Oleh: Iwan Meulia Pirous, MA (sebuah catatan)
Maka pada suatu sore tanggal 18 Maret berkumpullah sesuai abjad: Amalia Pulungan, Arief Hendarto, Budiman Sudjatmiko, Elok Dyah Messwati, Ikhsan Sube, Ima, Iwan Meulia Pirous, Johan Nurbarok, Matheos Messakh, Mira Pakan, Mira Siregar-Meulia untuk minum kopi dan ngobrol. Berikut ini catatan yang tidak kronologis tapi setidaknya mempertahankan esensi pembicaraan. Terimakasih untuk Mira Siregar-Meulia untuk catatan tambahan sana-sini […].
Ngomongin Hal Berkabut Soal Indonesia
Berkabut karena Indonesia sendiri terlalu banyak menyimpan persoalan sekaligus pandai menyimpan rahasia. Berkabut karena negara ini begitu kita cintai sekaligus kita benci, berkabut karena negara ini tidak jelas maunya apa. Mendekati Indonesia secara objektif bagi saya juga sulit banget, dan saya sebagai tukang catat menikmati menulis secara subyektif dan izinkan untuk menyeleweng . Semoga notulensi ini bertindak seperti sisir yang merapikan persoalan-persoalan yang muncul untuk disimpan dan dipelajari dengan rasa nikmat, kerennya: refleksi diri. Kalau suka, bilang-bilang, kalau marah jangan dipendam. Tulis aja, tulis….!!
Dari mana kita mulai? Ok, dunia politik kita kah yang membuat Indonesia seperti sekarang ini? Politik seharusnya kekuasaan yang bersifat sangat publik dengan legitemasi yang diperoleh dari argumentasi, bukan bedil dan darah. Apa yang menjadi kata kunci adalah argumentasi. Berargumen sebagai politisi bukan sesederhana salah dan benar, tapi membangun logika dan menempatkannya pada konteks publik. Di sinilah letak tawar-menawar yang jauh sama-sekali dari hitam-putih. Budiman punya metafor bahwa politik itu “petang”, maksudnya petang adalah keadaan yang dinamis, dia itu siang, tapi sebentar lagi menjadi malam. Dia itu malam, tapi masih ada unsur siangnya. Begitulah kira-kira. Lebih tepat lagi, mungkin maksudnya: politics is ambivalence in nature, that’s why argumentation is important. Semenjak delapan tahun belakangan, tidak banyak perubahan di Indonesia.
Politik masih jauh dari argumentasi yang cerdas. Kecerdasan belum dianggap penting, padahal orang cerdas bisa melihat banyak warna, bukan sekedar lensa hitam-putih. Berikut elemen hitam-putih itu: agama, uang, dan undang-undang yang usang. Partai yang besar karena membawa simbol agama tentunya jauh dari kecerdasan (sekalipun programnya populis, no offense PKS) sebab dia adalah partai yang tidak mengizinkan ruang tawar-menawar (Tuhan kok ditawar?). Suatu partai yang membeli loyalitas dengan elemen uang juga jauh dari kecerdasan argumentatif, sebab hubungan uang selalu impersonal dan jangka pendek seperti jual beli. Undang-undang juga bukan mantera. Kalau suatu kebijakan berlawanan dengan undang-undang, maka sudahkah kita berpikir dari dua arah? Apakah peraturannya yang ngaco, atau undang-undangnya yang ngaco? Argument, argument and argument! Termasuk argumen terhadap wujud NKRI sendiri. Dan akuilah kita masih terlalu takut untuk berani berpikir bahwa fakta geopolitics bisa disusun ulang, sebab Indonesia adalah ciptaan Belanda atas kumpulan kerajaan-kerajaan dan puak-puak etnis yang tidak terlalu sakral. Kita adalah bagian dari Asia Tenggara dengan ratusan kluster etnik yang sudah menjadi kue-kue tart yang dibagi oleh bule-bule the conquerors di masa lalu.
Lalu ada pertanyaan: sedih tidak kalau Indonesia bubar?
Yah gimana yaa.. Pertanyaan ini sulit sebab terlalu pendek. Bubar sebagai bangsa? Bubar sebagai negara? Bubar sebagai pemerintahan? Ini perlu diskusi lagi di lain hari dengan bentuk pertanyaan yang lebih tajam. Cukup dulu dengan menyadari bahwa misteri nasionalisme itu lebih banyak melahirkan pertanyaan daripada jawaban. Kata Mattheos yang berasal dari Kupang, Indonesia sentralistis banget. Orang Kupang banyak yang tahu Jalan Hayam Wuruk Jakarta persisnya di mana, tapi belum tentu orang Jakarta tahu di mana persisnya Kupang. Bisa jadi ini merupakan hal biasa saja… bisa juga tidak. Lokasi, tempat, ruang, jarak, proksimitas bisa jadi tidak netral tapi terkonstruksi secara sosial, terlembaga, dan diwariskan lewat kurikulum. Koentjaraningrat, guru besar antropologi UI menulis buku Masyarakat Terasing yang isinya adalah etnografi tentang kelompok-kelompok etnis terasing, alias jauh banget dari Jawa dan terisolasi secara geografis. Tapi apakah jauh dari Jawa membuatnya terasing? Terasing dari apa? Atau kita semua –termasuk Prof Koen - sebagai bagian dari publik Indonesia yang dibesarkan dalam imajinasi Jakarta adalah pusat peradaban? Dalam sebuah in-flight magazine tentang Visit Indonesia pernah ditulis: “kerajinan manik-manik yang indah ini dibuat oleh orang Dayak nun jauh di Kalimantan sono..”(sic!). Atau ungkapan populer: “Awas kalau ke Kalimantan, entar pulang diguna-guna!” Dayak Iban Kalbar yang konon tukang guna-guna itu rata-rata memiliki riwayat nomadic yang luar biasa: pengembara, melintas batas negara, bertempur bersama TNI melawan British Gurkha troops tahun 1966, kerja dalam proyek infrastruktur kota di Brunei Darussalam, menonton RCTI melalui satellite TV (they shared local knowledge of how to hack decoder as Indon TVs scrambled Piala Dunia).
Nasionalisme yang mana?
Indonesia adalah sesuatu yang dibayangkan. Masalahnya apa yang dibayangkan tidak sesuai dengan kenyataan yang diinginkan tentang Indonesia itu sendiri. Whose Imagination? and Which Indonesia? Apakah Indonesia yang romantik-patriotik? Apakah Indonesia yang berwajah ‘masyarakat sipil’? Apakah Indonesia yang berwajah ‘negara kesejahteraan’? Apakah Indonesia yang modern fasis dan disiplin mempersiapkan tinggal landas?
Apakah Indonesia yang mencari esensi lewat leburan banyak golongan etnis?
Ataukah Indonesia yang mempertahankan hak-hak golongan etnis secara demokratis? Bagaimana dengan Indonesia yang sekuler? Indonesia yang religius? Indonesia yang hypertech? Atau mau gabung saja semua?
[++ Mira Siregar, bisik-bisik ke Budiman: gue mendukung sekularisme dalam bernegara, gue melihat kebhinekaan bangsa kita bisa ditunjang dengan mempertahankan sekularisme, gue melihat issue ini cukup penting saat ini untuk mencegah perpecahan yang di depan mata…sisanya: sensor dulu deh]
Ikhsan Sube bilang: nasionalisme itu berhubungan sekali dengan patriotism dan terutama adalah rasa terima kasih kepada tanah kelahiran, tanah yang sudah memberi kita banyak hal: kehidupan. Kita harus patriotik. Ada juga yang bilang (kau kah Mattheos?): sense of belonging sudah tidak ada di Indonesia ini. Saya berusaha mencatat semua tapi akustik ruangan emang jelek. [++Wan…gimana soal Republikans-Patriotism-nya Budiman?]
[++ Mira Pakan terlibat diskusi serius dengan Budiman soal tua-muda dalam berkebangsaan, bernasionalism, menurut Mira Pakan: jangan usia menjadi patokan seseorang dalam konteks ini…….to be continued]
OK, mari kita lihat ke inti mesin nasionalisme itu sendiri. Kalau nasionalisme adalah sebuah operating system, mari kita lihat kernel-nya yaitu konstitusi. UUD 1945 sendiri banyak mengandung kontradiksi dalam memetakan mesin dasarnya (wajar sih yang nyusun banyak orang, terus buru-buru lagi). Bisa jadi nasionalisme Indonesia merupakan tarik-menarik antara
Civic vs Ethnic based nationalism.
Di satu sisi undang-undang kita menekankan asas civic nationalism yang kuat (adanya perasaan kebangsaan yang satu sebagai warga dengan hak dan kewajiban) tapi di sisi lain, kebudayaan nasional dianggap ekstrak akhir dari “budaya-budaya” etnis yang dianggap ideal, tanpa penjelasan antropologis yang matang. Nasib nasionalisme jadi berwajah dua (Janus faced): dia sangat re public, kesepakatan publik, kontrak sosial, hak-kewajiban, pembagian kekuasaan, demokrasi, musyawarah, mufakat, voting. Di sisi lain dia sangat primordial: Kebudayaan nasional adalah puncak-puncak kebudayaan daerah. Secara antropologis tesis ini sangat tidak bertanggung jawab dan meyesatkan. Civic nationalism bisa dikelola secara terbuka dengan standar-standar kompetitif yang adil, sementara ethnic-based dalam sebuah Indonesia yang kemajemukan etnisnya ga ketolongan, hanya bisa dikelola dari logika siapa mayoritas dan siapa minoritas. Perpaduan antara ethnic dan relgion-based kemudian lebih parah lagi.
Dalam multi-phobic NKRI. Siapapun yang menolak “fasisme pikiran” menjelma jadi minoritas yang hidup bagai warganegara kelas dua yang sentimen kebangsaannya diragukan. Inilah kumpulan para subjek yang tidak cocok masuk ke dalam kotak-kotak mayoritas karena berbagai hal misalnya: secara seks dianggap ngaco (gay, lesbian, transvestite), berlokasi tinggal jauh dari “pusat” yaitu di pinggir kedaulatan Negara dengan segala kegiatan ekonomi lintas batas. Mereka yang kebanyakan bertanya dan lebih punya pikiran membangkang (baca buku-buku dilarang Negara), golongan Tionghoa (dianggap rentan komunisme, tidak boleh jadi pegawai negeri dan tentara). Bahkan, orang bisa dijebloskan jadi minoritas karena berbagai hal sepele, tapi dibesar-besarkan oleh komunitas yang dominan, misalnya: menolak berjilbab, tidak mau pengajian. Norma agama kemudian dimasukkan dalam Perda. Berbahagialah kalian yang berhasil diatur, menjadi subjek-subjek yang sukarela diatur dan kemudian membela negaramu tanpa bertanya. Nun jauh di sana tetap ada otak yang suka diatur. Bagi mereka Ini dia negara yang mematikan pikiran, melebur kreativitas dengan ancaman-ancaman dosa, demikanlah ketika negara mensenyawakan diri dengan kekuatan Tuhan. Lalu bisa-bisanya RUU-APP. Hanya karena arus birahi itu begitu mengasyikan dan liar, dia harus diatur seketat-ketatnya. Wilayah erotika sebagai ekspresi kebebasan kultural kemudian menjadi sampah, sehingga karunia Tuhan itu dianggap sebagai kutukan. Tubuh adalah materi personal, sejak kapan negara memiliki hak untuk memiliki tubuh-tubuh rakyatnya? Tidak cukupkah kami membayar pajakmu? Bersabar dengan fasilitasmu yang buruk? Engkau tak setia, mengapa saya harus? Kebangsaan harus dipisah dari kenegaraan. Maka itu orang dihadapkan pada pilihan-pilihan kombinatif antara negara dan bangsa. Mencintai bangsa tidak sama dengan mencintai negara dan selalu ada dialektika. Dalam kondisi utopis keduanya harus sama besar. Becandaan gue nih: yang paling kasihan adalah tentara karena mereka harus terima dua-duanya tanpa boleh protes (tapi kan mereka berjiwa baja), dan yang paling untung adalah mereka yang tidak pernah mikirin (what you dont know dont hurt you — kata Matheos). Nah uring-uringan si warganegara “kelas dua” itu hehe.
Jadi apa pemersatu kebangsaan itu? Mari fokuskan ke wajah nasionalisme “modern yang berwajah republik” dalam sebuah konteks historis Indonesia yang 80 persen Muslim ini. Sebuah republik muslim? Saya sendiri tidak suka dan tidak percaya bahwa agama dapat berintegrasi dengan politik dan melahirkan hal-hal yang baik meski ditulis dalam Qur’an sekalipun. Menurut saya, pemerintah yang baik secara sadar membiarkan publik mengurus ekspresi budaya dan ekspresi agama dalam lingkup domestik masing-masing, dan memfasilitasi dengan sarana publik. Kegiatan pemerintahan harus bersih dari nilai-nilai dan modus operandi keagamaan sebab agama (Islam Indonesia?) tidak bersifat inclusive terhadap perbedaan keyakinan yang membuat relasi Self-Other menjadi demikian kuat. Sebab agama menyisakan sekelompok keyakinan lain yang bukan internal group-nya sebagai residu.
Nyatanya, Budiman mengatakan lain. Agama gagal menjadi alat politik karena agamanya itu sendiri tidak dijadikan alat transformasi yang membebaskan. Menurutnya agama justru bisa menjadi social capital mungkin juga cultural capital yang penting dan tetap sejalan dengan prinsip demokratisasi misalnya seperti yang terjadi di Amerika Latin (teologi pembebasan maksudnya?). Agama itu harus progresif, yang artinya dia tetap menanamkan kesalehan dan kecintaan kepada Tuhan, tanpa sedikitpun membuat pemeluknya merasa asing dengan persoalan-persoalan manusia (wordly affairs). Wah terus-terang ini sangat menarik dan penting untuk didengar (ayo ini bisa jadi bahan diskusi berikutnya).
Mattheos punya pendapat menarik karena dia kuatir terhadap radikalisasi agama. Katanya peredam dari fundamentalisme agama harus datang dari kelompok agama yang sama tapi dengan aliran yang berbeda maka dengan demikian terjadi suatu dialog. Menurut Matheos, gerakan fundamentalis Kristen hanya bisa diredam oleh wadah mainstream Kristen itu sendiri seperti PGI misalnya. Lalu secara alamiah pembicaraan mengalir kepada gimana kalau terjadi pada agama Islam? Ya mungkin juga kalau terjadi di Islam pun jika terjadi letupan resah para fundamentalisnya akan diredam oleh wadah mainstreamnya sepeti NU dan Muhammadiyah]
Belajar koreksi diri dari Amerika Latin.
Ini persoalan yang mengemuka juga dan secara samar-samar saya catat demikian: hanya Indonesia saja yang terlihat sangat kurang watak seriusnya untuk melakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing sehubugan dengan kontrak HGU. Amerika Latin adalah contoh yang baik. Apa yang bisa saya rangkum (ditambah interpretasi pribadi sana-sini) kira-kira demikian: Amerika Latin telah belajar sangat banyak dari hubungan-hubungan ekonomi timpang dengan negara-negara Barat.
Dimulai tahun 1950-an para neo-Liberal (yang kritis) seperti Leo Prebisch mengkritik pola hubungan ekspor-impor yang tidak adil. Katanya mari kita perkuat industri nasional supaya tidak selalu tergantung Eropa-Amerika. Dilanjutkan dengan lebih radikal oleh Andre Gunder Frank: putuskan saja hubungan ekonomi dengan pasar dunia! Tapi tokh, menjadi sangat keras dan kaku pun belum tentu membawa keselamatan , sementara tidak seluruhnya tabiat kapitalisme itu buruk. Maka wajah kiri pun perlahan menjadi semakin kooperatif semenjak Cardoso, yang semakin mengarah pada tata dunia yang lebih trendi yaitu kapitalisme global.
Tapi akhir-akhir ini ada gelombang cukup aneh. Di kala Sovyet hancur, tembok Berlin runtuh, justru Amerika Latin kembali melahirkan tokoh-tokoh pemimpin revolusioner yang bersikap galak pada kapitalisme global. Sebut saja Hugo Chávez presiden Venezuela yang sangat anti kebijakan ekonomi luar-negeri Amerika, popular di kalangan orang miskin, mengajarkan rakyat untuk mengerti politik sebagai persoalan publik dengan membagi “stensilan” gratis. Konstitusi harus dipahami rakyat, oleh karena itu harus dibaca dan dibagikan gratis dalam ukuran buku saku. Sebaliknya rakyat harus dapat bicara pada presidennya setiap saat, maka Chavez siaran setiap pagi di TV nasional dengan hotline telepon: Alo Presidente! Atau Daniel Ortega, Presiden Nicaragua, pemimpin Frente Sandinista de Liberación Nacional yang berhasil come-back tahun 2006 dengan agenda kerakyatan (land-reform, nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing, perbaikan nasib orang miskin).
Pemimpin sungguhan tidak hanya memahami sejarah bangsa sebagai subjek kolonialisme, tapi juga memahami eksistensi dirinya dalam arus sejarah bangsanya secara sangat personal. Kemudian dia hadir sebagai agent of change, penggerak sosial di masyarakat. Sayangya, arah menuju kepemimpinan yang populis, menomorsatukan kepentingan rakyat dan menomorduakan tekanan-tekanan politik-ekonomi luar negeri secara elegan semakin jauh dari kenyataan di Indonesia.
Ironisnya, semangat anti-Kapitalisme Barat dan anti-kolonialisme yang masih bertahan di di Amerika Latin, dan Timur Tengah (contohnya Qaddaffi – gimana sih nulisnya?) justru mengambil Dasa Sila Bandung sebagai motor penggeraknya. Artinya mereka adalah generasi cucu-cucu para pemimpin dunia yang dulunya datang bergabung dalam Konferensi Asia Afrika tahun 1955 dan mendengarkan bagaimana Sukarno begitu geram terhadap kapitalisme Barat yang secara telanjang menciptakan penjajahan sepanjang hayat. Diakui bahwa globalisasi ekonomi berhasil memajukan Indonesia selama masa Orde Baru walau keberhasilannya hanyalah di permukaan yang harus dibayar mahal hari ini dan entah berapa dekade tahun ke depan. Masuknya kapitalisme tahun 1966 dibayar dengan kerusakan lingkungan yang parah, perubahan pola konsumsi nasional: berasnisasi, makanan siap saji tanpa gizi; pengerukan sumberdaya tambang, pembunuhan satu juta orang tanpa pengadilan, serta hutang-hutang luar negeri untuk membangun gedung-gedung tinggi.
Beginilah wajah pola pembangunan ekonomi kita, peras habis bahan mentah, jual-jual-jual! Dan begitu bangganya Indonsia pasca 1966 menutup keran imigrasi bagi ratusan anak-anak bangsa yang pernah dikirim atas nama negara untuk belajar ilmu pengetahuan modern ke Sovyet , Hongaria, Czechoslovakia, dan Rumania. Padahal justru mereka semula direncanakan pulang sebagai tenaga ahli nasional untuk memanfaatkan sumberdaya yang masih perawan dan sangat berlimpah itu. Pelajaran sejarah kurikulum nasional disusun oleh tentara. Mereka memang jagonya terror mental, bikin fitnah, dan sistematis sekali setiap cara-caranya dalam bikin mata pelajaran.
Bagaimana bisa, coba: Chavez pidato 45 menit tanpa teks dan menyebut Dasa Sila Bandung/soal Konferensi Asia Afrika berkali-kali sementara dalam kesempatan yang sama SBY cuma pidato 10 menitan tanpa berisikan hal-hal yang membanggakan diri sebagai bangsa Indonesia…. Waduh, bangsa lain aja bangga, kok kita malah enggak ya? Coba kita baca-baca lagi buku sejarah kita… Dasa Sila Bandung yang tercipta di Indonesia sebagai “Dunia Ketiga” yang memberontak, malah menjadi kebanggaan yang diusung bangsa lain, sementara kita sekarang? Kalau ditanya: apaan sih tuuuh dasasila? Pancasila kaleee?
Tunggu, buku-buku sejarah kita isinya cerita kronologis dengan sistem suara mono, pula! Penjelasan sejarah harusnya datang dari berbagai speaker: kiri-kanan, depan-belakang dengan berbagai nada: low sonic, middle-range, high freq. Barulah kita bisa mendengarkan keutuhan sejarah secara komprehensif dan solid.
Dasa sila Bandung ada tuh prasastinya di bandung, kena debu trotoir… (kalo ga salah deket preanger dan savoy homann). Entering 1970 onwards: a new generation started.
In a state of oblivion, indulges by post-cold war mountainous hutang luar negeri, we proudly say: We like you Capitalism!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar