semua pulang ke Belanda, kecuali GJ Held yang guru
besar antropologi di UI sampai wafatnya pada 1956.

Peran antropolog Belanda berangsur diambil alih peneliti dari AS.
Sejak sekitar tahun 1955 banyak di antaranya meneliti lapangan di
Indonesia. Beberapa hasil risetnya pun menjadi buku klasik dan
legendaris, seperti Clifford Geertz (Religion of Java, 1960), Hildred
Geertz (The Javanese Family, 1961), dan AC Dewey (Peasant Marketing
in Java, 1962).

Menyebar setelah UI

Dalam masa peralihan itu pula, tepatnya tahun 1957, setelah setahun
sebelumnya Koentjaraningrat kembali membawa gelar master antropologi
dari Universitas Yale.

Waktu itu berdiri jurusan antropologi di Fakultas Sastra UI. Jurusan
baru ini membuka peluang bagi mahasiswa Indonesia melanjutkan studi
di bidang penelitian masyarakat dan kebudayaannya. Bukan lagi
meneliti kegiatan koloni penjajahan, seperti yang dilakukan ahli
land- en volkenkunde Belanda dulu.

Antropologi sebagai ilmu baru dikembangkan melalui mata kuliah dasar,
agar mahasiswanya mulai mengerti lebih jauh soal keindonesiaan dengan
ragam-ragam budayanya.

Pengetahuan yang tadinya berdasarkan kebutuhan praktis Belanda, yang
disebut practical anthropology, kini mempelajari lebih tajam lagi
soal asas kebudayaan, konsep, metode dan teori baru, juga menjadi
ilmu terapan untuk penelitian perubahan dan pergeseran kebudayaan
manusia dalam masa transisi sosial budayanya.

Ilmu yang tadinya disebut "ilmu sisa" sepertinya kini cocok disebut
sebagai salah satu "dasar"-nya ilmu-ilmu sosial, agar orang lebih
mengenal manusia lainnya secara utuh sebagai individu berikut latar
belakang sosial budayanya. Sebab, selama 50 tahun kian banyak
antropolog di banyak perguruan tinggi, sambil mengajar dan
mengembangkan antropologi di dalam ruang maupun lapangan penelitian.

Hanya yang harus dipikirkan, apa saja karya lapangan yang dapat
diterapkan untuk umum, agar mengenal lebih jauh manusia dan perilaku
sosial-budayanya.

Sebab, kalau dari buku referensi hasil penelitian empirik, terus
terang sulit bagi wartawan menemukan bahan yang cocok mau tahu ABC-
nya manusia dan kebudayaan yang didatangi, seperti yang dihadapi tim
ETP Kompas selama di Papua.

Untung rekan-rekan Universitas Cenderawasih amat bersahabat dan mau
bagi-bagi ilmunya. Harap saja masih ada rekan antropolog di USU
Medan, Unpad Bandung, UGM Yogyakarta, Udayana Denpasar, Unhas
Makassar, Unsrat Manado, Uncen Jayapura dan lainnya masih tetap mau
bagi-bagi sisi lain ilmu antropologinya, sebagai ilmu dasar yang
klasik tapi asyik.


Sumber: KOMPAS, 27 September 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar